Jumat, 09 Maret 2018

Simbol Politik Foto Tokoh Bangsa

Simbol Politik Foto Tokoh Bangsa
Suyatno  ;   Dosen Ilmu Pemerintahan pada FHISIP Universitas Terbuka
                                              MEDIA INDONESIA, 07 Maret 2018



                                                           
PELARANGAN pemasangan foto tokoh-tokoh nasional yang bukan pengurus partai politik untuk alat peraga kampanye (APK) dalam Pilkada 2018 mengundang polemik. Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2017 itu melarang pemasangan foto presiden dan wakil presiden serta tokoh nasional, pahlawan lainnya dalam APK pilkada. Dengan peraturan itu foto tokoh Soekarno, Soeharto, Gus Dur, BJ Habibie tidak akan muncul pada poster dan baliho kampanye.

Kondisi itu mendatangkan munculnya pihak yang pro atau tidak mempersoalkan dan ada kubu yang kontra. Pihak yang pro menganggap larangan tersebut bertujuan menjaga nama besar tokoh itu tidak disalahgunakan partai atau calon sehingga berakibat tercemar nama sang tokoh. Tokoh bangsa adalah milik semua orang sehingga tidak hanya dimanfaatkan sekelompok orang.

Sementara itu, yang kontra mereka yang terkena dampak kehilangan media yang efektif berupa pemasangan foto tokoh yang merepresentasikan ideologi politik mereka. Alasan lainnya, penyertaan gambar tokoh bangsa dapat mencegah generasi bangsa lupa akan sejarah. Penyertaan foto menjadi sarana pengingat pikiran, ajaran, dan perjuangan tokoh-tokoh bangsa.

Lantas bagaimana sebenarnya pengaruh pelarangan ini terhadap upaya partai dan kandidat dalam meraup suara? Apa dampak yang ditimbulkan dari pelarangan ini? Tentu pihak yang tidak memiliki hubungan langsung dan ketergantungan dengan salah satu tokoh tidak mempersoalkan peraturan ini. Namun, yang memiliki kedekatan dan mengandalkan nama besar salah satu tokoh akan merasa dirugikan.

Simbol makna

Simbol berasal dari kata symballo (Yunani) yang berarti ‘melempar bersama-sama’. Upaya melempar atau meletakkan secara bersama-sama dalam satu ide atau konsep objek yang kelihatan sehingga objek tersebut mewakili gagasan. Menurut Dorothy (1952), simbol dapat menghantarkan seseorang ke dalam gagasan ataupun konsep masa depan maupun masa lalu. Simbol dapat berupa gambar (foto) atau benda yang mewakili gagasan, benda atau jumlah sesuatu yang maknanya diperoleh dari kesepakatan bersama.

Secara antropologis simbol politik dimaknai sebagai konfigurasi ideologi perjuangan, makna kekuasaan, dan identitas kolektif. Simbolisme politik menjadi fenomena yang tidak bisa dielakkan dalam proses politik. Karena maknanya sebagai simbol, foto tokoh-tokoh termasuk alat yang efektif dalam membentuk dan memengaruhi gagasan politik.

Foto tokoh-tokoh nasional merupakan simbol politik karena pemasangan foto tokoh memang dapat memengaruhi seseorang untuk bersikap. Fungsi simbol politik untuk aktualisasi politik tertentu. Fungsi lainnya adalah mengubah preferensi politik masyarakat. Simbol menjadi media yang efektif dalam memengaruhi perilaku politik publik. Simbol mengandung pesan yang mudah dipahami publik yang awam sekalipun. Dengan foto orang dengan mudah mengingat menilai dan menyimpulkan siapa dan apa yang dimaksud kandidat atau partai pemasang. Hanya dengan melihat secara sekilas di jalan orang bisa melakukannya.

Simbol juga lebih menarik perhatian. Orang akan segera melihat gambar ketimbang harus membaca tulisan. Mereka akan segera fokus dan melayangkan memori pada apa yang pernah ia dapatkan tentang tokoh yang gambarnya terpampang. Bagi yang menyukainya, simbol mendatangkan magnet yang lebih kuat. Pihak yang mulanya ragu bisa menjadi mantap dan yang belum tahu akan tertarik. Ia berdiri lebih kuat ketimbang bahasa lisan maupun tulis. Gambar berbicara lebih gampang dan gamblang menarik orang memiliki pemahaman yang sama. Suatu simbol bisa menjadi lambang yang mempersatukan.

Sekadar symbol

Namun, sebagaimana sifat alat pada umumnya simbol foto tokoh ini bisa dimanfaatkan ke arah yang baik maupun sebaliknya. Ada beberapa kecenderungan yang selama ini berlangsung bisa dibaca melatari pelarangan penggunaan foto tokoh dalam berkampanye. Munculnya foto tokoh hanya digunakan sebagai simbol untuk meraup suara saja.

Makna keberhasilan yang diraih tokoh bersangkutan yang ditawarkan tidak diterapkan calon atau partai pengusung. Hanya berhenti pada janji-janji agar meraih dukungan saja. Setelah dukungan diraih tidak direalisasikan dalam kinerja kandidat atau parpol.

Problem yang dikhawatirkan berikutnya ialah penggunaan ini dapat membuka peluang jebakan pada kultus individu. Penempatan seseorang pada tempat yang cenderung untuk dipuja. Penempatan ini rentan untuk memunculkan penilaian positif dan negatif yang tidak seimbang terhadap seorang tokoh. Dampak negatif berikutnya ialah kencangnya upaya mengorek keburukan seorang tokoh rentan terjadi.

Kecemasan lainnya justru menyebabkan pencemaran nama baik atau nama besar. Pencemaran ini terjadi bila pengusung foto tidak mampu mencerminkan nilai-nilai positif sang tokoh bahkan menjalankan peran yang bertentangan semisal korupsi. Alih-alih mengulang nilai yang pernah diperjuangkan yang terjadi, justru menjadi beban dan memperburuk nama baik sang tokoh.

Koreksi

Pelarangan bisa jadi patut dikoreksi dengan catatan ada introspeksi oleh para penggunanya. Simbol adalah instrumen yang penting dalam politik. Berbagai makna positif yang melekat pada foto tokoh-tokoh negara memang bisa dimanfaatkan. Secara lebih tinggi penggunaan foto itu bisa memunculkan rasa nasionalisme bangga terhadap tokoh-tokoh bangsa. Mereka berperan sebagai lambang keberhasilan negeri melahirkan tokoh-tokoh yang berpengaruh.

Akan tetapi, kinerja untuk mewujudkan nilai-nilai, ajaran, dan perjuangan tokoh dalam kenyataan jauh lebih penting. Sudah saatnya calon atau partai menawarkan program-program yang konkret dalam berkampanye yang berasal dari tokoh panutan untuk dilaksanakan.
Patut dibangun kesadaran moral bahwa memasang foto tokoh mengandung beban yang tidak ringan untuk menjaga nama baik sang tokoh.

Memajang foto mereka bukanlah tindakan yang bisa dilakukan asal-asalan, melainkan dengan penuh perhitungan. Rasa hormat harus ditempatkan pada posisinya yang tinggi. Dalam pepatah berlaku memikul tinggi menanam dalam nama baik tokoh panutan harus dipegang kuat.

Masyarakat tidak boleh lagi hanya dibuai janji, apalagi hanya bernostalgia dengan nama besar tokoh-tokoh melalui foto-foto yang dipajang untuk membujuk suara mereka berikan. Kita patut menjadi generasi penerus yang baik untuk membawa negeri ini menuju kejayaan di masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar