Rabu, 11 April 2018

Ghost Fleet di Kawasan Indo Pasifik

Ghost Fleet di Kawasan Indo Pasifik
Abdul Halim  ;  Analis Geopolitik dan Diplomasi Internasional;
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Jakarta
                                                   KORAN SINDO, 06 April 2018



                                                           
Polemik Ghost Fleet: a Novel of the Next World War yang tengah ramai diperbincangkan di Indonesia justru menuai reaksi negatif khalayak luas.
Padahal, jika disimak secara saksama, buku bergenre novel setebal 315 halaman yang ditulis oleh Peter Warren Singer dan August Cole tersebut menggambarkan adanya pertarungan para raksasa dunia dalam memperebutkan supremasi militer dan ekonomi di kawasan Indo Pasifik.
Menariknya, wilayah yang tengah diperebutkan di dalam kontestasi tersebut di antaranya adalah Indonesia.

Di dalam novel itu, Singer dan Cole menyebut Indonesia sedikitnya tujuh kali dan seluruhnya bernada peyoratif. Kenapa demikian? Meski memiliki nilai geopolitik yang serba strategis dengan empat alur laut Kepulauan Indonesia yang terhubung dengan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, negeri zamrud khatulis tiwa ini tak terlalu di perhitungkan di tengah pelbagai kepentingan global.

Situasi ini membuat Amerika Serikat, China, dan India berlomba-lomba men jalin kemitraan strategis, baik bilateral maupun multilateral, guna mengamankan kepen tingan dagangnya. Sejarah mencatat, sejak November 2002, Amerika Serikat beserta negara sekutunya, seperti Prancis, Spanyol, Italia, dan Jepang, telah membangun pangkalan militernya di Seychelles.

Belakangan, Presi - den Trump kembali memper - tegas bahwa, “Amerika Serikat bakal mengalihkan perhati an - nya dari Asia-Pasifik ke Indo Pasifik” saat berkunjung ke Jepang, Korea Selatan, China, Vietnam, dan Filipina pada November 2017. Setali tiga uang, China dan India juga sangat bergantung pada akses bebas dan terbuka pada jalur pelayaran dan per - dagangan di Samudera Hindia.

Terlebih lagi, sepanjang 2016, diperkirakan sekitar 40 juta barel minyak per hari disalur - kan dari Timur Tengah ke Asia, seperti China, Jepang, dan Korea Selatan via Samudera Hindia, termasuk melalui Selat Hormuz, Selat Malaka, dan Bab el-Mandeb. Saking strategisnya, China juga menjalin kerja sama ekonomi dan militer dengan Republik Djibouti yang berada di Afrika bagian timur atau ujung barat laut Samudera Hindia.

Puncaknya, pada 21 Januari 2018, Angkatan Laut China di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping membangun pang - kalan militer pertamanya yang berdekatan langsung dengan Bab el-Mandeb, salah satu jalur pelayaran tersibuk dunia dan palingkrusialketigadiSamudera Hindia. Selain di Djibouti, China tak mengabaikan pentingnya men - jalin kerja sama dengan Seychelles.

Meski luasnya hanya 459 kilometer persegi, negara yang terdiri dari 115 gugusan pulau kecil tersebut juga bernilai amat strategis bagi inisiatif pembangunan infra struktur “One Belt One Road” (OBOR) yang diusung oleh Beijing. Betapa tidak, Seychelles terletak di jantung Samudra Hindia yang menghubungkan Afrika, Semenan jung Arab, dan anak benua India.

Lebih dari itu, Seychelles juga ber ada di pusat Jalur Sutra Mari tim, dari selatan China dan Myanmar hingga Afrika dan EropamelaluiTerusan Suez. Masifnya pergerak an China di Samudera Hindia men dorong New Delhi untuk bergerak lebih maju. Apalagi se kitar 95% vo lume dan 70% nilai perda gang an India, juga didatangkan melalui Samudera Hindia.

Apa yang dilakukan oleh Perdana Menteri Narendra Modi?

Per tama, India menan da tangani kese pakatan kerja sama dengan Seychelles un tuk membangun pangkalan mili ternya di Pulau Assumption, berjarak 1.650 kilometer dari daratan Afrika Timur.

Kedua, Oman dan Singa pura telah bersepakat de ngan India untuk mem berikan akses ekstra ke Pe labuhan Duqm yang ber dekat an dengan Selat Hormuz dan Pelabuhan Changi yang berhadapan langsung dengan Selat Malaka dan Laut China Selatan.

Pendek kata, India pun menempatkan Samudera Hindia sebagai be - ran da utama dari kepentingan nasionalnya. Perlombaan ekonomi dan militer antara Amerika Serikat, China, dan India di kawasan Indo Pasifik menggambarkan betapa signifikannya pe nguasa - an atas laut sebagai jalur pela - yaran dan perdagangan dunia.

Lantas, bagaimana dengan situasi Indonesia belakangan ini? Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan (Maret 2018) mencatat, permasalahan men dasar berkaitan dengan upaya menjadikan Indonesia sebagai poros ma - ritim dunia.

Pertama, disorientasi kebijakan kemaritiman.

Seperti diketahui, sejak dibentuk pada Oktober 2014, pelbagai kebijak an yang diambil justru kian men jauhkan rakyat dari laut nya. Contohnya adalah keinginan melanjutkan proyek properti reklamasi di Teluk Jakarta dan tarik-ulur kewenangan menerbitkan rekomendasi impor garam.

Salah satu nya melalui pe nerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2018 ten tang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Per ikanan dan Komoditas Per garam an se bagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri. Lebih parah lagi, sepanjang 2014-2017 telah terjadi se dikit - nya 33 tragedi kecelakaan pe - layaran di laut.

Sebagian besar diakibatkan oleh kelebihan muat an dan kerusakan mesin yang berujung pada kebakaran danteng - gelamnya kapal. Akibatnya, 158 orang dinyatakan hilang atau me - ninggal dunia dan 24 orang lainnya meng alami luka-luka.

Ironisnya, meski alokasi APBN Kemen - terian Perhubungan mengalami kenaikan, yakni Rp28,7 triliun pada 2014 dan meningkat men - jadi Rp48,2 triliun pada 2018, namun fokus pemerintah se - batas mem bangun pelabuhan dan mem berikan subsidi. Semen tara penguatan armada pelayaran rakyat diabaikan. Inilah ironi bangsa kelautan terbesar di dunia.

Kedua, tata kelola sumber daya laut yang terlampau terbuka dan pro terhadap kepentingan asing.

Faktanya, 11 pulau kecil telah dikelola oleh swasta asing dengan nilai investasi Rp11,046 triliun pada 2014-2015. Angka ini belum termasuk 75 pulau kecil lainnya yang ditargetkan untuk dikelola investor asing pada 2016-2019. Belum lagi perluasan kawasan konservasi laut yang ditarget kan bertambah 700.000 hektare dalam APBN 2018.

Jika tidak dikoreksi, praktik ini ber implikasi terhadap kian menyusutnya jangkauan wilayah tangkap an nelayan tradisional dan semakin leluasanya kepentingan asing. Pertanyaannya, sejauh mana negara bisa berperan saat kepentingan asing merajalela di setiap jengkal teritorial bangsa kepulauan ini? Inilah sesungguhnya ancaman kolektif republik yang sering kali dipandang sebelah mata.

Berkebalikan dengan Indonesia, China dan India justru berekspansi ke banyak negara untuk terlibat langsung di dalam pengelolaan sumber daya alam yang berpotensi memberikan kesejahteraan bagi rak - yatnya. Bahkan, mereka sering kali memboyong warganya untuk ikut bekerja di pelbagai proyek strategis negara lain.

Hal ini pula yang tengah marak terjadi di Banten, Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Di samping itu, China dan India juga mempercayai bahwa menguasai laut adalah kunci memenangkan supremasi militer dan ekonomi di kawasan Indo Pasifik. Apalagi sepanjang 2016 telah terjadi praktik pe - rompakan dan perampokan ber senjata sebanyak 314 insi - den di Asia, Afrika Timur, dan Afrika Barat.

Seperti dilaporkan oleh Ocean Beyond Piracy bahwa akibat insiden ini, 4.749 pelaut mengalami penyerangan dan nilai kerugian yang ditimbulkan senilai USD2,5 miliar. Semen - tara pada kuartal pertama 2017, sebanyak 19 insiden perom pak - an dan perampokan bersenjata terjadi di perairan Indonesia.

Dengan demikian, pere but - an supremasi militer dan ekonomi di kawasan Indo Pasifik bukanlah halusinasi Singer dan Cole. Lantas, apa yang perlu dilakukan oleh Indonesia? Sun Tzu di dalam buku berjudul “The Art of War” sebagaimana dikutip di dalam novel Ghost Fleet pernah berujar, “Anda bisa berperang sepanjang waktu atau menjadikan bangsamu jauh lebih tangguh.

Karena Anda tidak bisa melakukan keduanya”. Maka penguatan armada laut yang diintegrasikan de ngan tata kelola administrasi negara, sistem politik, angkatan bersen jata, dan ekonomi maritim menjadi pekerjaan rumah yang mendesak untuk dituntaskan.

Akhirnya, Lord Haversham pernah berpesan, “Armada laut dan kepentingan dagang memiliki relasi yang sangat erat dan saling memengaruhi. Pasalnya, armada laut merupakan pelindung utama kepentingan dagang sebuah negara. Dengan cara itulah, Inggris menuai kesejahteraan, kedigdayaannya pada abad XVII dan XVIII”. Inilah sejatinya pesan yang terurai di setiap halaman Ghost Fleet: a Novel of the Next World War. Mengabaikannya bisa berdampak pada bubarnya sebuah negara. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar