Bahagia
itu Hak Warga Jakarta
M Nasir Djamil ; Anggota DPR RI
|
KORAN
SINDO, 26
Januari 2017
Sering
kali orang berpikir bahwa bahagia itu abstrak, tak bisa diukur dan terkesan
hanya impian janji manis. Namun, tak bisa dimungkiri, bahagia itu adalah
tujuan hidup. Terlebih jika pemimpin negara atau pemimpin pemerintahan berani
menjamin kebahagiaan warganya, maka di situlah letak pendekatan humanis suatu
negara. Sebagaimana kita ketahui, salah satu visi pasangan calon (paslon)
dalam Pilkada DKI adalah membuat bahagia warganya. Sebagian masyarakat
menilai paslon tersebut hanya omong kosong, bahkan ada yang mencemooh bahwa
tidak ada yang bisa memastikan indikator kebahagiaan warga Jakarta.
Maka
mereka berpikir, visimisi pembangunan dan infrastrukturlah yang lebih
terukur. Mereka lupa, siapa yang sebenarnya menikmati kue pembangunan dan
infrastruktur itu kalau bukan para pemodal dan kalangan menengah atas. Orang
miskin kian tergerus dan dianggap tak layak menikmati hasil pembangunan megah
dan mewah tersebut. Tingginya jumlah penduduk serta banyaknya problematika,
baik sosial maupun ekonomi, membuat sebagian warga Jakarta harus berjuang
mengatasi tekanan hidup serta mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan.
Banyaknya
problematika berakibat tidak sedikit warga Ibu Kota yang pada akhirnya
memiliki tingkat frustrasi, depresi, dan stres yang tinggi hingga menimbulkan
masalah kesehatan jiwa. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Departemen
Kesehatan 2014 menyebutkan, terdapat 1 juta jiwa pasien gangguan jiwa berat
dan 19 juta pasien gangguan jiwa ringan di Indonesia. Dari jumlah itu,
385.700 jiwa atau 2,03% pasien gangguan jiwa terdapat di Jakarta dan berada
di peringkat pertama nasional. Angka ini meningkat drastis dibanding tahun
sebelumnya.
Hal
yang kurang lebih sama terjadi pada 2015. Berdasarkan data profil kesehatan
kab/kota administratif menyebutkan persentase jumlah kunjungan ke puskesmas
bagi penderita gangguan jiwa sebanyak 6.281.810 kunjungan rawat jalan dan
311.921 kunjungan gangguan jiwa. Fenomena ini kian mempertegas perlunya
perbaikan situasi kepemimpinan di DKI Jakarta yang memprioritaskan kebahagiaan
sebagai tujuan hidup warganya.
Indikator Kebahagiaan
Sebagai
satu-satunya negara yang mengadopsi gross
national of happiness, Bhutan telah menginspirasi negara-negara di dunia
untuk berlomba menjadi negara paling bahagia dalam world happiness report yang dirilis setiap tahun. Bagi Bhutan,
kebahagiaan rakyatnya adalah prioritas dari segalanya. Meski dinobatkan
sebagai salah satu negara miskin di dunia, Bhutan tak kalang kabut untuk
berlomba dengan negara berkembang lain yang kerap mengejar indikator pembangunan
untuk mencapai predikat negara maju di dunia.
Ada
empat pilar dan sembilan indikator yang digunakan Bhutan dalam mengukur
program pemerintah yang didedikasikan bagi kebahagiaan warganya. Empat faktor
itu pemerintahan yang baik, pembangunan social ekonomi yang berkelanjutan,
kelestarian dan promosi kebudayaan, dan perlindungan alam/lingkungan. Dari
empat pilar tersebut, lahirlah sembilan indikator yang dijadikan alat ukur
dalam program pemerintahnya, antara lain standar hidup, pendidikan, kesehatan,
lingkungan, kekuatan komunitas, efektivitas waktu yang digunakan,
kesejahteraan psikologis, pemerintahan yang baik, dan kelestarian budaya.
Pilar
dan indikator tersebut jelas memiliki satu misi, yakni kesejahteraan dan
keadilan bagi rakyat Bhutan. Menjadikan rakyat bahagia tentu harus ada alat
ukurnya. Hal itulah yang terlihat dari kampanye salah satu paslon Pilkada DKI
yang selalu mengedepankan tagline ”bahagia, adil, dan sejahtera” bagi warga
Jakarta ke depan. Indikator ini dapat dilihat dari janji politik paslon
tersebut yang mengunggah tiga pilar dalam programnya.
Pertama,
pilar pembangunan manusia dengan mengusung jaminan stabilitas harga pokok,
membangun kehangatan hubungan antarwarga, membangun kepemimpinan yang
menggerakkan, dan melibatkan publik dalam penyelenggaraan good governance.
Kedua, pilar pembangunan lingkungan kota. Pilar ini diwujudkan dengan
mengusung program penanggulangan masalah banjir dan air bersih serta
pengelolaan dan pengurangan sampah. Ketiga, pilar pembangunan kesejahteraan.
Pilar ini mengusung program menciptakan lapangan kerja, pembangunan
infrastruktur, dan penanggulangan mobilitas serta kemacetan.
Sekilas,
ketiga pilar dan beberapa indikator program tersebut telah mencerminkan
kebahagiaan sebagaimana dianut dalam gross
national of happiness. Pilar kehidupan dengan mengedepankan kebahagiaan
inilah yang kerap kali luput dari jangkauan pemikiran pemimpin kita saat ini.
Benturan kepentingan dan ambisi pribadi maupun partai kerap melupakan bagian
penting dari kehidupan rakyat, yakni bahagia.
Kebahagiaan,
seperti juga kesusahan, bisa menular kepada siapa saja di sekitar kita.
Artinya, jika program pembangunan dan kerja nyata hanya berakibat menyusahkan
warga Jakarta, maka sebagai ibu kota negara tentulah dapat menularkan iklim
kesusahan itu kepada provinsi lain di Indonesia–bahkan bisa jadi menjadi
gambaran nasional Indonesia. Maka, kebahagiaan adalah sebuah pilihan, siapkah
kita menularkan kebahagiaan Jakarta sebagai bagian dari cerminan bangsa
Indonesia ke wilayah di sekitar kita?
Karena
itu, sebagai sebuah pilihan, warga Jakartalah yang menentukan kepada siapa
mereka berharap bahagia? Apakah kepada pemimpin yang jelas terbukti tidak
membuat mereka bahagia, atau pada pemimpin yang menjamin kebahagiaan mereka?
Bagaimanapun, bahagia adalah hak warga Jakarta.
Pilkada
15 Februari nanti adalah momentum apakah warga Ibu Kota mampu memilih
pemimpin yang akan membawa mereka bahagia atau malah ”mempertaruhkan
kebahagiaan” mereka dengan memilih pemimpin yang salah. Wallahualam bish-shawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar