Jumat, 13 April 2018

Masa Jabatan Legislatif

Masa Jabatan Legislatif
Despan Heryansyah  ;   Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum UII Yogyakarta;  Peneliti Pada Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK)
                                                         KOMPAS, 13 April 2018



                                                           
Pembatasan masa jabatan presiden, gubernur, bupati/wali kota, yang masing-masing selama lima tahun untuk dua kali masa jabatan, dan kepala desa selama enam tahun untuk tiga kali masa jabatan, tidak lepas dari sejarah otoritarianisme masa lalu.

Jabatan yang tak terbatas tidak saja melanggar hak orang lain untuk mendapatkan kesempatan “dipilih”, juga selalu melahirkan kesewenang-wenangan. Adagium klasik yang menyatakan bahwa kekuasaan cenderung korup, tetapi kekuasaan yang absolut pasti disalahgunakan (Lord Acton, 1834-1902) belum terbantahkan. Bahkan, pembatasan masa jabatan itulah yang jadi titik sentral amandemen UUD 1945.

Namun, entah apa yang terjadi, semangat pembatasan masa jabatan yang dilakukan dalam amandemen konstitusi danUU setelahnya hanya terfokus pada lembaga eksekutif, sedangkan legislatif hampir tidak tersentuh sama sekali. Justru kini bandul kekuasaan bergeser ke arah lembaga legislatif yang lebih familiar dengan istilah legislative heavy.
Pertama, kewenangan membentuk UU, termasuk APBN. Meskipun dalam praktiknya masih bergantung pada tenaga ahli dan inisiatif pemerintah, tetapi konstitusi sudah menjamin bahwa kewenangan membentuk UU adalah milik legislatif.

Kedua, kewenangan dalam mengangkat pejabat negara, di mana saat ini hampir semua jabatan kenegaraan harus melibatkan legislatif, baik dalam aspek pengujian, memberi pertimbangan, maupun menyetujui.

Ketiga, kewenangan baru yang diberikan oleh revisi UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), di mana legislatif diposisikan sebagai lembaga super body yang bahkan berwenang mencampuri urusan eksekutif maupun yudikatif. Belum lagi kekaburan DPR dalam memosisikan lembaga independen negara semisal KPK, KPI, dan lembaga lainnya sebagai bagian dari eksekutif. Padahal lembaga-lembaga itu adalah lembaga independen yang tidak termasuk pada cabang lembaga mana pun, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.

Saat ini, baik konstitusi maupun UU tak memberikan batasan terhadap masa jabatan anggota legislatif. Tak heran jika banyak anggota legislatif yang terpilih hingga 3-4 kali masa jabatan. Alhasil, dengan kewenangan yang begitu besar—juga dilaksanakan oleh orang yang itu-itu saja—maka tidak ada nama lain kecuali kesewenang-wenangan.

Kita mempercayakan jabatan legislatif pada prosedur demokrasi, dalam artian semua diserahkan kepada rakyat. Jika rakyat masih menginginkan seseorang jadi wakilnya di parlemen maka dia akan memilihnya. Begitu pun sebaliknya, jika rakyat tidak menghendaki maka dia akan memilih yang lain.

Kepercayaan yang berlebihan terhadap prosedur demokrasi dalam praktiknya tidaklah baik. Demokrasi dalam masyarakat yang masih mengagungkan patronase dan nyaman dalam patriarki sering kali memosisikan individu dalam posisi yang tidak sejajar, sehingga pilihan dijatuhkan tidak pada pilihan nuraninya.

Di samping itu, demokrasi juga dihadapkan pada dua ancaman yang tidak jarang kita lihat prakteknya di Indonesia.

Pertama, demokrasi dibajak oleh mereka yang sejatinya anti- demokrasi. Kelompok-kelompok sektarian dapat mengambil hati konstituen secara demokratis, tetapi setelah berkuasa mereka membakar jembatan yang mereka bakar sendiri. Ada kecenderungan di Indonesia bahwa kepentingan mayoritas, biasanya atas nama keamanan, harus lebih diutamakan daripada kepentingan minoritas, tidak peduli sepenting apa pun hak minoritas yang dikorbankan itu.

Kedua, demokrasi dibajak oleh orang-orang berpunya. Demokrasi merosot maknanya menjadi kompetisi untuk mendulang suara yang di dalamnya popularitas menjadi kunci utama. Sementara popularitas jarang dibangun dari keringat kerja-kerja politik, melainkan iklan politik belaka. Tak ayal, para pemenang pun adalah mereka yang bermodal atau dimodali para cukong. Kualitas demokrasi pun dipertaruhkan ketika relasi politik berubah menjadi transaksi ekonomi belaka.

Oleh karena itu, masa jabatan legislatif pun harus dibatasi. Dalam konteks masyarakat Indonesia hari ini, kita tidak dapat memercayakan sepenuhnya pada prosedur demokrasi. Selain itu, aturan ini juga berpotensi melanggar hak asasi warga negara lain. Setidaknya hak untuk dipilih menjadi anggota legislatif karena yang selalu tampil dipermukaan hanya orang yang itu-itu saja.

Pertanyaannya apakah membatasi masa jabatan legislatif melanggar HAM? Tentu saja tidak karena pembatasan tidak didasarkan atas diskriminasi SARA, tapi justeru untuk melindungi warga negara lain dari kesewenang-wenangan serta memenuhi hak mereka untuk dipilih dalam jabatan legislatif. Logika ini pula yang digunakan pada saat membatasi masa jabatan Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota.

1 komentar:

  1. ===============================================================================================================================================================================================================

    BalasHapus