Imlek
dan Revitalisasi Spirit Gus Dur
Tom Sapta Atmaja; Teolog dan Aktivis Lintas Agama
|
KORAN
SINDO, 27
Januari 2017
Sabtu
(28/1) besok Imlek dirayakan. Menurut penghitungan Yayasan Lestari Kebudayaan
Tionghoa Indonesia (YLKTI), Imlek kali ini jatuh pada hari Sabtu, 28 Januari
2017.
Tahunnya
menunjukkan angka 2568, yang dihitung sejak kelahiran Confusius pada 551
sebelum Masehi. Dengan demikian, angka 2568 merupakan penjumlahan angka 551
dan 2017. Imlek merupakan hari besar, yang tentu saja syarat dengan pesan
kebaikan, bukan hanya bagi masyarakat dengan latar belakang budaya China,
tapi juga bagi semua umat manusia. Di negeri kita, pada masa Orde Lama, semua
anak bangsa bahkan pernah ikut menikmati kemeriahan Imlek seperti tampak pada
antusiasme segenap warga saat menikmati pawai dan atraksi liong dan
barongsai.
Dengan
demikian, Imlek sungguh menjadi perekat di tengah segala macam perbedaan.
Anehnya, meski penuh pesan kebaikan, perayaan Imlek di negeri ini punya
pasang-surut sesuai dengan kondisi politik. Selama Orde Baru, jadi selama
Imlek 1968-1998, tahun baru yang berawal dari adat petani di China ini
dilarang. Semua kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat China
tidak boleh dilakukan lagi, termasuk Imlek. Larangan itu tertuang dalam
Inpres Nomor 14/1967.
Syukurlah,
melalui Keppres RI Nomor 6/2000, Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang
juga digelari Bapak Tionghoa Indonesia mencabut Inpres Nomor 14/1967 yang
memarginalkan etnis China di segala bidang. Presiden Megawati Soekarnoputri
lalu menindaklanjuti dengan mengeluarkan Keppres Nomor 19/2002 yang
meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional. Keputusan Imlek sebagai hari
libur nasional dimulai sejak 2003.
Sebenarnya
Imlek juga pernah menjadi hari libur resmi pada masa negeri kita dijajah
Jepang, yakni pada Imlek 1943 berdasar keputusan Osamu Seirei No 26 pada 1
Agustus 1942. Pada zaman Belanda hal serupa tidak pernah terjadi, jadi
agaknya kebijakan Orde Baru memang mirip dengan kolonial Belanda. Kalau
sekarang kini kita bisa menikmati kemeriahan Imlek atau ikut menikmati hari
liburnya, semua tidak terlepas dari peran dan kontribusi Gus Dur.
Jika
kita jujur, hari ini, di tengah menguatnya populisme serta melapuknya
kohesivitas nasional yang ditandai dengan konflik, adu domba, dan merebaknya
“hoax“ serta ujaran kebencian di segenap lini kehidupan berbangsa, kita
merindukan sosok Gus Dur. Juga, di tengah kepentingan politik sesaat seperti
pilkada, persaudaraan dan kebersamaan kita sebagai sesama anak bangsa jangan
rusak atau hancur. Maka itu, kita perlu mengelaborasi dan merevitalisasi
spirit Gus Dur.
Kebetulan
belum lama ini berlangsung Haul Ke-7 Gus Dur di Ciganjur yang dihadiri banyak
tokoh politik dan lintas iman termasuk Presiden dan tiga pasangan calon di
Pilkada DKI (23/12/2016). Gus Dur wafat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
(RSCM), Jakarta, Rabu, 30 Desember 2009, pukul 18.45. Jenazah almarhum
dimakamkan di Jombang pada Kamis, 31 Desember 2009, pukul 13.00. Hingga kini
makam Gus Dur di Jombang juga terus ramai dikunjungi warga bangsa dari semua
lapisan golongan dan agama.
Makam
Gus Dur itu menjadi saksi betapa sosok satu ini memang punya daya rekat yang
luar biasa bagi bangsa ini. Semua anak bangsa dari beragam etnis, agama, dan
latar belakang lain tiap datang ke makam itu seolah tengah dilanda rindu pada
kehadiran Gus Dur. Teladan dan pesan Gus Dur, yang menjadi warisan paling
berharga bagi kita, di tengah sikon akhir-akhir ini.
Memang
jika kita coba menggali warisan itu, kita akan tahu betapa seluruh hidup Gus
Dur merupakan jembatan yang menghubungkan banyak orang sehingga bisa bersatu
harmonis di tengah kebinekaan, sebagaimana para tamu yang hadir di Haul Ke-7
di Ciganjur. Bagi Gus Dur, setiap bentuk perbedaan, termasuk perbedaan
keyakinan, tidak perlu diperdebatkan. Perbedaan itu hanya bisa diterima
sebagai rahmat. Karena menjadi rahmat, tidak ada gunanya mencoba mencari
kesalahan yang lain.
Justru
ihwal yang bisa mengganggu atau membuat renggang dalam beragama perlu
dihindari. Bila muncul persoalan, diselesaikan lewat dialog. Persoalan atau
masalah, termasuk konflik, disikapi Gus Dur sebagai hal yang wajar saja.
Sebab, adakah bangsa yang bisa bebas dari persoalan atau masalah, termasuk
konflik? Itulah yang membuat Gus Dur selalu optimistis dalam memandang
Indonesia. Gus Dur memang sangat arif sekaligus ahli dalam menerima dan
menyikapi kenyataan.
Pemahaman
optimistis Gus Dur akan kenyataan hidup, termasuk kehidupan berbangsa dan
beragama, dilandasi oleh perspektif perenialisme yang diyakininya. Menurut
perspektif perenialisme, setiap agama di dunia memiliki suatu kebenaran yang
tunggal dan universal sehingga setiap penganut agama yang berbeda sebenarnya
bisa saling bertemu. Pesan cinta damai, persaudaraan, dan kebaikan selalu ada
pada setiap agama. Akan sia-sia saja kalau kita berupaya mengukur pemahaman
keagamaan orang lain dari apa yang kita yakini atau imani.
Lebih
baik kita mengikuti jejak Gus Dur, yang mampu menerima perbedaan dan
menghargai kebinekaan sehingga kita masih bisa menikmati berkah persaudaraan
dan perdamaian di tengah kemajemukan bangsa. Gus Dur juga punya cara pandang
yang positif terhadap pihak lain. Sejauh ada kecurigaan, prasangka, atau
pikiran negatif sekecil apa pun, itu akan menjadi kendala untuk membangun
relasi yang sehat. Tak heran semasa hidup Gus Dur tidak percaya pada
perspektif konflik sehingga semua teori konflik dari Karl Marx hingga Samul P
Huntington tidak diyakininya.
Semua
yang terjadi hanya perlu diambil hikmahnya. Misalnya kita perlu mengambil
hikmah dari negeri yang hancur lebur akibat perang seperti Suriah. Jadi,
tidak ada guna kita berebut klaim kebenaran bahwa “pihak lain salah dan pihak
sayalah yang paling benar”. Demikian juga tidak ada gunanya kita berpolemik
ihwal yang sepele karena justru bisa kontraproduktif bagi kemajuan bangsa.
Jadi, mari belajar lagi dari Gus Dur yang tidak pernah reaktif tiap kali
muncul permasalahan, tapi selalu proaktif menawarkan sebuah komunikasi
positif sehingga akhirnya terjadi dialog dan relasi yang sehat.
Dan,
semua bermuara dari dalam lubuk hati yang bersih dari segala prasangka untuk
kemudian jujur menyapa orang lain (etnis lain, agama lain) dengan penuh rasa
hormat. Cara pandang seperti itu bahkan sungguh kita butuhkan, bukan hanya
demi membangun relasi dengan sesama anak bangsa, tapi juga bagi kehidupan
pribadi kita. Maka itu, Imlek dan segala warisan budaya China di negeri ini
juga perlu kita sambut dengan positif. Apalagi, sejarah sudah membuktikan,
budaya China mampu berakulturasi serta memperkaya peradaban Nusantara.
Akhirnya
jangan lupa, Imlek selalu kental dengan pesan menjaga harmoni dengan semua
makhluk. Segala macam ritual dan pernak-pernik Imlek selalu bertujuan meminimalkan
disharmoni sehingga semua makhluk mampu menjalin sinergi di tengah perbedaan
serta memberi kontribusi positif bagi keluarga, bangsa, dan kemanusiaan. Gong
Xi Fat Choi 2568. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar