Proteksionisme
Trump, Ketahanan Ekonomi Kita
A Tony Prasetiantono; Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan
Publik
UGM, Yogyakarta
|
KOMPAS, 30 Januari 2017
Begitu
dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat, Donald J Trump langsung merealisasikan
idenya untuk memproteksi perekonomian negaranya. Sebenarnya perekonomian AS
saat ini sedang menuju ke pemulihan sesudah krisis 2008. Tingkat pengangguran
kini hanya 4,6 persen, pertumbuhan ekonomi 1,6 persen, dan inflasi 1,2
persen. Itulah pencapaian positif yang dilakukan pemerintahan Barack Obama.
Namun,
rupanya Trump belum puas. Ada statistik ekonomi yang begitu mengganggunya,
yaitu defisit perdagangan, terutama terhadap Tiongkok. Pada 2015, AS
menderita defisit 367 miliar dollar AS terhadap Tiongkok, yang berarti naik
daripada sebelumnya 343 miliar dollar AS (2014). AS hanya berhasil mengekspor
116 miliar dollar AS, sedangkan impornya 484 miliar dollar AS terhadap
Tiongkok. AS banyak mengimpor barang-barang elektronik, pakaian, dan mesin dari
Tiongkok.
Ini
sebenarnya persoalan lama yang belum ditemukan solusinya. Mengapa Tiongkok
begitu superior? Pertama, Tiongkok memiliki keunggulan komparatif pada biaya
tenaga kerja. Pendapatan per kapita AS saat ini 56.000 dollar AS, sedangkan
Tiongkok 9.000 dollar AS (untuk kota terbesar Beijing dan Shanghai mencapai
11.000 dollar AS). Kedua, Pemerintah Tiongkok secara sengaja menetapkan kurs
yuan (renminbi) secara tetap sehingga cenderung lebih murah daripada
semestinya (undervalued). Hal ini kian menguntungkan posisi harga
barang-barang Tiongkok sehingga menjadi lebih murah.
AS
sebenarnya sudah lama mencoba melobi Tiongkok untuk mengatasi
ketidakseimbangan ini. Caranya, waktu itu, Menteri Luar Negeri AS Hillary R
Clinton dan bahkan Presiden Barack Obama terbang ke Beijing. Akan tetapi,
hasilnya sia-sia. Kurs yuan sempat akan diserahkan pada mekanisme pasar sejak
Oktober 2016. Namun, ternyata hasilnya tidak tampak. Dengan dukungan cadangan
devisa 3,2 triliun dollar AS, Pemerintah Tiongkok tetap bisa menyetir
”semaunya” dalam menentukan kurs yuan agar produk Tiongkok tetap kompetitif.
Masalah
inilah yang sebenarnya ingin dibidik Donald Trump. Dia ingin Tiongkok
menyerahkan mekanisme kurs yuan pada pasar sehingga yuan akan mengalami
apresiasi, katakanlah antara 2 persen dan 3 persen per tahun. Oleh karena
tidak ada tanda-tanda Tiongkok akan mematuhi kemauan AS, Presiden Trump pun
ingin memaksakan pengenaan tarif tinggi terhadap berbagai produk Tiongkok.
Kebijakan
ini tentu menakutkan seluruh dunia. Tiongkok bisa dipastikan tidak tinggal
diam. Joseph Stiglitz mengingatkan akan terjadinya bencana perang dagang
(trade war) antara AS dan Tiongkok, kemudian AS melawan Meksiko, lalu
merembet ke seluruh dunia. Ini bahaya. Selain proteksionisme perdagangan, Trump
juga akan memotong tarif pajak dan menambah defisit anggaran dengan utang.
Ini mirip jurus ekonomi Presiden Ronald Reagan yang disebut supply-side
economics, yang sesungguhnya tidak berjalan baik (Stiglitz, ”Trumpian
Uncertainty”, Project Syndicate, 9/1/2017).
Bagi
Paul Krugman, Trump ibarat memutar jarum jam ke seperempat abad silam ketika
World Trade Organization berdiri pada 1 Januari 1995. Perang dagang akan
terjadi, terutama AS melawan Tiongkok, meskipun mungkin tidak menyebabkan
terjadinya kenaikan pengangguran besar, seperti yang ditakutkan banyak
pengamat (Krugman, ”The China Shock and the Trump Shock”, The New York Times,
25/12/2016).
Benang
merah pendapat Krugman dan Stiglitz adalah perekonomian global tidaklah dalam
sekejap berubah dari era liberalisme/globalisasi (borderless world) menuju
era proteksionisme. Semuanya perlu proses yang tidak mudah dan makan waktu.
Tidak bisa seketika. AS memang keluar dari skema Kemitraan Trans-Pasifik
(TPP), tetapi skema WTO tidak serta-merta bubar.
Jalan
Trump masih panjang dan terjal untuk bernegosiasi dengan Tiongkok yang pasti
akan melawan dengan sengit. Sementara bagi Indonesia, AS merupakan mitra
dagang yang penting. Selama 2016, AS menjadi negara tujuan ekspor terbesar
Indonesia senilai 15,68 miliar dollar AS, disusul Tiongkok (15,09 miliar
dollar AS), dan Jepang (13,21 miliar dollar AS). Dari sini dapat disimpulkan,
meski tidak berarti kita pasti akan terkena dampak kebijakan Trump, upaya
untuk mencari pasar di luar AS menjadi hal yang harus dilakukan.
Namun,
ada berita baik bagi kita dari sektor primer. Sejak Desember 2016, para
produsen minyak dunia mulai menahan diri untuk tidak menggenjot produksi
hingga 90 juta barrel per hari. Mereka harus mengerem produksi untuk menyetop
kejatuhan harga minyak lebih lanjut. Arab Saudi dan Rusia akhirnya rela
mengurangi produksinya dengan masing-masing 500.000 barrel per hari. Langkah
ini diikuti produsen lain, baik anggota OPEC maupun bukan.
Hasilnya,
kini harga minyak stabil di level 53 dollar AS per barrel (WTI) dan 55 dollar
AS per barrel (Brent). Ini membawa mata rantai positif pada harga komoditas
substitusinya, yaitu batubara dan kelapa sawit.
Ditambah
dengan kuatnya komitmen pemerintah untuk membelanjakan fiskalnya pada
proyek-proyek infrastruktur (Rp 346 triliun), pada dasarnya perekonomian
Indonesia masih memiliki daya tahan terhadap kemungkinan gempuran Trump. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar