Matinya
Demokrasi
Trias Kuncahyono ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
14 Januari
2018
Tengah hari, 11 September
1973. Setelah berbulan-bulan ketegangan menguasai jalan-jalan di ibu kota
Chile, Santiago, jet-jet tempur buatan Inggris, Hawker Hunter, terbang di
langit Santiago dan mengebomi La Moneda. Sasaran pengeboman itu adalah istana
presiden, bangunan neoklasik yang dibangun pada 1784 dengan arsitek Joaquin
Toesca y Ricci.
Palacio de La Moneda atau
Istana Mata Uang. Gedung yang terletak di Avenida Libertador General Bernardo
O’Higgins, pusat kota Santiago de Chile, ini merupakan tempat tinggal resmi
presiden dan keluarga selama masa jabatannya.
Begitu bom jatuh mengenai
La Moneda, terdengar suara ledakan dahsyat dan istana terbakar. Presiden
Salvador Allende (1908-1973), presiden sosialis pertama di Chile, berkuasa
sejak tahun 1970. Meski bom berjatuhan di La Moneda, Allende tetap bertahan.
Namun, pada akhirnya, Allende menyerah. Ia memilih mati bunuh diri daripada
ditangkap tentara yang melancarkan kudeta di bawah pimpinan Jenderal Augusto
Pinochet.
Pagi hari, sebelum
serangan militer terjadi, Allende berpidato lewat radio nasional. Ia
mengimbau para pendukungnya, terutama kelas pekerja, turun ke jalan untuk
membela dan mempertahankan demokrasi. Namun, seruannya tidak mendapat
jawaban. Pidatonya menemui kesunyian. Apalagi, polisi militer yang menjaga
istana meninggalkannya.
Hari itu, Presiden Allende
mati. Demokrasi Chile pun mati.
Itulah sebagian cerita
yang dikisahkan oleh dua guru besar dari Universitas Harvard, Steven Levitsky
dan Daniel Ziblatt,
dalam How Democracies Die
(2018). Lewat buku ini, sebenarnya dua guru besar itu ingin menyoroti
demokrasi di AS yang sekarang ini terancam dengan munculnya Donald Trump
sebagai presiden.
Sekurang-kurangnya ada
empat tanda yang menentukan apakah seorang pemimpin politik berbahaya
terhadap demokrasi atau tidak. Pertama, lemahnya komitmen pemimpin terhadap
aturan-aturan demokrasi. Kedua, pemimpin politik tidak mengakui legitimasi
oposisi. Ketiga, pemimpin politik toleran atau membiarkan kekerasan. Dan,
keempat, pemimpin politik memperlihatkan keinginan untuk mengekang kebebasan
sipil atau kebebasan media.
Seorang politisi—apalagi pemimpin—yang
memenuhi bahkan hanya salah satu dari keempat pertanda di atas perlu
diwaspadai karena berpeluang untuk membunuh demokrasi. Bukan hanya militer
yang membunuh demokrasi. Pemimpin yang dipilih secara demokratis pun dapat
dengan tega membunuh demokrasi. Sebut saja Adolf Hitler, yang mulai berkuasa
pada tahun 1933. Hugo Chavez (Venezuela) adalah contoh lain pemimpin yang
meski naik lewat jalan demokrasi, tetapi toh demi kekuasaan membunuh
demokrasi.
Demokrasi di Chile mati
karena kekuatan militer, diinjak sepatu lars. Demokrasi mati di tangan
orang-orang bersenjata. Demokrasi di Argentina, Brasil, Republik Dominika,
Ghana, Yunani, Guatemala, Nigeria, Pakistan, Peru, Thailand, Turki, dan
Uruguay, menurut dua guru besar itu, mati dengan cara yang sama: di tangan
orang-orang bersenjata. Bahkan, demokrasi di Mesir—hasil dari Revolusi Musim
Semi—pun diambil alih militer (2013); demikian pula demokrasi di Thailand
mati pada tahun 2014, direbut dari genggaman tangan Yingluck Shinawatra, dan
dibunuh militer.
Senjata, rakus akan
kekuasaan, dan polarisasi dapat membunuh demokrasi. Misalnya, masyarakat
terbelah menjadi dua kelompok: pribumi dan non-pribumi, kulit putih dan kulit
hitam, non-imigran dan imigran. Jika hal semacam itu dibiarkan oleh pemimpin
atau malah diciptakan oleh pemimpin, tentu menjadi pertanda awal membusuknya
demokrasi dan pada gilirannya akan mati.
Bukankah demokrasi tanpa
pluralisme, misalnya, ibarat bumbung kosong? Demokrasi mengandaikan adanya
penerimaan pluralisme sebagai penghayatan hidup, penerimaan kebebasan
mengungkapkan pendapat dengan tetap toleran terhadap perbedaan, kebebasan
berkumpul tanpa menjadikan kumpulan massa senjata penindasan. Apalah artinya
pemilu yang secara periodik dilaksanakan, tetapi tidak ada jaminan pluralisme,
keberagaman dalam segala hal: etnik, agama, suku, ras, dan lain sebagainya,
termasuk keragaman berpendapat. Mengingkari pluralisme sama saja mengingkari
rasa tanggung jawab bagi keberlangsungan hidup bersama.
Banyak negara sudah
membuktikan bahwa perebutan kekuasaan yang berbasiskan sentimen
anti-keragaman, SARA, mematikan demokrasi dan hanya akan menghasilkan
kehancuran. Kehancuran yang dialami Suriah dan Irak, dahulu Lebanon, juga
beberapa negara Afrika menjadi contoh yang sangat jelas tentang hal itu.
Kalau merebut kekuasaan
hanya bersenjatakan sentimen SARA—dengan meninggalkan prinsip-prinsip,
aturan-aturan, dan nilai-nilai demokrasi—ruang publik akan didominasi suasana
kebencian, saling mencederai, saling melukai, saling menyakiti, dan bahkan
saling menihilkan antar-sesama warga bangsa yang akan melahirkan dendam tak
berujung. Setiap warga bangsa seakan dimasukkan ke kotak-kotak menurut etnis,
suku, ras, dan agama. Tidak ada kebersamaan yang melahirkan kehidupan yang
harmoni, yakni hormat-menghormati, harga-menghargai, saling toleran,
menghormati perbedaan.
Demokrasi semestinya
melahirkan kehidupan yang harmonis: serigala akan tinggal bersama domba dan
macan tutul akan berbaring di samping kambing. Anak lembu dan anak singa akan
makan rumput bersama-sama. Lembu dan beruang akan sama-sama makan rumput dan
anaknya akan sama-sama berbaring, sedangkan singa akan makan jerami seperti
lembu. Anak yang menyusu akan bermain-main dekat liang ular tedung dan anak
yang cerai susu akan mengulurkan tangannya ke sarang ular beludak. Akan
tetapi, semua itu hanya akan menjadi mimpi belaka karena demokrasi semakin
lama semakin seperti barang dagangan, bisa dibeli dengan uang, demokrasi
diuangkan.
Demi yang namanya
kekuasaan, uang telah mengalahkan demokrasi. Dan, berita bohong penuh
kebencian dan caci maki, yang mendiskreditkan orang-orang yang tidak sepaham,
lawan-lawan politik berkeliaran di mana-mana. Pada saat itulah, demokrasi
menemui ajalnya, kalah oleh nafsu akan kekuasaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar