Kamis, 05 April 2018

Indonesia Bertahan

Indonesia Bertahan
Azyumardi Azra  ;   Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
                                                         KOMPAS, 05 April 2018



                                                           
Bisakah Indonesia bertahan sampai 2030? Novel fiksi karya FW Singer dan August Cole, Ghost Fleet, meramalkan Indonesia tinggal nama pada 2030. Imajinasi liar ini kemudian menjadi kontroversi ketika Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto mengutip ramalan itu. Meski Prabowo menyatakan bermaksud agar semua pemimpin dan warga Indonesia mewaspadai kemungkinan itu, bagaimanapun yang beredar di lingkungan publik adalah kecemasan tentang masa depan Indonesia. Ini memunculkan politics of fear, politik yang membangkitkan ketakutan.

Pernyataan Probowo itu memperkuat pesimisme di kalangan warga tentang apakah Indonesia bisa bertahan menghadapi berbagai masalah politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Sebagai negara besar—tidak hanya dari segi wilayah, tetapi juga penduduk—alamiah saja menghadapi berbagai masalah.

Akan tetapi, pesimisme dan politics of fear tentang Indonesia yang dapat bubar jelas menggandakan rasa kecut.

Simak analisis administratur dan ilmuwan Inggris, JS Furnivall, dalam Netherlands East Indies: A Plural Economy (1939). Dalam karya yang membahas pluralitas ekonomi yang pincang di Hindia Belanda (Indonesia), Furnivall mengajukan skenario kiamat (doomed scenario) bagi Indonesia. Dia memprediksi, jika Belanda tidak kembali berkuasa di Hindia Belanda seusai Perang Dunia, kawasan ini bakal terpecah belah karena dalam pluralitasnya yang luar biasa tidak ada satu faktor pun yang dapat mempersatukan.

Akan tetapi, prediksi Furnivall tidak menjadi kenyataan. Tidak berkeping-keping, Indonesia malah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Prediksi gelap tentang Indonesia juga berkembang di kalangan Indonesianis ketika Indonesia mengalami transisi dari otoritarianisme menjadi demokrasi pada 1997-1998. Krisis ekonomi, politik, dan sosial pada masa itu dianggap bakal membawa Indonesia ke dalam Balkanisasi. Diprediksi Indonesia akan terpecah belah seperti negara-negara di Semenanjung Balkan pada awal 1990-an.

Prediksi Balkanisasi Indonesia, alhamdulillah, juga tidak menjadi kenyataan. Meski suasana kebebasan yang baru ditemukan dalam alam demokrasi menimbulkan berbagai gejolak politik yang bukan tidak mencemaskan, Indonesia tetap bertahan. Walau dalam beberapa tahun terakhir pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung stagnan, beberapa lembaga kredibel, seperti Forum Ekonomi Dunia (WEF) atau PriceWaterhouseCooper (PwC), menjelang 2025-2030, menyatakan ekonomi Indonesia bakal terbesar ke-5 atau ke-4 terbesar di dunia.

Kenapa prediksi kalangan sarjana asing—apalagi fiksi—tentang bubarnya Indonesia meleset? Masalahnya terletak pada kenyataan, prediksi ilmiah sekalipun cenderung melihat satu sisi Indonesia, tidak melihat dari berbagai aspek. Lagi pula, mereka mendasarkan prediksi pada pengalaman mereka di Eropa.

Dalam konteks itu, ada Indonesianis asal Eropa memersepsikan Indonesia atas dasar pengalaman historis Eropa yang penuh konflik panjang berdarah-darah. Meski Eropa homogen secara ras dan etnis (Kaukasian atau kulit putih) dan agama (Kristianitas) akhirnya terbelah menjadi banyak negara besar-kecil (57) sejak pasca-Perang Dunia II sampai sekarang.

Pada sisi lain, prediksi Furnivall, misalnya, hanya menekankan segi ekonomi Indonesia yang plural penuh kesenjangan. Skenario Balkanisasi hanya menekankan segi politik Indonesia. Padahal, dari segi tradisi sosial-budaya meski sangat majemuk, budaya Indonesia sangat cair (fluid) berkat kenyataan Indonesia sebagai ”benua maritim” yang memungkinkan pelayaran dari satu tempat ke tempat lain di mana berbagai suku dapat berinteraksi dan bertukar budaya.

Tidak kurang pentingnya faktor agama. Berbagai agama di Benua Maritim Indonesia, bukan memecah belah berbagai suku, sebaliknya menumbuhkan ikatan solidaritas yang melewati batas etnis dan tradisi sosial budaya.

Pada awalnya di kalangan suku-suku yang berbeda muncul solidaritas keagamaan (al-ukhuwwah al-diniyyah). Berada dalam penjajahan Belanda dan kemudian Jepang, al-ukhuwwah al-diniyyah dengan segera berkembang menjadi solidaritas setanah air Indonesia (al-ukhuwwah al-wathaniyyah). Inilah kesatuan Indonesia yang tidak mudah tercerai-berai.

Proses Indonesia untuk bertahan sebenarnya terus menguat. Dengan begitu, sekali lagi, meski masih menghadapi banyak masa- lah, kita boleh optimistis Indonesia tetap bertahan melewati 2030 terus menuju 2045—seabad kemerdekaan negara-bangsa ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar