Jumat, 02 Maret 2018

PSI, Pemilik Modal, dan “Politics as Usual”

PSI, Pemilik Modal, dan “Politics as Usual”
Denny JA  ;   Pendiri Lingkaran Survei Indonesia
                                                     REPUBLIKA, 01 Maret 2018



                                                           
Wartawan bertanya pada saya tentang dua fenomena pada partai baru, kasus PSI (Partai Solidaritas Indonesia).

Pertama, bagaimana memahami mengapa partai (PSI) yang menggembar gemborkan memperjuangkan anti korupsi, tapi menjadikan tokoh yang pernah dicekal KPK pada posisi sangat penting: Sekretaris Dewan Pembina: Sunny Tanuwijaya?

Kedua, bagaimana memahami mengapa partai yang menggembar gemborkan perjuangan pemerintahan yang transparan, tapi tidak transparan mengumumkan siapa saja pengurus partai itu yang sebenarnya di laman resmi, apalagi untuk posisi yang powerful (Ketua Dewan Pembina dan Sekretaris Dewan Pembina)?

Menjawab dua pertanyaan itu, kita menyelami sisi pahit realitas politik. Membangun partai di masa kini memerlukan tak hanya gagasan, tapi juga modal besar. Tak hanya ide, tapi juga dana bejibun.

Yesss!  It is the Big Money! Penjelasan atas dua pertanyaan ini bisa dilacak melalui apa yang dulu dipopulerkan oleh film “All the President Men”: Follow the money. Lacak saja aliran dana partai ini.

                                                       ***

Kita membela prinsip, semua warga negara berhak atas posisi politik secara equal. Itu prinsip Hak asasi manusia. Ini prinsip konstitusi. Yang kita analisa hanya mengapa tokoh ini di posisi itu.

Mengapa harus  Sunny? Mengapa tokoh yang pernah dicekal KPK tetap dipilih  diletakkan dalam posisi sepenting itu untuk partai yang memperjuangkan korupsi? Karena ini partai yang mengklaim  perjuangan anti korupsi, mengapa bukan tokoh yang punya rekor perjuangan anti korupsi yang di sana?

Sunny bukan ikon pejuang anti korupsi. Dicari dalam rekornya, bolak-balik dari pagi sampai sore, tak akan kita jumpa rekor Sunny memperjuangkan pemerintahan yang bersih. Yang ada justru sebaliknya. Ia pernah dicekal KPK.

Diletakkannya Sunny di sana apa iya seperti yang kini diberitakan oleh tokoh partai itu sendiri? Bahwa  itu hasil dari pansel independen? Bahwa Sunny seorang peneliti ilmu sosial?

Jika penjelasan peristiwa politik dipahami dalam kerangka  “sinerji antara gagasan dan kepentingan modal,” lebih masuk akal   penjelasan ini.  Dipaksakannya Sunny dalam posisi sepenting itu karena keperluan modal besar. Sunny dikenal dekat dengan pemilik modal besar negeri ini.

Media online sudah banyak menjelaskan jaringan bisnis di seputar Sunny. Umumnya mereka memang dikenal sebagai pemilik BIG MONEY.Tak ada yang salah sampai titik ini.

Problem semata mata karena Sunny pernah luas diberitakan media, ia pernah dicekal KPK. Keperluan modal besar yang membuat partai mengambil resiko meletakkan Sunny, yang pernah dicekal KPK, dalam posisi sepenting Sekretaris Dewan Pembina.

Petinggi partai sepenuhnya sadar. Nama Sunny, juga nama Jeffry Geovani, tak bisa dijual sebagai pengharum partai. Sunny pernah dicekal KPK. Sementara Jeffry tak pernah betah lama di satu partai. Jeffry sering meloncat. Ia pernah di  PAN. Lalu ke Golkar. Kemudian ke Nasdem. Lalu keluar lagi.

Itu pula yang dapat menjelaskan. Mengapa dua tokoh ini seolah “disembunyikan.”  Mereka berdua sangat menentukan, dapat posisi sangat penting sebagai ketua Dewan Pembina dan Sekretaris Dewan Pembina. Tapi nama mereka tidak dicantumkan dalam laman resmi PSI.

Ketika partai lain terbuka menuliskan seluruh pengurus penting di laman resmi, apalagi posisi ketua dan sekretaris Dewan Pembina, PSI tak menyertakan nama mereka berdua. Jika pengurus PSI yakin nama dua tokoh ini harum di mata voters dan publik luas, pastilah sedini mungkin dua tokoh ini sudah digelumbungkan sebagai ikon partai. PSI melakukan itu, marketing tokoh, ketika ia merekrut penyanyi Giring Niji misalnya.

Itulah yang disebut politics as usual. Untuk tokoh yang diyakini membawa harum, menarik pendukung, ia akan dimarketingkan. Sebaliknya, untuk tokoh yang mungkin negatif, ia tak akan ditonjolkan. “Tak ditonjolkan” itu kata yang lebih halus dibanding disembunyikan.

Dari zaman kuda gigit besi hingga kuda gigit handphone, hukum besi itu berlaku. Suka ataupun tidak. Terlepas dari retorika pembelaannya, ya itulah politics as usual: marketingkan tokoh yang harum. Sembunyikan tokoh yang “bermasalah.”

                                                  000

Setelah semua terbuka di atas meja, bagaimana prospek PSI?

Segala hal mungkin terjadi. Mungkin Sunny tetap dipertahankan dalam posisi Sekretaris Dewan Pembina. Ini sudah kepalang basah.

Lalu pasukan pembela dikerahkan. Dicari aneka  argumen yang paling masuk akal dan kena di hati pemilih untuk menjelaskan mengapa Sunny masih di sana. Tentu argumen yang elegan yang tak berhubungan dengan big money walau sebenarnya ini masalah big money belaka.

Mungkin pula disiapkan Exit Strategi yang elegan: Sunny mundur dari partai untuk alasan yang sangat harum. Tekanan terlalu besar yang bisa signifikan mempengaruhi partai ini tak lolos parliamentary threshold 4 persen.

Mungkin Sunny tetap berperan penting tapi di belakang layar saja. Namanya tak perlu tercantum resmi. Dua duanya dapat. Akses pada pemilik modal tetap ada melalui Sunny. Tapi tekanan publik bisa dikurangi.

Mungkin pula partai mengurangi tekanannya pada perjuangan anti korupsi, dan mencari agenda lain yang lebih sesuai.

Walau Sunny sudah tak dicekal KPK lagi, tapi keberadaannya dalam posisi penting tetap mengganggu jika yang diutamakan agenda anti korupsi. Akankah terjadi perubahan agenda utama partai?

Mungkin pula terjadi kemunduran pesona partai secara signifikan. Awalnya begitu banyak yang ingin bergabung, atau setidaknya mendukung. Namun  ternyata di partai yang mengklaim semangat baru juga terkena hukum besi “politics as usual.”

Bisa pula terjadi krisis. Para aktivis dan intelektual di partai tak semilitan sebelumnya setelah tahu partai ini tak seindah yang dibayangkan.

Atau malah sebaliknya. Partai ini justru mendapatkan simpati karena terkesan dizalimi. Semua serba mungkin.

Bagaimana saran saya sendiri selalu konsultan politik yang sudah ikut memenangkan semua pilpres langsung, tiga kali pilpres, 32 gubernur, 87 bupati/walikota?

Saran saya: sekali layar kapal terkembang, arungi lautan sekeras apapun badai datang.  Jangan patah semangat. Bertiupnya angin yang kencang justru pertanda pohon yang semakin tinggi.

Lalukan “damage control.” Cari isu baru yang segar. Upayakan dulu partai ini melampaui parliamentary threshold 4 persen.

Banyak anak muda yang bagus yang sudah terlanjur bertaruh karir politik di partai ini.  Banyak agenda bagus sudah dinyatakan partai ini. Jika agenda itu berhasil, itu bagus untuk Indonesia.

Dalam kerangka “sinerji gagasan dan kepentingan modal,” kerjakan apapun yang bisa agar gagasan yang menjadi raja. Modal jadikan pengikutnya. Jangan terbalik.

Bisakah? Sebuah ikhtiar berharga untuk dicoba. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar