Pluralisme
Itu Sunatullah
Saliyun Moh Amir ;
Ketua Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU
(LKKNU) Jateng 1993-2003
|
SUARA
MERDEKA, 21 Januari 2017
“Siapa pun yang menolak
kebhinekaan atau pluralisme di negeri kita, logikanya sama dengan menolak takdir
Tuhan”
KETIKA
berpidato di depan Sidang Majelis Umum PBB New York akhir tahun 1962,
Presiden Soekarno menjadi perhatian dunia khususnya dari delegasi
negara-negara Islam dan Timur Tengah. Apa pasal? Sebab dalam pidatonya ketika
mengajak para utusan negara-negara anggota badan dunia itu untuk bersatu
menghindari peperangan dan penjajahan, Bung Karno menyitir ayat Suci Alquran
Surat Al-Hujurat ayat 13.
Ayat
tersebut artinya : ”Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersukusuku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang
paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh,
Allah Maha Mengetahui Mahateliti.”
Keberanian
Bung Karno menyampaikan itu dan gebrakan lainnya dengan mengadakan Konferensi
Asia-Afrika sebelumnya tahun 1955 di Bandung, telah mendorong perubahan
negara-negara di benua Asia dan Afrika yang saat itu masih terjajah.
Satu
persatu negara-negara imperalis menyerahkan kekuasaan negara kepada penduduk
asli/pribumi. Namun, ada pula negara yang merdeka karena kemenangan
tentaranya di medan perang. Contoh negara yang merdeka seperti ini adalah
Vietnam yang dijajah oleh Prancis.
Begitu
pula dengan diselenggarakannya Konfernsi Negara-Negara Non-Blok (CONEFO) dan
Olimpiade Negara-negara Non- Blok (GANEFO) di tahun 1963 dan1964, telah
menjadi bara api dalam mengusir penjajah bagi negara-negara di Asia dan
Afrika yang masih dijajah negara-negara Eropa.
Kita
harus bangga menjadi bangsa Indonesia, sebuah negara dengan jumlah penduduk
nomor empat terbesar di dunia, setelah Tiongkok, Amerika Serikat dan India.
Satu bangsa yang memiliki negara kepualuan yang besar, dengan 17.504 pulau
besar dan kecil. Jika data sensus tahun 2010 bisa dipercaya, maka negeri kita
memang unik.
Ada
300 kelompok adat, dengan 1.340 suku bangsa, dengan mayoritas populasi
penduduk atau 41% di antaranya adalah suku Jawa. Di samping terdapat
perbedaan adatistiadat, menganut beragam agama dan kepercayaan. Karenanya,
Indonesia dikenal sebagai negara yang multikultural dan plural.
Pluralisme
menjadi qonditio sine qua non bagi
Indonesia. Kebesaran negeri dengan tipologi seperti itu tidak sematamata
merupakan berkah, tetapi di sisi lain menyimpan berbagai tantangan yang tidak
sederhana. Beberapa kali dalam perjalanan sejarah bangsa ini telah
membuktikan peristiwa- peristiwa tersebut.
Meskipun
mayoritas penduduk negeri ini muslim, namun jangan lupa bahwa entitas Islam
sebagai rahmatan lil’alamin mengakui
dan menghormati eksistensi pluralitas. Sebab Islam memandang bahwa pluralitas
adalah sebagai sunatullah, yaitu fungsi pengujian Allah pada manusia setelah
diciptakan sebagai khalifah Tuhan di muka bumi.
Pluralisme
dan nasionalisme disebut sebagai hukum alam atau sunatullah. Lalu apa yang
dimaksud dengan sunatullah? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka
Jakarta, 2005, Depdiknas) kata sunatullah bermakna hukum Allah Swt yang
disampaikan kepada umat manusia melalui para rasul.
Makna
lainnya adalah undang-undang keagamaan yang ditetapkan oleh Allah SWT yang
termaktub di dalam Alquran. Kata sunnatullah juga bisa berarti hukum
(kejadian) alam yang berjalan secara tetap dan otomatis.
Petunjuk Keberagaman
Pluralisme
itu memang merupakan iradah (kehendak) dari Sang Maha Pencipta. Hal itu bisa
kita simak dalam Surat Ar-Rum ayat 22 yang artinya: “Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan
bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui”.
Ayat-ayat
tersebut menempatkan kemajemukan atau pluralitas sebagai determinan (condition sine qua non) bagi Allah
dalam penciptaan makhluk. Makhluk yang bernama manusia diciptakan
berbeda-beda, dan hidup di tempat yang terpencar secara global membentuk
kelompok kebangsaan dan nation sendiri-sendiri yang berbeda. Itulah artinya
bahwa pluralisme dan nasionalisme memang sudah sejak dari ”sononya”.
Dengan
demikian maka siapa pun yang menolak kebinekaan atau pluralisme di negeri
kita, logikanya sama dengan menolak takdir Tuhan. Sebenarnya petunjuk agama
sudah sangat gamblang tentang adanya keberagaman. Mestinya tugas kita manusia
sebagai khalifah Tuhan adalah merawat kebhinekaan itu guna mewujudkan maslahat
dan rahmat dalam kehidupan bersama.
Sayang,
di tengah-tengah kita ada kelompok radikal yang tidak mau tahu terhadap
kebenaran petunjuk Tuhan yang amat jelas itu. Atas nama kebebasan dan hak
asasi, mereka berani melakukan aksi intoleransi. Dan celakanya mereka juga
tidak malu membawa atribut agamnya.
Kondisi
demikian digambarkan secara tepat oleh seorang penyair: Wa kam min aaibin
qaulan shahiha, wa afatuhu minal fahmis saqiimi. Banyak orang yang menentang
(mengabaikan) kebenaran, sebabnya karena pemahamannya yang tidak akurat
(sakit).
Sekalipun
diciptakan dalam dimensi pluralitas, Tuhan menyuruh manusia supaya hidup
dalam kerukunan dan perdamaian, serta saling mengenal di antara satu dengan
yang lain. Dari ayat itu bisa ditarik kesimpulan untuk mewujudkan perdamaian,
semua orang harus merasa bersaudara.
Persaudaraan
menurut versi Islam bukanlah persaudaraan yang eksklusif, terbatas dengan
umat Islam atau satu golongan tertentu saja. Tapi persaudaraan yang luas,
yang inklusif bahkan dengan negara atau orang atheis sekalipun, selama mereka
tidak memusuhi kita, mereka harus kita lindungi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar