Kamis, 08 Maret 2018

Sabotase Narkoba

Sabotase Narkoba
Djoko Santoso  ;   Guru Besar Fakultas Kedokteran Unair
                                                        KOMPAS, 08 Maret 2018



                                                           
Kita tak boleh bosan berbicara narkoba. Keengganan kita membicarakan efek jahat narkoba akan menjadikan barang berbahaya ini makin bersimaharajalela. Apalagi serbuan narkoba di negeri kita tercinta semakin mengkhawatirkan. Selain serbuan narkoba asing, orang-orang Indonesia juga banyak yang menjadi “pengkhianat” dengan memproduksi narkoba yang menikam bangsanya sendiri.

Barang laknat ini sudah memangsa banyak kalangan. Remaja, pelajar, mahasiswa, tokoh publik, artis, seniman, bahkan aparat hukum yang mestinya jadi “pagar”. Lebih memilukan lagi, banyak di antara mereka adalah orangtua yang semestinya melindungi rumah tangganya, justru menyerah pada godaan narkoba. Para pengedar narkoba memang sangat masif menyusup ke berbagai kalangan, mulai kota megapolitan hingga pelosok.

Tantangan kian berat, karena orang-orang Indonesia dikenal tak saja pengguna namun juga mampu mengolah, memproduksi, membuat, atau mendistribusikan narkoba ilegal seperti ganja, metamfetamin, phencyclidine (PCP), dan LSD, serta jenis-jenis lain zat adiktif. Baik pelaku maupun produsennya seperti mabuk dalam bisnis “uang mudah” ini.

Tak kaget bila hukuman mati, tembak di tempat, serta pemenjaraan terlihat tak mampu mengerem lejitan narkoba. Sampai-sampai suara “putus asa” menginginkan pemerintah bertindak ala Rodrigo Duterte. Tembaki dulu, urusan belakang. Kita tak perlu sampai seputus asa itu. Penegakan hukum lebih fair dan tegas akan lebih manjur. Penerapan tindak pidana pencucian uang (TPPU) perlu dipertegas, sehingga iming-iming memperkaya diri dari narkoba bisa diredam. Jangan sampai orang dibiarkan kaya karena narkoba.

Narkoba memang bisnis tanpa akal sehat. Sifat narkoba bisa membuat euforia, suatu perasaan bahagia yang berlebihan bagi pemakainya.. Para pecandu merupakan pelanggan dengan loyalitas buta, sehingga berapapun harga akan mereka bayar. Bagaimanapun caranya cari uang untuk membayar. Maka, ada uang raksasa di balik kecanduan ini. Bukan hanya narkoba, ini juga terjadi pada rokok atau alkohol yang juga punya efek adiktif. Di AS, bisnis rokok disebutkan bernilai 50 miliar dollar AS (sekitar Rp 700 triliun) dan alkohol 100 miliar dollar AS (sekitar Rp 1.350 triliun) setiap tahun.

Dua barang adiktif legal itu masih kalah jauh dengan bisnis narkoba yang harga per gramnya jutaan rupiah. Di sini terjadi proses transaksi ekonomi negatif. Di satu sisi, pedagang narkoba mengeruk laba, di sisi lain konsumennya kian diperbudak. Konsumennya kian lama kian tak produktif dan tak berguna seiring meningkatnya kadar kecanduan. Sementara ketergantungannya makin tinggi. Maka bisa dibayangkan orang-orang yang otaknya makin kopong dan tak produktif harus membeli barang yang dia tak bisa hindarkan. Maka di sinilah kriminalitas atau kebangkrutan ekonomi dari si pecandu dan keluarganya terjadi.

Mengancam bonus demografi

Isu generasi produktif ini sangat strategis. Saat ini negara kita sedang merajut bonus demografi demi mimpi indonesia emas pada 2030. Namun jika proses dinamika pembangunan manusia dicemari banjir narkoba, yang kita petik justru tentu kebalikannya. Banjirnya bukan keuntungan dan kekuatan bangsa namun sebaliknya anak-anak muda yang terkena narkoba akan jadi beban berat dan panjang kehidupan berbangsa. Persentase kecil saja dari calon generasi emas yang tersungkur jadi budak narkoba, ini akan banyak memengaruhi produktivitas bangsa.

Apalagi para pecandu sudah masuk ke kelompok anak-anak. Di Lampung, catatan Badan Nasional Narkotika Provinsi (BNNP), terdeteksi ada 59 anak Sekolah dasar (SD) dan 132 anak Sekolah Menengah Pertama (SMP) terpapar narkoba pada 2017. Terus meningkat dari tahun sebelumnya. Ini yang ketahuan saja dari gunung es narkoba yang sesungguhnya. Ini sangat mengerikan. Sejak kecil mereka mengalami berbagai pandora keburukan narkoba.

Keinginan keluar dari belenggu narkoba pasti ada. Namun, banyak pengalaman dan studi menyebutkan belenggu kecanduan narkoba ini sangat kuat (powerful). Pecandu yang ingin tobat ibarat memasuki ring tinju dan menghadapi lawan sekelas Mike Tyson. Yang berarti sangat berpotensi kecenderungan kambuh kembali. Pada sindrom putus obat, pecandu mengalami agitasi psikomotor, depresi berat (perasaan gagal), Sampai-sampai tak jarang para pecandu menghadapi risiko overdosis, akhir yang mengenaskan (unhappy ending).

Lebih repot lagi, kecanduan narkoba membawa efek rusaknya kehidupan sosialnya. Bisa meliputi hancurnya hubungan keluarga yang normal. Bentuknya bisa macam-macam. Anak-anak yang sudah mandiri dan berkeluarga tiba-tiba terjerembab narkoba. Ayah ibunya yang menua harus merawat mereka. Bahkan, atas nama “kasih sayang” harus menuruti keinginan menyimpang mereka untuk terus menelan narkoba. Butuh uang banyak, tapi dihabiskan untuk kesia-siaan. Hidup si pecandu jelas minus, sama sekali tidak berguna. Kalaupun mereka direhabilitasi, sulit diharapkan bisa berfungsi seperti sedia kala.

Gangguan jiwa

Bagaimanapun sulitnya, pecandu harus diobati. Pengobatan pecandu 
merupakan elemen penting dalam penanganan gangguan jiwa. Sebaliknya pengobatan gangguan jiwa merupakan elemen penting pengobatan pecandu (penyalahgunaan obat). Meskipun, untuk kedua jenis gangguan tersebut hanya sekitar 20 persen individu yang bisa diobati.

Dunia medis tak boleh putus asa untuk mengentas pecandu. Penatalaksanaan terhadap pecandu memerlukan program terapi inovatif, misal pendekatan model kombinasi pengobatan yang mencakup manajemen kasus, intervensi kelompok, dan penjangkauan jelas dan terarah seperti menjangkau kelompok berbasis agama.

Tahap pertama adalah detoksifikasi, suatu proses yang paling sulit karena pecandu telah terlanjur menggunakan berbagai obat (alkohol, opiat, kokain). Biasanya karena pecandu tak ingat lagi atau tidak mau mengakui penggunaan berbagai obat, mereka membutuhkan penilaian diagnotik. Di antaranya, melalui pemeriksaan urinalisis untuk mendeteksi secara kualitatif substansi obat psikoaktif dan metabolitnya. Karena itulah dalam penggerebekan narkoba diadakan tes urine. Maksudnya agar para pecandu yang menutupi keadaan dirinya bisa direhabilitasi. Disadarkan, bahwa mereka sebenarnya “sakit”.

Berikutnya, dilakukan rawat nginap di rumah sakit selama detoksifikasi dan fase awal penghentian obat. Jika memungkinkan digunakan fasilitas khusus untuk merawat dan menatalaksana pecandu dengan ketergantungan bahan kimia. Dalam konteks ini, tidak ada terapi tunggal yang khusus efektif untuk menghasilkan perbaikan. Pecandu merupakan gangguan kronik dengan gambaran remisi (pengurangan kecanduan) dan rekrudensi (kekambuhan) yang tidak dapat diramalkan.

Remisi sementara yang disertai kemajuan fisis, sosial, psikologis jelas akan lebih baik dari pada melanjutkan atau meneruskan penyalahgunaan obat secara progresif yang mengakibatkan interpersonal yang merugikan.
Para pecandu yang mau menyembuhkan diri perlu didampingi berkelanjutan. Pada penyalahgunaan obat seperti pada gangguan kronik, penyembuhan definitif jarang terjadi. Perhatian dokter sebaiknya berkelanjutan dalam rangka untuk membantu pasien pecandu keluar dari lingkaran setan terhadap gangguan yang kompleks, yang diakui bahwa kemungkinan besar penggunaan kembali obat tersebut dapat terjadi. Kemungkinan akan kembali ke jalan yang salah ini yang perlu diwaspadai.

Yang kedua, berupa upaya pencegahan yang diperluas. Pencegahan penyalahgunaan narkoba harus dimulai sejak Taman kanak-Kanak (TK) dan, bila perlu, termasuk keluarga di mana ada riwayat penyalahgunaan obat.

Yang ketiga, meskipun ada pengembangan sebuah paradigma penghukuman sebagai metode utama untuk mengatasi penyalahgunaan obat, pembuat kebijakan harus menerima kenyataan bahwa penyalahgunaan obat adalah gejala dari masalah lain yang dihadapi oleh pecandu seperti kemiskinan, kesenjangan sosial, kurangnya pendidikan, dan pengangguran. Jika penyimpangan penyalahgunaan obat harus dikurangi dan akhirnya dihilangkan, kesenjangan lain ini harus ditangani. 
Narkoba harus diakui sebagai problem sosial, selain problem hukum.

Yang keempat, perlu pendekatan baru terhadap pecandu. Sebagai gambaran yang diperoleh dari beberapa situs informasi, Portugal melakukan pendekatan dekriminalisasi terhadap penggunaan semua obat-obatan terlarang (termasuk heroin dan kokain). Sejak 1999, kecanduan narkoba diperlakukan lebih sebagai problem medis daripada pidana. Hasil sementara, sekitar 25.000 orang menggunakan heroin, ini turun dari 100.000 pecandu. Jumlah pecandu mati karena overdosis turun lebih dari 85 persen, sepersepuluh dari jumlah di Inggris atau Denmark dan sekitar satu per lima puluh dari di Amerika Serikat. Pendekatan dekriminalisasi membuat semua ini menjadi lebih mudah, karena orang tidak lagi takut ditangkap. Dalam konteks dekriminalisasi ini juga mempermudah memerangi penyakit menular dan mengobati overdosis.

Portugal memiliki tingkat terendah AIDS terkait narkoba di Uni Eropa. Sejak saat itu, diagnosis HIV yang dikaitkan dengan suntikan telah turun lebih dari 90 persen dan Portugal dinyatakan tidak lagi berada di puncak tertinggi di Eropa. Proporsi “generasi emas” yakni berusia 15 sampai 24 tahun yang jadi pecandu, turun hampir setengahnya sejak dekriminalisasi. Pendekatan dengan dokter (daripada dengan hakim) mendorong mereka untuk mencoba berhenti dan mencegah penyebaran AIDS melalui pemberian jarum yang bersih. Kasus narkoba dimiripkan dengan penyakit kronis, seperti diabetes yang harus diatasi pelan-pelan. Dilakukan intervensi dan konseling agar tak makin parah.

Sebaliknya Amerika Serikat menggunakan pendekatan kriminal. Sebanyak 10.000 dollar AS per rumah tangga dikeluarkan. Namun, gagal secara spektakuler dengan kejadian lebih dari 1.000 kematian setiap minggunya atau 64.000 (ada setiap 10 menit satu nyawa yang melayang) tahun lalu. Di samping itu, cara ini membuat orang Amerika terkadang enggan menelepon 911 setelah teman mereka overdosis, karena takut ditangkap.
Indonesia sudah mengadopsi kebijakan ala Portugal. Yakni apabila pecandu melapor, akan dibantu menyalurkan untuk rehabilitasi. Namun, kalau tidak melapor akan tetap diproses pidana bila tertangkap. Meskipun, bisa saja pengadilan memberikan putusan rehabilitasi, seperti yang dialami para artis.

Kita masih bisa menyelamatkan nyawa pecandu. Maka perlakukan mereka bukan sebagai penjahat tetapi sebagai orang sakit, manusia yang menderita yang membutuhkan pertolongan, bukan borgol. Namun untuk pengedar narkoba, mereka memang jahat. Silakan disingkirkan, dihukum mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar