Selasa, 06 Maret 2018

Meretas Jalan Damai Afghanistan

Meretas Jalan Damai Afghanistan
Hamid Awaludin  ;   Dosen pada Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin
                                                        KOMPAS, 06 Maret 2018



                                                           
Afghanistan, negara Islam di daratan antara  Asia Selatan  dan  Asia Tengah, sesungguhnya bisa menjadi negeri yang makmur, damai dan dirindukan.  Negeri berpenduduk lebih dari 30 juta jiwa ini memiliki sejarah peradaban panjang dan beririsan dengan budaya bangsa-bangsa besar dalam sejarah dunia. Sayang sekali, sekurang-kurangnya 40 tahun sudah, negeri ini seperti tak pernah berhenti diempas perang dan konflik untuk segala penyebab dan alasan.

Pada era modern, pasca perang panjang dan pendudukan Uni Soviet, negeri ini malah terjatuh ke dalam kubangan perang saudara. Kini, perang berlangsung antara pemerintah Afghanistan yang sama melawan kelompok Taliban. Bom-bom meledak, senjata-senjata menyalak, dan korban-korban warga sipil tiada hentinya berjatuhan.

Segala bentuk inisiasi untuk meretas jalan damai sudah ditempuh negara ini, termasuk dengan menerapkan demokrasi sepenuhnya melalui pemilihan umum. Tapi demokrasi pun ternyata belum menyelesaikan masalah di sana. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), dan berbagai pihak telah berusaha membantu negara ini untuk keluar dari lingkaran setan pertikaian, tapi sampai kini Afghanistan masih saja berlumuran darah lantaran perang.

Peran Indonesia

Ke mana selanjutnya Afghanistan harus berpaling? Di antaranya, ya ke Indonesia. Ke  negara besar berpenduduk mayoritas Islam, ratusan suku bangsa, berbicara dalam seribu bahasa, dengan bentangan wilayah yang begitu luas. Dan yang istimewa, Indonesia tetap rukun dan damai. Beberapa kali ada satu dua letupan pertikaian — konflik Ambon, Poso, Sampit, Aceh, dan lain-lain — tetap kembali bersatu dan berdamai.

Saya kira itulah salah satu misi yang dibawa oleh Presiden Afghanistan Ashraf Ghani ke Indonesia pada April 2017, yang kemudian disusul kedatangan rombongan Majelis Tinggi Perdamaian Afghanistan yang dipimpin Mohammad Karim Khalili pada November 2017. Indonesia dan Afghanistan telah menjalin hubungan diplomatik selama 62 tahun lamanya.

Pada 29 Januari 2018, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkunjung ke Afghanistan dan diterima dengan tangan terbuka dan meriah, kendati kota Kabul baru beberapa jam sebelumnya mengalami teror bom. Hanya enam jam di Kabul, Presiden Jokowi kembali ke Tanah Air. Sejak rentetan pertemuan tersebut, Menteri Luar Negeri RI Retno P Marsudi dengan lincah bergerak ke kiri dan ke kanan, memenuhi permintaan Presiden Jokowi agar Indonesia merambah jalan kemungkinan untuk mendamaikan Afghanistan.

Gayung bersambut, pada Selasa, 27 Februari 2018, Wakil Presiden Jusuf Kalla mendarat di Kabul, Afghanistan, dengan pesawat kepresidenan dan bertemu Presiden Ashraf Ghani dan juga Karim Khalili serta beberapa tokoh Afghanistan lainnya, dari berbagai latar belakang.

Jusuf Kalla, bukanlah sosok yang asing di mata para tokoh perdamaian dunia. Ia telah berperan besar dalam menorehkan perdamaian di Ambon, Poso dan konflik Aceh. Pengalaman Kalla inilah yang kian meneguhkan hati Presiden Afghanistan, Ashraf Ghani agar Indonesia membantu Afghanistan: mewujudkan damai di negeri para mullah itu.
Selain karena pengalamannya merajut benang-benang perdamaian, mereka juga menilai Kalla sebagai representasi umat Islam Indonesia. Maklum, Kalla adalah ketua Dewan Masjid Indonesia.

Afghanistan juga bersandar nasib kepada Indonesia karena Indonesia diyakini sangat netral. Posisi netralitas Indonesia ini diucapkan secara eksplisit oleh Jusuf Kalla di Afghanistan. “Indonesia sangat netral. Tidak punya kepentingan politik, apalagi kepentingan perbatasan. Kami terlampau jauh dari Afghanistan. Kepentingan kami adalah membantu saudara-saudari kami di Afghanistan. Ini masalah kemanusiaan,” tegas Kalla. Bagi Afghanistan, hanyalah negara netral yang bisa menyelesaikan konflik Afghanistan.

Faktor Taliban

Hingga kini, masih banyak pihak yang meragukan adanya kemungkinan damai di Afghanistan. Masalahnya, Taliban, sebagai pihak dalam konflik, sangat tidak solid. Di dalam gerakan kelompok Taliban, terlampau banyak faksi sehingga sulit untuk mencapai adanya garis komando yang diikuti oleh para pasukan. Sejatinya memang, Taliban tersandera oleh dirinya sendiri karena mereka terserak, dan cenderung bersebarangan antara satu dengan lainnya. Bagaimana mungkin ada damai bila tidak ada pemimpin yang bisa diikuti oleh anak buah?

Saya berpandangan lain. Taliban memang terdiri atas banyak faksi, tapi tiap faksi memiliki garis komando yang jelas dan solid. Pemimpin tiap faksi memiliki otoritas moral sehingga sangat berwibawa di mata para anak buah. Maklum, Taliban dibentuk dengan fondasi ideologi keagamaan. Selain itu, struktur masyarakat Afghanistan patron clan yang bersandarkan garis etnis.

Kombinasi antara fondasi ideologi keagamaan dengan nilai-nilai tradisional berdasarkan etnis tersebut, membuat garis komando antara pemimpin dan yang dipimpin, sangat hierarkis. Bila imam berkata sesuatu, maka para makmun pun dengan cepat berkata: “Amin.”
Kita ambil contoh faksi Mullah Haibatullah Akhunzada, sebuah faksi yang terbesar di Taiban sekarang. Akhunzada sangat disegani oleh para pengikutnya. Otoritas kepemimpinannya amat diikuti. Begitu juga dengan faksi Haqqani. Ia sangat berwibawa di mata anak buanya. Faksi Mullah Rosul, juga memiliki anak buah yang sangat setia pada dirinya.
Dengan ini semua, saya sangat yakin bahwa bila para pemimpin Taliban menghendaki damai, maka damailah Afghanistan. Anak buah akan ikut para pemimpin mereka.

Satu hal yang perlu kita tahu, baik pasukan pemerintah maupun Taliban, semuanya sudah lelah untuk melanjutkan perang. Semuanya sadar bahwa perang tidak akan memberi memberi keuntungan pada salah satu pihak. Keduanya akan menanggung beban derita yang berkepanjangan.
Keduanya menyetujui Indonesia memfasilitasi mereka untuk damai.

 Di Aceh, ada sebuah ungkapan yang mengatakan: “Pat ujeun han pirang, pat prang tan reda,” (selalu ada masa hujan berhenti, dan selalu ada masa perang berakhir). Bila perang di Aceh bisa berakhir dengan perdamaian, mengapa perang di Afghanistan tidak bisa berakhir dengan perdamaian?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar