Kamis, 08 Maret 2018

Skenario Korbankan Kurdi

Skenario Korbankan Kurdi
Ibnu Burdah  ;   Pemerhati Timur Tengah dan dunia Islam;
Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
                                               SUARA MERDEKA, 05 Maret 2018



                                                           
Di tengah perhatian dunia terhadap tragedi Ghouta, pinggiran Damaskus, teka-teki mengenai sejumlah kejanggalan agresi Turki ke Suriah lambat laut mulai menemui titik terang.

Sejak awal agresi itu sekitar satu setengah bulan lalu, Operasi Ranting Zaitun memunculkan sejumlah pertanyaan dan spekulasi bukan hanya di kalangan awam tapi juga di kalangan pengamat. Di antara pertanyaan itu, mengapa Turki bisa sangat leluasa memasuki Suriah dan mengobrak-abrik kekuatan Kurdi di Efrin?

Apakah para penguasa de facto bumi Suriah saat ini seperti Rusia, Iran, AS, dan Rezim Asad tidak melakukan apa pun untuk mencegahnya? Atau sebaliknya, apakah mereka telah memberi lampu hijau terhadap operasi itu? Lalu, apa kepentingan mereka dengan hal itu? Diamnya Iran bisa dimengerti.

Sebab, salah satu kepentingan nasional negara itu saat ini sama dengan Turki. Yakni, menghadapi bertumbuhnya kekuatan Kurdistan yang mengancam keutuhan wilayahnya di sebelah barat.

Melemahnya jaringan kekuatan Kurdi merupakan berkah luar biasa bagi Iran. Namun bagaimana dengan Rusia, AS, dan rezim Suriah? Rezim Suriah seharusnya mempertahankan setiap jengkal wilayahnya dari agresi negara lain.

Akan tetapi, rezim ini justru membiarkan operasi Turki di wilayahnya, setidaknya pada beberapa waktu awal. Demikian pula Rusia yang menjadi pendukung kuat rezim Suriah. AS seharusnya juga berang karena Kurdi adalah sekutu lokalnya.

Kurdi selama empat tahun terakhir sangat berperan dalam menghancurkan ISIS bersama koalisi pimpinan AS. Teka-teki dan berbagai kejanggalan masih berlanjut mengiringi operasi lintas perbatasan Turki itu.

Ketika kekuatan Kurdi terkepung dan mulai terdesak di kota Efrin, tiba-tiba kejanggalan lain mencuat. Kurdi meminta bantuan kepada rezim Asad. Dan kedatangan milisi pro-Asad disambut gegap gempita oleh para pejuang dan masyarakat Kurdi.

”Satu Suriah, Satu Suriah,” pekikan dari penyambutan itu. Ini sama dengan lelucon yang tidak lucu. Asad adalah salah satu musuh besar Kurdi di wilayah itu. Mengapa Kurdi justru meminta bantuan kepada Asad, bukan kepada AS?

Kejanggalan berikutnya, kedatangan milisi Asad tidak menimbulkan konfrontasi serius dengan militer Turki. Hanya insiden kecil terjadi. Padahal, Erdogan dan pimpinan Turki yang lain sudah menyampaikan secara tegas akan melibas siapa pun yang menghalangi operasi Ranting Zaitun di Efrin.

Selingkuh

Sulit mencerna kejanggalan demi kejanggalan itu. Namun kini semuanya mulai ada titik terang. Rezim Suriah sengaja membiarkan agresi Turki di wilayahnya karena hal itu memberikan keuntungan ganda kepadanya.

Rezim Asad sangat berambisi mengembalikan wilayah yang lepas pada 2012 itu ke dalam kekuasaannya. Karena itu, operasi Turki untuk menghancurkan kekuatan Kurdi di wilayah tersebut ibarat durian runtuh.

Dia mungkin akan mendapatkan hasil besar tanpa berkeringat alias gratis. Faktanya, mereka sekarang mulai memasuki Efrin tanpa perlawanan berarti. Keuntungan kedua, mereka juga disambut bak pahlawan oleh masyarakat kota itu.

Sebab, kebencian kota diarahkan kepada Turki yang melakukan agresi di kota itu, sedangkan kedatangan milisi dan pasukan rezim kemungkinan menyusul disambut bak pahlawan.

Hal ini pasti tidak terjadi jika tak ada serangan Turki ke wilayah tersebut. Oleh karena itu, analisis sementara yang paling masuk akal memang ada perselingkuan antara Turki dan rezim Suriah, bahkan dengan para penguasa de facto Suriah yang lain.

Jika kontrol atas wilayah itu diserahkan kepada rezim Asad sekalipun, kepentingan dua negara ini sama-sama tercapai. Bagi Turki, yang terpenting adalah basis kekuatan Kurdi di Efrin melemah dan Kurdi yang dianggap sebagai ”teroris-pemberontak Turki” tak lagi menguasai wilayah itu.

Bagi rezim Asad, ini capaian yang sangat besar dengan ongkos sekecil-kecilnya. Turki berupaya meyakinkan dunia bahwa operasi Ranting Zaitun sebagai perjuangan untuk membebaskan Suriah dari cengkeraman para teroris Kurdi Turki yang melarikan diri ke Suriah.

Karena itu, mereka menyebut PYD dan milisi Kurdi lain yang menentangnya sebagai teroris atau Ocalaniyin, yaitu anak buah Abdullah Ocalan, pemimpin PKK yang dianggap sebagai gembong teroris oleh Turki.

Menurut sumber-sumber lokal, falsafah dan perjuangan Abdullah Ocalan sangat berpengaruh dalam kehidupan warga Kurdi Efrin khususnya dan warga Kurdi di empat negara Timur Tengah pada umumnya. Operasi ini juga membuat senang Iran dan Rusia.

Santer dikabarkan bahwa sebelum operasi ini diluncurkan, Turki menggencarkan diplomasi intensif kepada negara-negara ini dan AS, juga memberitahukan kepada Suriah. AS sekutu Kurdi sepertinya bersikap pragmatis saja. Ia tak ingin berkonfrontasi dengan sekutu NATO-nya itu.

AS menunjukkan sikap pasif dalam operasi Ranting Zaitun di Efrin. Oleh karena itu, masyarakat dan pejuang Kurdi di kota itu menyebut negara adidaya itu sebagai pengkhianat. Kurdi di Efrin sepertinya memang dikorbankan oleh perselingkuhan aktoraktor besar yang punya pengaruh di Suriah. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar