Melepas
Perangkap Human Trafficking
Venansius Haryanto ; Peneliti pada lembaga Sunspirit for Justice and Peace
Labuan Bajo-Flores
|
MEDIA
INDONESIA, 07 Maret 2018
SATU lagi predikat baru atas NTT,
yaitu sebagai provinsi darurat human trafficking. Miris memang, alih-alih
merangkak keluar dari predikat provinsi termiskin dan terkorup, NTT malah
ketiban masalah kemanusiaan baru sebagai provinsi darurat human trafficking.
Merespons problem tersebut, dua
pertanyaan berikut perlu dilontarkan. Pertama, faktor apa yang menyebabkan
terjadinya human trafficking di NTT. Kedua, strategi-strategi apa saja yang
telah dilakukan para stakeholder guna meretas persoalan human trafficking di NTT.
Terkait dengan pertanyaan pertama,
sebagian orang berpaling pada soal kemiskinan, sumber daya manusia NTT yang
masih rendah, faktor kultural sebagai pemicu tingginya human trafficking di
NTT. Pandangan seperti ini misalnya nyata dalam tulisan Dominggus Elcid Li,
pemerhati masalah human trafficking sekaligus peneliti pada ICGRS Kupang
(Indoprogress, 26 Januari 2017).
Berbeda dengan pandangan Elcid Li,
EYS Tolo lebih menempatkan fenomena human trafficking sebagai efek dari
perkara ekonomi-politik yaitu soal ketidakadilan agraria di NTT. Human
trafficking, menurut Tolo, merupakan riak-riak permukaan dari problem
ketidakadilan agraria yang sudah sejak era kolonial mendera masyarakat NTT
(Indoprogress, 5 Mei 2017).
Menjawab pertanyaan kedua, ada
beragam langkah yang telah ditempuh untuk menjawab persoalan ini. Sejumlah
lembaga advokasi, misalnya, membaca problem human trafficking dengan
menggunakan pendekatan human rights. Karena itu, agenda aksi pun dirancang
untuk selalu mengedepankan trafficked sebagai manusia yang bermartabat yang
mempunyai hak atas hidup.
Ada pula yang menggunakan
pendekatan gender, terutama terkait dengan perempuan yang menjadi pihak yang
rentan tersandera kasus human trafficking. Kelompok yang ini pun gemar
melakukan advokasi hak-hak perempuan yang belakangan ini menjadi keprihatinan
global. Yang juga tidak kalah dominan ialah security approach guna membendung
human trafficking di NTT. Pendekatan ini rata-rata menjadi domain pemerintah.
Merespons maraknya fenomena
perdagangan manusia di NTT, misalnya, pemerintah pusat melalui Presiden
Jokowi mengkritik keras kinerja keamanan di NTT yang konon kurang efektif
dalam menyingkap jejak sindikat perdagangan manusia di NTT.Mari kita
tinggalkan perdebatan panjang lebar di atas, dengan coba lebih dekat
mempertautkan masalah human trafficking dengan isu tenaga kerja di NTT. Bahwa
problem human trafficking terpaut erat dengan problem tenaga kerja. Atas
dasar itu dari awal perlu disepakati bahwa persoalan buruh atau tenaga kerja
perlu didudukkan dalam hubungannya dengan pembangunan dan demokrasi sebagai
dua matra yang tidak pernah dapat dipisahkan.
Melacak artikulasi persoalan human
trafficking sebagai problem ketenagakerjaan di atas, kelihatan jelas bahwa
pemahaman kita yang kemudian berefek pada cara kita mengadvokasi problem
human trafficking masih terjebak pada frame liberal rights yang sekarang
menjadi propaganda global di mana-mana. Frame ini membuat advokasi terhadap
problem tenaga kerja sebatas pada mendorong upaya pemenuhan hak mereka sebagai
pekerja. Karena itu, law enforcement (penegakan hukum) menjadi panacea atau
obat mujarab mengentas persoalan tenaga kerja.
Persis dalam kerangka berpikir
macam ini, dibayangkan ada institusi yang namanya negara, yang sudah utuh,
yang tinggal menjalankan fungsi amanah hukum tenaga kerja, dan pada saat yang
sama membayangkan ada subjek yang disebut buruh, tenaga kerja yang
keberadaanya terpisah dari negara. Ujung-ujungnya, tenaga kerja direduksi
semata sebagai sebagai subjek ekonomi. Everything is about market.
Bertolak dari cara berpikir
seperti itu, agenda memberantas human trafficking di NTT sekiranya perlu
ditempuh dengan terlebih dahulu menempatkan tenaga kerja sebagai subjek
politik. Argumentasinya jelas yaitu tenaga kerja harus menjadi subjek politik,
lebih tepatnya sebagai warga negara aktif (active citizenship) yang mempunyai
hak-hak yang terbentuk dalam proses politik, bukan hak yang final/sudah
utuh-selesai, sebagaimana yang dipahami dalam liberal rights. Dengan berpikir
seperti itu, dua hal berikut perlu ditempuh. Pertama, isu tenaga kerja harus
menjadi menu harian santapan para anggota dewan dan juga partai politik.
Tantangan untuk parlemen dan partai politik, bisakah tenaga kerja di NTT
terbentuk sebagai asosiasi kepentingan. Ambil misal, apakah para petani
sebagai tenaga kerja sudah membentuk wadah, katakanlah seperti asosiasi
petani, sebagai wadah perjuangan politik mereka selama ini.
Terhadap Presiden Trump, segera
setelah ia menduduki White House, masyarakat Amerika berbondong-bondong
datang menagih janji soal petani. Respons Trump kala itu ialah mewajibkan
petani dan pekerja tambang untuk segera membentuk asosiasi sebagai wadah
perjuangan mereka.
Kedua, tenaga kerja sendiri perlu
membentuk diri sebagai subjek politik dengan jalan menginisiasi terbentuknya
asosiasi pekerja. Di tengah gegap gempita menjadikan NTT sebagai provinsi
pariwisata menyusul keberhasilan Komodo menembus seven wonders, tenaga kerja
seperti petani, penenun, pekerja di toko, restoran, dan hotel sekiranya perlu
membentuk asosiasi agar mereka tidak terkesan menjadi penonton, lantas rentan
terjebak dalam perangkap human trafficking. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar