Menafsir
Impian Rakyat
Paulinus Yan Olla ; Rohaniwan; Lulusan Program Doktoral
Universitas Pontificio Istituto
di SpiritualitÀ Teresianum, Roma;
Dosen Sekolah Tinggi Filsafat
Teologi Widya Sasana, Malang
|
KOMPAS, 25 Januari 2017
Ketika
rakyat dijadikan sekadar senjata retorika untuk legitimasi kekuasaan,
demokrasi kehilangan hakikatnya, yakni rakyat. Keadaan itulah yang tampaknya
digugat Farouk Muhammad. Sebagai wakil rakyat, ia sulit menerima bentuk
demokrasi yang sedang dijalankan di negeri ini. Menurut dia, kehendak rakyat
sering dimanipulasi untuk berbagai kepentingan kekuasaan. Opininya diakhiri
dengan pertanyaan, ”Lantas, rakyat mana sebenarnya yang kita perjuangkan?”
(”Atas Nama Rakyat”, Kompas, 7/1/2017).
Mendefinisikan
siapakah rakyat dan apa yang diperlukannya memang tidak mudah. Rakyat dalam
pemahaman umum merujuk pada penduduk suatu negara. Namun, dalam kajian
filosofis- sosial, ia adalah suatu entitas yang abstrak sehingga Pierre
Rosanvallon, dalam penelitian historisnya tentang representasi di Perancis
melukiskan rakyat sebagaientitas ”tak terjumpa”. Rakyat sebagai suatu
kesatuan, sebagai identitas, atau sebagai suatu totalitas tidak dapat
dijumpai (baca: tidak ada) secara konkret.
Terkait
keadaan di atas, konsep ”perwakilan” (representasi) sendiri sering menjadi
bahan perdebatan. ”Perwakilan rakyat” mengandung dua makna yang terbedakan
satu dengan yang lain dan perlu mendapat perhatian. Di satu pihak ia menunjuk
pada ”penghadiran simbolik” rakyat dan di pihak lain ia dipahami sebagai
”perutusan” atau pemberian mandat politik (Georges Didi-Huberman dalam Che
cos’e’ un popolo?, DeriveApprodi, 2014).Dalam sistem pemerintahan demokratis,
mereka yang disebut wakil rakyat menghadirkan secara simbolik rakyat yang
”tanpa wajah” itu dan juga secara yuridis mendapatkan legitimasi untuk
berkuasa atas nama rakyat.
Situasi
di atas menempatkan rakyat dalam posisi rawan untuk terabaikan atau ia
terpajang sekadar sebagai ”peguasa simbolik”, sedangkan kekuasaan yang
sesungguhnya ditentukan oleh mereka yang ”telanjur” diberi mandat sebagai
”wakil atau penyambung lidah”.Adakah jalan untuk merajut keterkaitan antara
rakyat yang diwakili dan pejabat yang mewakili, antara rakyat yang memberi
mandat dan penguasa yang diberi mandat?
Dalam
rezim pemerintahan demokratis, kehendak atau aspirasi rakyat merupakan ”tali
perajut” yang menghubungkan rakyat dan wakil rakyat. Politolog Italia, G
Sartori, membantu mendeskripsikan hakikat demokrasi modern dengan
penegasannya bahwa kata ”demokrasi” pertama-tama dan terutama adalah sebuah
kata normatif dan bukan deskriptif. Demokrasi tidak mendeskripsikan suatu hal
tertentu, tetapi lebih pada meletakkan/ menetapkan sebuah ideal.
Demokrasi
dalam dirinya menyimpan potensi utopis bagi masa depan (Giovanni Sartori, ”Democracy”, dalam International Encyclopedia of
The Social Sciences, Vol 3, 1968:116-117).
Dalam
kerangka pemikiran di atas, dapat dipahami kini dalam demokrasi representatif
para calon wakil rakyat justru ”menjual impian”. Partai-partai politik pun
berlomba ”menafsir impian” rakyat sebagai kendaraan mendapat mandat
kekuasaan. Mereka yang sedang berdebat dalam proses pilkada pun ”menjual
impian” demi legitimasi kekuasaannya.
Populisme
Populisme
salah satu bentuk dominan penafsiran impian, kerinduan atau aspirasi rakyat.
Dalam bentuknya yang kuno, ia bisa sangat sadis, seperti praktik
kaisar-kaisar Romawi sebelum Konstantinus (274-337), yang dalam usaha
menggembirakan rakyat, mempertontonkan penganiayaan kelompok minoritas (baca:
Kristiani) di arena pertarungan manusia lawan binatang buas.
Dalam
bentuknya yang modern, ia bisa sangat halus seperti janji Silvio Berlusconi
(mantan Perdana Menteri Italia) pada tahun 2000-an untuk memanjakan kelompok
usia lanjut menikmati ”bebas tiket masuk” dalam pertandingan sepak bola di
Italia.
Demokrasi
modern telah memaksa setiap rezim pemerintahan untuk menafsir dan ”memuaskan”
impian rakyat melalui keputusan-keputusan populis. Namun, seperti diingatkan
G Sartori di atas, demokrasi menyimpan daya utopis yang bisa mengarahkan
suatu bangsa ke masa depan. Maka, menjadi tanggung jawab politik wakil
rakyat/penguasa untuk menjaga keseimbangan antara menerjemahkan tafsirannya
atas kehendak rakyat dan menggoreskan pula impian-impian besar melalui desain
pembangunan suatu bangsa ke masa depan. Potensi utopis demokrasi tak sama
denganumbar ”janji kosong” yang tak diwujudkan setelah pemilu/pilkada.
Tantangan
besar bagi demokrasi Indonesia adalah kian merebaknya bentuk berpolitik tanpa
imajinasi (baca: daya utopis) yang akhirnya menjebak para pelaku
politik/penguasa jatuh dalam pragmatisme politik. Desain masa depan bangsa
terabaikan dan yang terjadi dalam setiap pemilu/pilkada adalah usaha saling
jegal. Daya utopis demokrasi ke masa depan dibelokkan dan dipusatkan pada
perebutan kekuasaan melalui stigmatisasi lawan politik, seperti pemberian cap
”komunis-anti agama” atau politik uang dan pembunuhan karakter lawan politik.
Akhirnya,
potensi bangsa, seperti keberagaman agama, budaya, etnisitas, dan bahasa, pun
tak dimanfaatkan sebagai kekayaan memajukan bangsa, tapi justru dijadikan
senjata membangkitkan solidaritas eksklusif primordial yang rawan menyulut
konflik sosial dan menghancurkan kohesi sosial bangsa. Tafsir mimpi rakyat
yang terjebak pragmatisme politik akhirnya memandulkan seluruh bangsa dalam
melahirkan dan mewujudkan impian besar masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar