Selasa, 13 Juni 2017

Penegakan Hukum Perppu Nomor 1 Tahun 2017

Penegakan Hukum Perppu Nomor 1 Tahun 2017
Adrianto Dwi Nugroho ;  Dosen Fakultas Hukum UGM;
Mahasiswa Doktoral di University of Helsinki, Finlandia
                                                         KOMPAS, 12 Juni 2017




                                                           
Pada 8 Mei 2017 telah diundangkan Perppu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.

Selain menjadi perangkat hukum yang dapat memperbaiki predikat Indonesia pada kerja sama global di bidang pertukaran informasi untuk kepentingan perpajakan, peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) ini juga dimanfaatkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai instrumen penegakan hukum setelah berakhirnya amnesti pajak. Perppu ini diharapkan dapat memperlancar tugas pemeriksaan dan penyidikan yang dilakukan oleh DJP.

Sebab, perppu ini telah mencabut ketentuan mengenai permintaan tertulis oleh Menteri Keuangan kepada Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengakses informasi keuangan yang terdapat pada bank, sebagaimana diatur pada Pasal 35 Ayat (2) UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UUKUP) dan peraturan pelaksanaannya.

Momentum baru

Secara normatif, informasi yang diperoleh dari lembaga keuangan, terutama bank, memiliki nilai yang setara dengan informasi yang didapat dari pihak ketiga lainnya, seperti akuntan publik dan notaris. Keberadaannya dapat membantu pemeriksa pajak dalam melakukan uji silang terhadap informasi yang disampaikan wajib pajak (WP) pada surat pemberitahuan (SPT).

Meski demikian, keterikatan bank pada metode pengawasan kegiatan usaha dan standar akuntansi yang dilakukan oleh OJK- sebagaimana Pasal 7 UU OJK- menjamin ketersediaan informasi keuangan yang baik dan tertib. Selain itu, ketertundukan bank pada peraturan perundang-undangan di bidang pemberantasan dan pencegahan pencucian uang menjadikan informasi keuangan mampu untuk menerangkan dugaan ketidakpatuhan atau pengelakan pajak yang sedang atau telah dilakukan oleh seorang WP.

Bagi WP, perppu ini harus dimaknai sebagai momentum untuk meningkatkan kepatuhan di bidang perpajakan. Dalam konteks pemungutan Pajak Penghasilan (PPh), misalnya, informasi mengenai perolehan penghasilan dan kepemilikan simpanan bank yang disampaikan pada SPT harus mencakup penghasilan dan simpanan bank yang dimiliki di dalam dan luar negeri. Selain itu, WP juga harus mampu memberikan keterangan asal-usul dan aliran dana yang digunakan dalam transaksi perbankan yang dilakukannya.

Sementara itu, bagi DJP, perppu ini harus dimaknai sebagai momentum untuk meningkatkan profesionalitas dalam pemungutan pajak. Dalam konteks penegakan hukum, profesionalisme pemeriksa dan penyidik DJP ditunjukkan dengan memanfaatkan kewenangan untuk mengakses informasi keuangan hanya ketika proses pemeriksaan atau penyidikan menghendaki informasi tersebut. Artinya, informasi keuangan bukan sebagai dasar melakukan pemeriksaan atau penyidikan terhadap WP tersebut.

Dengan kata lain, akses terhadap informasi keuangan hanya digunakan apabila ada alasan yang kuat untuk melakukan itu. Sejalan dengan kesimpulan tersebut, DJP juga wajib menilai keberalasan (reasonableness) permintaan informasi keuangan oleh otoritas pajak yang menjadi mitra kerja sama pertukaran informasi.

Perlu aturan lebih lanjut

Beban administratif yang signifikan dari pemberlakuan Perppu No 1/2017 sebetulnya dipikul oleh lembaga keuangan, termasuk bank. Selain harus mampu dan bersedia untuk menyampaikan informasi yang sesuai dengan standar yang berlaku pada kerja sama pertukaran informasi, bank juga diwajibkan untuk melakukan prosedur identifikasi rekening keuangan yang wajib dilaporkan.

Prosedur tersebut mencakup, antara lain, penentuan negara domisili pemegang rekening keuangan dan penentuan seseorang sebagai pengendali (beneficial owner) dari pemegang rekening keuangan yang berbentuk badan (Pasal 2 Ayat 5 Perppu No 1/2017). Ancaman sanksi pidana dikenakan terhadap lembaga keuangan atau pimpinan/pegawai lembaga keuangan yang tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut.

Agar dapat berjalan efektif, beberapa ketentuan yang terdapat pada Perppu No 1/2017 perlu diatur lebih lanjut.

Pertama, perlu ada pengaturan lebih lanjut mengenai kriteria rekening keuangan yang wajib dilaporkan (reportable account). Persyaratan uji tuntas yang terdapat dalam common reporting standards perlu diadopsi dalam peraturan pelaksanaan Perppu No 1/2017. Kedua, perlu ada pengaturan lebih lanjut mengenai basis data perpajakan yang berasal dari informasi yang disampaikan oleh lembaga keuangan, baik secara elektronik maupun non-elektronik. Perangkat hukum dan instrumen teknis yang memadai diperlukan untuk melindungi WP dari penyalahgunaan data dan informasi oleh pihak yang tidak berwenang.

Akhirnya, pemberian kewenangan untuk mengakses informasi keuangan berdasarkan Perppu No 1/2017 masih harus diuji di parlemen. Penetapan perppu ini menjadi UU akan mendekatkan pemerintah pada keberhasilan untuk memberantas pengelakan pajak melalui kerja sama pertukaran informasi yang saat ini telah memiliki 141 negara anggota (OECD, 19 Mei 2017).

Artinya, pemberian akses terhadap informasi yang dikelola oleh lembaga keuangan dalam negeri secara tidak langsung memberikan DJP akses terhadap informasi yang dikelola oleh lembaga keuangan di 141 negara. Meski demikian, kewenangan yang luas ini harus digunakan secara bijaksana oleh aparat DJP sehingga dapat mendukung produktivitas dan profesionalitas kinerja dalam rangka mencapai target penerimaan pajak. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar