Hoax
Mengancam Generasi Milenial
Rahma Sugihartati ; Dosen dan Ketua Program Studi
Ilmu Informasi dan Perpustakaan
FISIP Universitas Airlangga
|
KORAN SINDO, 21 Januari
2017
Sasaran
empuk dari penyebarluasan berita hoax, ujaran kebencian, tawaran pornografi,
dan berbagai provokasi melalui media sosial tak pelak adalah generasi
milenial. Pernyataan ini bukan tanpa dasar.
Sebagai
bagian dari net generation yang sehari-hari mempergunakan gadget dan
mengakses internet untuk memantau dunia luar, risiko generasi milenial
terpapar berbagai informasi hoax memang paling besar. Puluhan juta generasi
milenial yang terhubung melalui internet dan media sosial,
mereka
bukan hanya menikmati keleluasaan untuk berselancar mencari informasi
entertainment dan melakukan aktivitas pleasure untuk mengisi waktu luang,
tetapi mereka pada saat yang sama juga berisiko menghadapi godaan dan
provokasi pihakpihak yang tidak bertanggung jawab—yang menyebarluaskan
informasi bohong.
Selama
ini tidak sedikit pengguna gadget dan internet menjadi korban penyebarluasan
berita hoax, mengalami pembunuhan karakter, dipermalukan, difitnah, dan
segala macam hanya lewat berita hoax yang sengaja diproduksi dan kemudian
disirkulasikan ke komunitas cyberspace.
Dalam
hitungan detik, sebuah berita hoax, bukan tidak mungkin menjadi viral yang
dibaca dan dilihat jutaan atau bahkan puluhan juta orang melalui media
sosial. Pada titik penyebarluasan berita hoax cenderung makin liar dan dirasa
sudah melewati batas toleransi dan bahkan meresahkan masyarakat, pada titik
itulah pemerintah mencoba mengambil sikap tegas: memblokir situs-situs
penebar berita hoax sekaligus mengancamkan hukuman bagi orang-orang yang
memproduksi dan menyebarluaskan berita hoax.
Paschal
Preston, dalam bukunya Reshaping Communications, Technology, Information and
Social Change (2001), adalah salah satu ahli masyarakat informasi yang telah
memperingatkan terjadi berbagai perubahan di masyarakat pada era milenium
baru akibat perkembangan teknologi informasi yang makin canggih dan meluas.
Menurut
Preston, kemunculan sistem komunikasi multimedia yang interaktif bukan hanya
menawarkan kemungkinan melakukan komunikasi tanpa batas, tetapi juga
kehadiran beragam media yang menggabungkan teknologi komunikasi baru dan
teknologi komunikasi konvensional.
Kehadiran
revolusi informasi yang ditandai dengan kemunculan teknologi komunikasi dan
informasi baru (new media) cepat atau lambat mulai menggeser peran, bahkan
mengambil alih hampir semua kemampuan yang dimiliki oleh media konvensional,
bahkan pada titik tertentu new media memberikan lebih dari apa yang bisa
diberikan oleh media konvensional.
Pada
era masyarakat postindustrial, teknologi komputer beserta sistem yang
ditawarkan, dan kehadiran internet yang memungkinkan para penggunanya
menjelajahi ruang dan waktu tanpa batas, kemudian menyatu dengan teknologi
media komunikasi konvensional yang bersifat masif.
Fenomena
penyatuan atau perpaduan teknologi informasi dan komunikasi, media massa, dan
media komunikasi konvensional inilah yang sering disebut sebagai sebuah
proses konvergensi media. Preston (2001: 27) mengatakan bahwa konvergensi
media akan membawa dampak pada perubahan radikal dalam penanganan, penyediaan,
distribusi, danpemrosesanseluruh bentuk informasi baik visual, audio, teks,
data, maupun sebagainya.
Konvergensi
media adalah penyatuan atau penggabungan berbagai media massa dan teknologi
informasi ke dalam satu paket perangkat gadget yang makin memudahkan
pemiliknya untuk mengakses berbagai informasi dan tayangan. Konvergensi media
merupakan integrasi dari fungsi-fungsi berbagai media ke dalam satu media
yang makin canggih.
Konvergensi
media ini muncul bukan sekadar karena didorong oleh kebutuhan pengguna akan
beberapa fungsi teknologi, tetapi juga implikasi dari akumulasi perkembangan
teknologi informasi yang makin modern dan meluas. Bagi generasi milenial yang
telanjut mempergunakan gadget, tetapi pada saat yang sama tidak diimbangi
dengan kesiapan literasi media kritis untuk memilih dan menyikapi
beritaberita yang objektif, risiko mereka terjerumus dalam provokasi dan
informasi bohong tentu lebih besar.
Sebuah
berita hoax yang diproduksi, disirkulasikan, dan kemudian diresirkulasikan
melalui teknologi dan media yang konvergen, dalam tempo yang cepat tidak
mustahil berubah menjadi “kebenaran” karena penyebarannya yang masif. Booming
informasi yang nyaris tidak terbatas di dunia maya membuat generasi milenial
yang kritis sekali pun acapkali kesulitan memilah mana yang hoax dan mana
pula yang bisa dipercaya.
Deklarasi
yang belum lama ini digelar masyarakat di sejumlah kota untuk melawan berita
hoax adalah salah satu upaya untuk menyikapi ancaman penyebarluasan berita
hoax di media sosial. Berbeda dengan tindakan pemblokiran situs-situs
meragukan yang dilakukan negara, gerakan masyarakat adalah upaya yang muncul
dari bawah yang lebih menitikberatkan pada pengembangan sikap kritis generasi
milenial itu sendiri dalam menyikapi serbuan berita hoax.
Jika
pemblokiran dilakukan negara dengan terlebih dahulu menimbang secara objektif
derajat kesalahan situs-situs yang dinilai abal-abal, dalam pengembangan
gerakan masyarakat melawan berita hoax yang dibutuhkan adalah literasi media
kritis dan sikap skeptis masyarakat untuk selalu waspada menghadapi serbuan
berbagai informasi melalui media sosial.
Berbagai
kajian telah membuktikan, ketika generasi milenial banyak bersentuhan dengan
berbagai ragam informasi dan jejaring di dunia maya, hal itu tidak hanya
memengaruhi sikap kritis mereka, tetapi juga partisipasi masyarakat dalam
komunitas yang lebih luas, termasuk dalam aktivitas sosialpolitik sebagai
bagian dari masyarakat madani.
Kajian
yang dilakukan Dresang dan Kyungwon (2009) misalnya menemukan anak-anak muda
di era digital umumnya memiliki ketertarikan yang luar biasa untuk
mengembangkan peran sebagai warga negara yang peduli kepada berbagai isu
sosial-politik seperti menjadi relawan sosial, menjadi bagian dari warga
masyarakat konsumen yang peduli pada keamanan produk industri, dan
mengembangkan keterlibatan yang mengagumkan dalam berbagai kegiatan sosial, mulai
ketidakadilan pada lingkungan hingga ekonomi di arena lokal dan global.
Kita
semua menyadari bahwa kemajuan teknologi informasi, meluasnya penggunaan
gadget, dan kehadiran media jejaring Facebook, serta kemudahan berselancar di
dunia maya tanpa batas memang penuh pesona dan menjadi daya tarik tersendiri.
Dengan memahami bahwa hal ini adalah konsekuensidari perkembangangaya hidup
dan dunia simulasi yang dimainkan oleh kekuatan industri budaya, upaya untuk
mencegah agar dampak perkembangan teknologi informatika tidak
kontraproduktif, tentu tidak harus dilakukan hanya mengandalkan pendekatan
yang sifatnya regulatif-punitif seperti melakukan razia di berbagai wartel,
mengeluarkan fatwa haram untuk Facebook, melakukan pemblokiran, dan
sejenisnya.
Dalam
hal ini adalah tugas orang tua, sekolah, dan seluruh elemen masyarakat yang
peduli untuk senantiasa membantu para pengguna gadget mengembangkan multiple
literacy yang mereka perlukan untuk bernegosiasi dengan dunia digital.
Menarik dan mengisolasi diri dari perkembangan teknologi jelas tidak mungkin
dilakukan karena itu hanya akan membuat anak-anak menjadi gaptek dan
ketinggalan zaman.
Namun,
memfasilitasi persentuhan anak-anak dengan dunia digital bagaimanapun tetap
membutuhkan dukungan literasi media kritis sebagai koridor yang bisa
memastikan bahwa mereka tidak akan salah arah hingga terjerumus menjadi
korban dunia digital yang tanpa disadari telah berubah menjadi lautan ganas
yang mampu menelan siapa pun yang tak mempersiapkan diri dengan baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar