Senin, 15 Januari 2018

Matinya Demokrasi

Matinya Demokrasi
Trias Kuncahyono  ;  Wartawan Senior Kompas
                                                      KOMPAS, 14 Januari 2018



                                                           
Tengah hari, 11 September 1973. Setelah berbulan-bulan ketegangan menguasai jalan-jalan di ibu kota Chile, Santiago, jet-jet tempur buatan Inggris, Hawker Hunter, terbang di langit Santiago dan mengebomi La Moneda. Sasaran pengeboman itu adalah istana presiden, bangunan neoklasik yang dibangun pada 1784 dengan arsitek Joaquin Toesca y Ricci.

Palacio de La Moneda atau Istana Mata Uang. Gedung yang terletak di Avenida Libertador General Bernardo O’Higgins, pusat kota Santiago de Chile, ini merupakan tempat tinggal resmi presiden dan keluarga selama masa jabatannya.

Begitu bom jatuh mengenai La Moneda, terdengar suara ledakan dahsyat dan istana terbakar. Presiden Salvador Allende (1908-1973), presiden sosialis pertama di Chile, berkuasa sejak tahun 1970. Meski bom berjatuhan di La Moneda, Allende tetap bertahan. Namun, pada akhirnya, Allende menyerah. Ia memilih mati bunuh diri daripada ditangkap tentara yang melancarkan kudeta di bawah pimpinan Jenderal Augusto Pinochet.

Pagi hari, sebelum serangan militer terjadi, Allende berpidato lewat radio nasional. Ia mengimbau para pendukungnya, terutama kelas pekerja, turun ke jalan untuk membela dan mempertahankan demokrasi. Namun, seruannya tidak mendapat jawaban. Pidatonya menemui kesunyian. Apalagi, polisi militer yang menjaga istana meninggalkannya.

Hari itu, Presiden Allende mati. Demokrasi Chile pun mati.

Itulah sebagian cerita yang dikisahkan oleh dua guru besar dari Universitas Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt,

dalam How Democracies Die (2018). Lewat buku ini, sebenarnya dua guru besar itu ingin menyoroti demokrasi di AS yang sekarang ini terancam dengan munculnya Donald Trump sebagai presiden.

Sekurang-kurangnya ada empat tanda yang menentukan apakah seorang pemimpin politik berbahaya terhadap demokrasi atau tidak. Pertama, lemahnya komitmen pemimpin terhadap aturan-aturan demokrasi. Kedua, pemimpin politik tidak mengakui legitimasi oposisi. Ketiga, pemimpin politik toleran atau membiarkan kekerasan. Dan, keempat, pemimpin politik memperlihatkan keinginan untuk mengekang kebebasan sipil atau kebebasan media.

Seorang politisi—apalagi pemimpin—yang memenuhi bahkan hanya salah satu dari keempat pertanda di atas perlu diwaspadai karena berpeluang untuk membunuh demokrasi. Bukan hanya militer yang membunuh demokrasi. Pemimpin yang dipilih secara demokratis pun dapat dengan tega membunuh demokrasi. Sebut saja Adolf Hitler, yang mulai berkuasa pada tahun 1933. Hugo Chavez (Venezuela) adalah contoh lain pemimpin yang meski naik lewat jalan demokrasi, tetapi toh demi kekuasaan membunuh demokrasi.

Demokrasi di Chile mati karena kekuatan militer, diinjak sepatu lars. Demokrasi mati di tangan orang-orang bersenjata. Demokrasi di Argentina, Brasil, Republik Dominika, Ghana, Yunani, Guatemala, Nigeria, Pakistan, Peru, Thailand, Turki, dan Uruguay, menurut dua guru besar itu, mati dengan cara yang sama: di tangan orang-orang bersenjata. Bahkan, demokrasi di Mesir—hasil dari Revolusi Musim Semi—pun diambil alih militer (2013); demikian pula demokrasi di Thailand mati pada tahun 2014, direbut dari genggaman tangan Yingluck Shinawatra, dan dibunuh militer.

Senjata, rakus akan kekuasaan, dan polarisasi dapat membunuh demokrasi. Misalnya, masyarakat terbelah menjadi dua kelompok: pribumi dan non-pribumi, kulit putih dan kulit hitam, non-imigran dan imigran. Jika hal semacam itu dibiarkan oleh pemimpin atau malah diciptakan oleh pemimpin, tentu menjadi pertanda awal membusuknya demokrasi dan pada gilirannya akan mati.

Bukankah demokrasi tanpa pluralisme, misalnya, ibarat bumbung kosong? Demokrasi mengandaikan adanya penerimaan pluralisme sebagai penghayatan hidup, penerimaan kebebasan mengungkapkan pendapat dengan tetap toleran terhadap perbedaan, kebebasan berkumpul tanpa menjadikan kumpulan massa senjata penindasan. Apalah artinya pemilu yang secara periodik dilaksanakan, tetapi tidak ada jaminan pluralisme, keberagaman dalam segala hal: etnik, agama, suku, ras, dan lain sebagainya, termasuk keragaman berpendapat. Mengingkari pluralisme sama saja mengingkari rasa tanggung jawab bagi keberlangsungan hidup bersama.

Banyak negara sudah membuktikan bahwa perebutan kekuasaan yang berbasiskan sentimen anti-keragaman, SARA, mematikan demokrasi dan hanya akan menghasilkan kehancuran. Kehancuran yang dialami Suriah dan Irak, dahulu Lebanon, juga beberapa negara Afrika menjadi contoh yang sangat jelas tentang hal itu.

Kalau merebut kekuasaan hanya bersenjatakan sentimen SARA—dengan meninggalkan prinsip-prinsip, aturan-aturan, dan nilai-nilai demokrasi—ruang publik akan didominasi suasana kebencian, saling mencederai, saling melukai, saling menyakiti, dan bahkan saling menihilkan antar-sesama warga bangsa yang akan melahirkan dendam tak berujung. Setiap warga bangsa seakan dimasukkan ke kotak-kotak menurut etnis, suku, ras, dan agama. Tidak ada kebersamaan yang melahirkan kehidupan yang harmoni, yakni hormat-menghormati, harga-menghargai, saling toleran, menghormati perbedaan.

Demokrasi semestinya melahirkan kehidupan yang harmonis: serigala akan tinggal bersama domba dan macan tutul akan berbaring di samping kambing. Anak lembu dan anak singa akan makan rumput bersama-sama. Lembu dan beruang akan sama-sama makan rumput dan anaknya akan sama-sama berbaring, sedangkan singa akan makan jerami seperti lembu. Anak yang menyusu akan bermain-main dekat liang ular tedung dan anak yang cerai susu akan mengulurkan tangannya ke sarang ular beludak. Akan tetapi, semua itu hanya akan menjadi mimpi belaka karena demokrasi semakin lama semakin seperti barang dagangan, bisa dibeli dengan uang, demokrasi diuangkan.

Demi yang namanya kekuasaan, uang telah mengalahkan demokrasi. Dan, berita bohong penuh kebencian dan caci maki, yang mendiskreditkan orang-orang yang tidak sepaham, lawan-lawan politik berkeliaran di mana-mana. Pada saat itulah, demokrasi menemui ajalnya, kalah oleh nafsu akan kekuasaan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar