Jumat, 09 Maret 2018

Melepas Perangkap Human Trafficking

Melepas Perangkap Human Trafficking
Venansius Haryanto  ;   Peneliti pada lembaga Sunspirit for Justice and Peace Labuan Bajo-Flores
                                              MEDIA INDONESIA, 07 Maret 2018



                                                           
SATU lagi predikat baru atas NTT, yaitu sebagai provinsi darurat human trafficking. Miris memang, alih-alih merangkak keluar dari predikat provinsi termiskin dan terkorup, NTT malah ketiban masalah kemanusiaan baru sebagai provinsi darurat human trafficking.

Merespons problem tersebut, dua pertanyaan berikut perlu dilontarkan. Pertama, faktor apa yang menyebabkan terjadinya human trafficking di NTT. Kedua, strategi-strategi apa saja yang telah dilakukan para stakeholder guna meretas persoalan human trafficking di NTT.
Terkait dengan pertanyaan pertama, sebagian orang berpaling pada soal kemiskinan, sumber daya manusia NTT yang masih rendah, faktor kultural sebagai pemicu tingginya human trafficking di NTT. Pandangan seperti ini misalnya nyata dalam tulisan Dominggus Elcid Li, pemerhati masalah human trafficking sekaligus peneliti pada ICGRS Kupang (Indoprogress, 26 Januari 2017).

Berbeda dengan pandangan Elcid Li, EYS Tolo lebih menempatkan fenomena human trafficking sebagai efek dari perkara ekonomi-politik yaitu soal ketidakadilan agraria di NTT. Human trafficking, menurut Tolo, merupakan riak-riak permukaan dari problem ketidakadilan agraria yang sudah sejak era kolonial mendera masyarakat NTT (Indoprogress, 5 Mei 2017).

Menjawab pertanyaan kedua, ada beragam langkah yang telah ditempuh untuk menjawab persoalan ini. Sejumlah lembaga advokasi, misalnya, membaca problem human trafficking dengan menggunakan pendekatan human rights. Karena itu, agenda aksi pun dirancang untuk selalu mengedepankan trafficked sebagai manusia yang bermartabat yang mempunyai hak atas hidup.

Ada pula yang menggunakan pendekatan gender, terutama terkait dengan perempuan yang menjadi pihak yang rentan tersandera kasus human trafficking. Kelompok yang ini pun gemar melakukan advokasi hak-hak perempuan yang belakangan ini menjadi keprihatinan global. Yang juga tidak kalah dominan ialah security approach guna membendung human trafficking di NTT. Pendekatan ini rata-rata menjadi domain pemerintah.

Merespons maraknya fenomena perdagangan manusia di NTT, misalnya, pemerintah pusat melalui Presiden Jokowi mengkritik keras kinerja keamanan di NTT yang konon kurang efektif dalam menyingkap jejak sindikat perdagangan manusia di NTT.Mari kita tinggalkan perdebatan panjang lebar di atas, dengan coba lebih dekat mempertautkan masalah human trafficking dengan isu tenaga kerja di NTT. Bahwa problem human trafficking terpaut erat dengan problem tenaga kerja. Atas dasar itu dari awal perlu disepakati bahwa persoalan buruh atau tenaga kerja perlu didudukkan dalam hubungannya dengan pembangunan dan demokrasi sebagai dua matra yang tidak pernah dapat dipisahkan.

Melacak artikulasi persoalan human trafficking sebagai problem ketenagakerjaan di atas, kelihatan jelas bahwa pemahaman kita yang kemudian berefek pada cara kita mengadvokasi problem human trafficking masih terjebak pada frame liberal rights yang sekarang menjadi propaganda global di mana-mana. Frame ini membuat advokasi terhadap problem tenaga kerja sebatas pada mendorong upaya pemenuhan hak mereka sebagai pekerja. Karena itu, law enforcement (penegakan hukum) menjadi panacea atau obat mujarab mengentas persoalan tenaga kerja.

Persis dalam kerangka berpikir macam ini, dibayangkan ada institusi yang namanya negara, yang sudah utuh, yang tinggal menjalankan fungsi amanah hukum tenaga kerja, dan pada saat yang sama membayangkan ada subjek yang disebut buruh, tenaga kerja yang keberadaanya terpisah dari negara. Ujung-ujungnya, tenaga kerja direduksi semata sebagai sebagai subjek ekonomi. Everything is about market.

Bertolak dari cara berpikir seperti itu, agenda memberantas human trafficking di NTT sekiranya perlu ditempuh dengan terlebih dahulu menempatkan tenaga kerja sebagai subjek politik. Argumentasinya jelas yaitu tenaga kerja harus menjadi subjek politik, lebih tepatnya sebagai warga negara aktif (active citizenship) yang mempunyai hak-hak yang terbentuk dalam proses politik, bukan hak yang final/sudah utuh-selesai, sebagaimana yang dipahami dalam liberal rights. Dengan berpikir seperti itu, dua hal berikut perlu ditempuh. Pertama, isu tenaga kerja harus menjadi menu harian santapan para anggota dewan dan juga partai politik. Tantangan untuk parlemen dan partai politik, bisakah tenaga kerja di NTT terbentuk sebagai asosiasi kepentingan. Ambil misal, apakah para petani sebagai tenaga kerja sudah membentuk wadah, katakanlah seperti asosiasi petani, sebagai wadah perjuangan politik mereka selama ini.

Terhadap Presiden Trump, segera setelah ia menduduki White House, masyarakat Amerika berbondong-bondong datang menagih janji soal petani. Respons Trump kala itu ialah mewajibkan petani dan pekerja tambang untuk segera membentuk asosiasi sebagai wadah perjuangan mereka.

Kedua, tenaga kerja sendiri perlu membentuk diri sebagai subjek politik dengan jalan menginisiasi terbentuknya asosiasi pekerja. Di tengah gegap gempita menjadikan NTT sebagai provinsi pariwisata menyusul keberhasilan Komodo menembus seven wonders, tenaga kerja seperti petani, penenun, pekerja di toko, restoran, dan hotel sekiranya perlu membentuk asosiasi agar mereka tidak terkesan menjadi penonton, lantas rentan terjebak dalam perangkap human trafficking.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar