Jumat, 09 Maret 2018

Gempa Jakarta

Gempa Jakarta
Abdul Muhari  ;   Chairman Sentinel Asia Tsunami Working Group
                                                        KOMPAS, 09 Maret 2018



                                                           
Pemberitaan mengenai potensi gempa di Jakarta kembali mencuat setelah badan Meteorologi, klimatologi dan Geofisika mengadakan sarasehan tentang ancaman sumber gempa besar (megathrust) dengan magnitudo M 8,7 di Jakarta pekan lalu (Kompas, 1/3/2018).

Sebagian kalangan, terutama praktisi bencana, menganggap memang sudah seharusnya Jakarta melakukan persiapan khusus menghadapi gempa, terlebih setelah beberapa gempa yang berpusat di selatan Jawa Barat dan Banten beberapa bulan terakhir ternyata berpengaruh cukup kuat sampai di Jakarta.

Tahun 2011, wacana serupa juga sudah pernah disampaikan para peneliti agar Jakarta melakukan upaya mitigasi untuk meminimalkan dampak, sekiranya gempa dimaksud benar terjadi di masa depan. Lalu setelah 7 tahun berjalan dari 2011, apa yang sudah dilakukan Jakarta?

Sumber gempa Jakarta

Pemahaman yang beredar di masyarakat umum ketika membaca potensi gempa sampai M 8,7 di Jakarta adalah pusat gempa tersebut berada di bawah perut Jakarta. Hal ini perlu diluruskan terlebih dulu, bahwa sampai saat ini belum ada satupun kajian ilmiah yang menyatakan bahwa terdapat sumber gempa atau sesar aktif di bawah Jakarta atau yang melewati Jakarta.

Kalaupun ada hipotesa dan penelitian (seperti Nguyen dkk 2015, Cipta dkk in press) yang menyebutkan bahwa sesar Baribis berpotensi menjadi sumber gempa paling dekat dengan Jakarta dan mungkin merupakan sumber dari catatan gempa tahun 1699, 1780 dan 1834, ini juga harus diverifikasi terlebih dahulu dengan bukti lapangan yang sampai saat ini juga belum ada.

Dengan demikian, anggapan bahwa potensi gempa Jakarta berasal dari sesar darat atau dekat dengan obyek terdampak seperti Gempa Yogyakarta 2006 atau Gempa Padang 2009, masih perlu penelitian lebih lanjut.

Jika sumber gempa dimaksud adalah megathrust  atau sumber gempa besar di selatan Banten, Jawa Barat (BMKG, 2/3/ 2018) yang menurut Hanifa dkk (2014) potensinya mencapai M 8,7 dan megathrust Selat Sunda, asumsi dampak gempa dari sumber itu menjadi lebih absurd karena untuk megathrust selatan Jawa atau Selat Sunda, potensi dampak tsunami terhadap aset manusia dan ekonomi di kawasan pesisir Jawa Barat dan Banten jauh lebih penting untuk diantisipasi.

Kenapa? Karena pesisir selatan Jawa Barat dan Banten memiliki populasi penduduk pesisir cukup padat dan sarat aset ekonomi penting seperti pelabuhan, perikanan dan industri, mulai dari manufaktur sampai petrokimia.

Lagi pula, untuk Jakarta sampai saat ini belum ada kajian mikrozonasi  atau dampak gempa dalam skala detail dari megathrust selatan Jawa atau Selat Sunda terhadap ibukota. Sehingga, pertanyaannya kita sedang membicarakan ancaman gempa dengan karakteristik seperti apa?

Kejelasan mengenai karakteristik gempa yang akan diantisipasi ini menjadi penting karena jika melihat persiapan (misalnya) Tokyo dalam menghadapi gempa, ancaman gempa yang diantisipasi sangat jelas yakni perulangan dari gempa ‘Great Kanto Earthquake’ yang sudah sangat well studied dengan estimasi kekuatan M 7,9-8,2 yang pada 1923 meluluhlantakkan Tokyo dengan total korban jiwa 142.800 orang (salah satu bencana terburuk di Jepang dari sisi korban jiwa).

Dengan demikian, upaya mitigasi yang dilakukan pun sangat jelas mulai dari penguatan standar bangunan, jalur dan tempat evakuasi, jalur air untuk antisipasi kebakaran pasca gempa, hingga waktu pemulihan infrastuktur dasar dihitung dengan pasti seperti waktu pemulihan sarana air bersih 90 hari, jalur pipa gas 84 hari dan listrik 7 hari (informasi tersedia di laman pemerintah kota metropolitan Tokyo). Tanpa adanya kejelasan karakteristik gempa yang akan diantisipasi, mustahil rencana mitigasi bisa disusun dengan baik.

Mitigasi gempa

Setelah kita mengerti dengan karakteristik gempa yang akan diantisipasi, pekerjaan berikutnya baru menyusun dan mengimplementasikan upaya mitigasi. Peran pemerintah dan pemilik aset baik individu maupun korporasi harus jelas. Untuk fase pra-bencana (mitigasi dan kesiapsiagaan), peran pemerintah adalah membuat dan memastikan regulasi mengenai standar bangunan, tata ruang dan edukasi berjalan baik.

Perlu diingat, meskipun kita sudah memiliki Standar Nasional Indonesia (SNI) No 1726 Tahun 2012 tentang Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung, sampai saat ini belum ada satu regulasipun yang mewajibkan implementasi dari SNI itu, baik untuk untuk perencanaan gedung maupun perumahan di kawasan rawan gempa di Indonesia.

Imbauan tanpa arahan upaya mitigasi yang terukur serta dorongan regulasi yang tepat tentu hanya akan menimbulkan keresahan di masyarakat setiap kali ada pemberitaan tentang potensi bencana di suatu kawasan.

Untuk pemilik aset, sangat penting mengetahui profil risiko dari lokasi aset terhadap bencana. Untuk kasus gempa (dan tsunami), misalnya, pemilik aset harus paham apakah aset mereka terpapar gempa (dan tsunami) dengan estimasi periode ulang dan kekuatan gempa atau tinggi tsunami berapa.

Kenapa? Karena informasi ini akan menjadi dasar perhitungan jasa sekiranya potensi risiko akan dialihkan ke pihak ketiga atau dalam hal ini asuransi. Saat ini, cukup banyak industri di kawasan pesisir Cilegon atau di Cikarang yang sudah memiliki jaminan asuransi terhadap bencana (meskipun payung regulasi nasional tentang asuransi bencana belum ada), jadi sekiranya ada asumsi potensi risiko baru di kawasan tersebut, pihak terkait harus benar-benar melakukan kajian detail sebelum wacana tersebut menjadi isu publik karena akan berdampak pada perhitungan kewajiban pihak-pihak yang memiliki perjanjian pertanggungan risiko bencana.

Jakarta tentu harus bersiap terhadap kemungkinan bencana apapun. Akan tetapi mengkomunikasikan potensi risiko bencana dengan baik juga sangat penting agar masyarakat dan segenap pemangku kepentingan bisa menyambung informasi itu dengan langkah-langkah terukur untuk meminimalisasi dampaknya.

1 komentar: