Sterilisasi
Ruang Publik
Agus Muhammad ;
Direktur Moderate Muslim Society,
Jakarta
|
KOMPAS, 06 Februari 2017
Kegaduhan
ruang publik dewasa ini sudah melewati ambang batas toleransi. Hoax, fitnah,
dan ujaran kebencian makin tak terkendali. Di media sosial khususnya, etika
publik seolah tak berlaku sehingga orang dengan enteng menyerang, menghakimi,
atau mengumpat dengan kata-kata kasar.
Akibatnya,
ruang publik tidak hanya gaduh, tetapi juga penuh dengan polusi. Sedemikian
parahnya polusi ini sehingga tidak banyak yang menyadari bahayanya. Bahkan,
sebagian justru menikmati sambil tertawa; sebagian yang lain mengambil
manfaat dari situasi ini dengan terus mengotori ruang publik.
Kenyataan
ini diperparah oleh kecenderungan untuk melihat realitas berdasarkan kacamata
kuda. Orang hanya melihat apa yang mereka pilih untuk dilihat sebagai
realitas sehingga realitas pun terdistorsi. Atas nama aspirasi, kepentingan
kelompok diusung ke ruang publik untuk "diperjuangkan" sampai titik
darah penghabisan, tanpa memedulikan aspirasi kelompok lain.
Logika
ruang publik pun mengalami penjungkirbalikan sedemikian rupa. Kesahihan
sebuah aspirasi untuk diperjuangkan di ruang publik tidak lagi didasarkan
pada seberapa kuat basis argumen yang mendasarinya, tetapi lebih pada
seberapa kuat basis massa yang mendukungnya.
Inilah
harga yang harus dibayar ketika kita terlambat melakukan sterilisasi ruang
publik dari kepentingan sektarian. Limbah sudah membanjir, kita tidak boleh
gegabah mengatasinya. Ibarat penyakit, fenomena ini harus didiagnosis
sedemikian rupa sehingga diperoleh gambaran yang utuh dan menyeluruh.
Diagnosis yang tepat adalah separuh dari proses penyembuhan.
Akar kegaduhan
Fenomena
pencemaran ruang publik tak ubahnya seperti puncak gunung es. Betapa pun parahnya polusi yang mencemari
ruang publik, ini hanya bagian permukaan dari kompleksitas masalah yang
selama ini dibiarkan berlarut-larut.
Kegaduhan
ruang publik adalah efek dari: (1) limbah politik dari proses perebutan
kekuasaan yang mengabaikan etika publik; (2) menguatnya paradigma
mayoritarianisme yang menganggap kelompok mayoritas adalah pihak yang paling
berhak untuk mengatur dan mengelola kekuasaan; (3) menyebarnya benih-benih
sektarianisme berbaju agama yang menganggap aspirasi kelompoknya paling absah
untuk diperjuangkan; (4) melemahnya keterlibatan masyarakat madani (civil
society), khususnya ormas-ormas arus utama (mainstream), dalam menyuarakan
kepentingan publik; dan (5) menguatnya kecenderungan kapitalisasi isu-isu
sensitif yang "digoreng" sedemikian rupa untuk menyedot emosi
publik.
Akar
dari semua itu adalah tidak adanya perlindungan ruang publik dari intervensi
komunalisme ataupun intervensi kekuasaan. Sebagaimana kita ketahui, ruang
publik (public sphere) biasanya dibedakan dari ruang privat (private sphere)
dan ruang politik (political sphere).
Ruang
privat adalah representasi kehidupan komunal dari berbagai jenis komunitas,
baik berdasarkan keturunan, kedaerahan, etnisitas, ataupun kesamaan agama dan
bahasa. Kehidupan dalam wilayah ini diatur berdasarkan adat kebiasaan dan
nilai-nilai budaya yang berlaku dalam kelompok tersebut.
Ruang
politik adalah ruang negara tempat kekuasaan dikelola, baik untuk mengatasi
berbagai masalah dan konflik maupun untuk mewujudkan kepentingan umum. Untuk
kepentingan ini, negara diberi kewenangan menggunakan pemaksaan, bahkan
kekerasan. Itulah sebabnya negara perlu diawasi dan dibatasi, baik dengan
membagi-bagikannya sehingga tercipta suatu keseimbangan kekuasaan maupun
dengan mengontrolnya sehingga penggunaannya tidak menjadi sewenang-wenang.
Sementara
ruang publik adalah suatu wilayah yang bebas dan otonom tempat masyarakat
dengan beragam latar belakang saling berinteraksi dalam berbagai bentuk,
memiliki kemandirian, kemampuan mengorganisasikan diri dan ketaatan terhadap
hukum positif. Dalam wilayah ini,
tujuannya adalah memperjuangkan kepentingan publik, bukan kepentingan pribadi
ataupun kelompok. Kepentingan pribadi dan kelompok dianggap sudah terwakili
dalam kepentingan publik.
Kekhasan
wilayah ini adalah tidak dibolehkannya penggunaan kekerasan ataupun pemaksaan
untuk mencapai tujuan-tujuannya (seperti yang diperbolehkan pada negara),
tetapi juga tidak bisa lagi menggunakan nilai-nilai budaya sebagai normanya
(sebagaimana yang terjadi pada wilayah privat). Norma-norma yang berlaku
adalah hukum positif yang disepakati semua pihak dan berlaku untuk semua
kalangan.
Dalam
sebuah negara yang menganut nation-state (negara-bangsa), pembagian wilayah
tersebut merupakan keharusan yang tidak bisa ditolak karena masing-masing
wilayah memiliki aturan main, prosedur, mekanisme, dan logikanya sendiri yang
bersifat otonom. Ketiga wilayah tersebut harus dibatasi dengan garis
demarkasi yang jelas dan tegas sehingga tidak terjadi intervensi satu wilayah
atas wilayah lain.
Dalam
konteks Indonesia, pembagian wilayah ini nyaris tidak ada sama sekali
sehingga sering terjadi intervensi, bahkan "kooptasi", satu wilayah
atas wilayah lainnya. Inilah akar kegaduhan sosial yang membuat ruang publik
tercemar oleh dua kepentingan sekaligus: kepentingan politik dan kepentingan
sektarian.
Keluar dari dilema
Upaya
membangun garis tegas di antara ketiga wilayah di atas menjadi tidak mudah
karena akan berhadapan langsung dengan struktur sosial politik yang
meletakkan agama tidak hanya sebagai isu privat, tetapi sekaligus isu publik.
Ini menjadi dilema tersendiri karena agama sudah telanjur menjadi isu publik,
di samping isu privat tentu saja.
Memaksa
dan membatasi "ruang gerak" agama di ruang privat tentu akan
melahirkan kegaduhan besar yang sangat mahal harganya. Namun, membiarkan
agama masuk ke wilayah publik dan politik juga tidak kalah berisiko karena,
ketika agama muncul dalam wilayah publik, ini membawa konsekuensi: ke dalam
berfungsi merangkul dan ke luar berfungsi menyangkal. Jika ditarik lebih
jauh, konsekuensi itu membawa implikasi yang tidak kalah seriusnya. Sebab,
agama yang berwatak "absolut", subyektif, dan tertutup harus
menangani masalah-masalah publik yang pada hakikatnya bersifat relatif,
obyektif, dan terbuka. Bagaimana keluar dari dilema ini?
Salah
satu alternatif yang bisa dilakukan adalah mempertahankan agama sebagai isu
publik dengan memanfaatkan dimensi universal dari agama untuk kepentingan
publik, sekaligus membatasi dimensi partikularnya hanya di ruang privat. Ini dimungkinkan karena masing-masing agama
di Indonesia memiliki ajaran-ajaran universal yang berlaku untuk semua orang,
seperti keadilan, kasih sayang, kesetaraan, peduli lingkungan, solidaritas
sosial, perdamaian, dan toleransi. Ketika berada di ruang publik ataupun
politik, agama harus didorong untuk membawa dan menyuarakan nilai-nilai
universal tersebut. Dengan demikian, kontribusi agama di ruang publik bisa
dirasakan manfaatnya oleh pemeluk agama lain.
Pada
saat yang sama, aspek-aspek partikular yang menjadi ciri khas masing-masing
agama perlahan-lahan dan secara bertahap dikurangi penggunaannya di ruang
publik. Demikian juga aspek-aspek simbolik yang hanya bisa dihayati oleh
masing-masing pemeluk agama dibatasi hanya dalam komunitas yang bersangkutan.
Peran masyarakat madani
Membangun
ruang publik yang sehat tentu saja tidak bisa dibebankan hanya pada komunitas
agama. Negara sebagai pihak yang paling banyak memiliki kapabilitas dan
sekaligus otoritas perlu memberikan jaminan regulasi yang dijalankan secara
konsisten untuk membangun keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan secara
merata sehingga tidak ada satu kelompok pun yang punya alasan untuk membuat
kegaduhan hanya untuk mendapat perhatian publik.
Di
sinilah pentingnya penguatan masyarakat madani. Sebagai jembatan antara
wilayah privat dan wilayah politik, masyarakat madani mengemban dua fungsi
strategis: ke atas menjalankan peran-peran pengawasan dan kontrol secara
ketat terhadap negara agar tidak terjadi penyelewengan dan penyalahgunaan
kekuasaan; ke bawah melakukan fungsi-fungsi edukasi dan penyadaran mengenai
pentingnya membangun komitmen bersama untuk menjaga rumah besar bernama
Indonesia agar tetap aman dan nyaman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar