Selasa, 18 April 2017

Kekerasan dalam Pendidikan

Kekerasan dalam Pendidikan
Ahmad Baedowi  ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
                                              MEDIA INDONESIA, 17 April 2017



                                                                                                                                                           

KEKERASAN, dalam metafora yang luas, bisa mencakup beragam perlakuan yang tidak menyenangkan baik secara fisik maupun psikologis. Efek kekerasan terhadap anak sungguh amat dahsyat karena secara fisik maupun psikologis, kekerasan akan membekas lama dan dalam di relung jiwa seorang anak. Dalam jangka panjang, efek psikologis mungkin yang paling mengkhawatirkan karena bisa memengaruhi perilaku seseorang ketika dewasa bahkan di masa tuanya. Beberapa kasus kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan dan mencuat dalam beberapa bulan terakhir di Indonesia ini mengindikasikan adanya tindak kekerasan yang melibatkan hampir semua stakeholders sekolah, yaitu guru, pegawai, siswa, dan bahkan orangtua. Kasus tewasnya siswa di SMA Taruna Nusantara, dan tak terhitung kasus yang menjerat siswa, guru, dan orangtua dalam perilaku kekerasan, serta perlakuan kasar kakak kelas terhadap adik kelas saat proses penerimaan siswa baru, ialah contoh buruk betapa dunia pendidikan seolah tak mampu menghindari dan sekaligus melawan kekerasan.

Faktor pemicu

O'Sullivan (Urban Economics: 2000) membuat analisis menarik tentang faktor dan indikator yang membuat anak-anak sering terlibat dengan praktik kekerasan, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Dalam pandangannya, kekerasan yang dilakukan seorang siswa sesungguhnya merupakan dampak langsung dari kebijakan tentang ukuran ruang kelas (class size), sumber pembiayaan sekolah (school financial resources), kurikulum (the curriculum), efek pergaulan sejawat (peer effects), dan latar belakang orangtua (parents' background). Pertanyaannya ialah, mana di antara faktor dan indikator itu yang paling determinan dan dominan dalam kasus dan praktik kekerasan para siswa kita.

Dalam banyak riset tentang kekerasan yang melibatkan siswa di sekolah (Gorski and Pilotto: 1993), faktor psikologis seperti ukuran kelas, akibat pergaulan sejawat, dan latar belakang orangtua menyumbang risiko tertinggi pada praktik kekerasan. Menarik untuk melihat dan mempertimbangkan, betapa sistem pendidikan kita, dengan alasan angka wajib belajar yang tinggi, tak bisa menciptakan ruang kelas yang ideal dan nyaman bagi anak dan guru untuk belajar. Bahkan sejak di SD, anak-anak kita sudah menghadapi kendala psikologis 'menumpuk' karena jumlah mereka yang terlalu banyak berbanding luasnya ruang kelas. Ketika di SMP dan SMA, anak-anak kita menghadapi problem tambahan, yaitu ketiadaan pendampingan rutin dan intensif, baik dari guru maupun orangtua, ketika mereka mengenal dan saling memengaruhi dalam pergaulan di sekolah.

Belum lagi faktor latar belakang orangtua yang juga menyumbang signifikan terhadap munculnya perilaku kekerasan siswa. Jika ditambah faktor kurikulum dan cara sekolah mengelola dan membuat perencanaan anggaran pembiayaan sekolah, bukan tidak mungkin faktor itu juga ikut menyuplai praktik kekerasan terhadap siswa. Secara sistemik, kurikulum pendidikan kita seperti abai dengan upaya penumbuhan perilaku anak yang damai dan prososial. Proses pembelajaran dilakukan dengan cara yang rigid dan miskin kreativitas sehingga siswa kita seperti tak berdaya ketika menghadapi hadangan budaya dan gaya hidup hedonis yang semakin kompleks. Selain itu, berdasarkan riset di beberapa kali pelatihan tentang efektivitas pembiayaan sekolah berbasis kebutuhan siswa, skema pembiayaan sekolah di dalam RAPBS sangat miskin ide yang mampu menggiring siswa untuk berperilaku positif. Kasarnya, cara sekolah menyusun RAPBS jangan-jangan merupakan faktor pemicu munculnya budaya kekerasan di kalangan siswa karena indikasi korupsinya sangat kuat.

Kebutuhan MKBS

Menciptakan lingkungan yang positif di sekolah merupakan kebutuhan yang tidak mungkin ditawar lagi. Terutama dalam menjamin kelangsungan proses belajar yang aman, damai, serta mendukung pencapaian akademis siswa dan meningkatkan keterampilan sosial siswa. Ada banyak instrumen yang bisa digunakan para pemangku kepentingan pendidikan untuk mencegah radikalisme dan kekerasan terjadi di sekolah. Salah satunya mengoptimalkan mekanisme pengambilan keputusan tentang apa pun yang terjadi di sekolah, melalui saluran keputusan bersama yang dilembagakan ke dalam mekanisme pengelolaan konflik berbasis sekolah. Kekerasan yang terjadi dengan intensitas tinggi dalam setahun terakhir ini patut diuji melalui serangkaian analisis, baik secara sosiologis maupun pedagogis. Secara sosial, jangan-jangan bentuk kekerasan yang terjadi di masyarakat kita itu akumulasi dari gagalnya lembaga pendidikan kita melakukan transfer pendidikan secara damai dan berkeadilan. Secara pedagogis, jangan-jangan sekolah-sekolah kita memang tak memiliki kendali operasional resolusi konflik yang dapat melatih seluruh komunitas sekolah untuk terbiasa mengatur pola konflik di sekolah melalui skema pembelajaran yang efektif.

Tricia S Jones (2000) mendefinisikan pendidikan resolusi konflik sebagai a spectrum of processes that utilize communication skills and creative and analytic thinking to prevent, manage, and peacefully resolve conflict. Pengertian ini memberikan gambaran umum kepada kita bahwa sebagaimana pendidikan pada umumnya, proses kreatif dalam menumbuhkan kemampuan berkomunikasi dan berpikir analitik harus menjadi sudut pandang (angle) para pengajar dan pendidik untuk mengajarkan resolusi konflik. Setiap manajemen sekolah harus memahami prinsip-prinsip dasar pengembangan kurikulum pendidikan konflik yang didasarkan pada serangkaian kegiatan yang memungkinkan lembaga pendidikan merumuskan sendiri kelemahan dan kelebihannya (school mapping). Menentukan tujuan pembelajaran yang sesuai dengan kapasitas guru dan kemampuan siswa (objectives and lesson design), memperbaiki sistem pengelolaan pembelajaran yang berkelanjutan dan efisien (scope and sequence), serta membuat rangkaian sistem monitoring dan evaluasi pembelajaran yang efektif-komprehensif (Jackson 1992). Kesepakatan tentang penanganan konflik di sekolah bukan saja penting untuk dimasukkan ke struktur kurikulum secara formal, melainkan juga bisa diskemakan ke statuta sekolah yang mengatur segala urusan konflik secara jelas berdasarkan struktur sekolah yang efisien dan permanen.

Membangun komitmen pendidikan damai, dengan demikian, ialah kata kunci yang harus dilakukan komunitas sekolah dalam rangka merancang bangunan resolusi konflik yang memadai di lingkungan sekolah agar anak-anak kita terhindar dari semua perilaku kasar dan keras di kemudian hari seperti yang kita lihat hari-hari terakhir ini. Secara integratif, pendekatan terstruktur di dalam sekolah merupakan sebuah keniscayaan karena ini berarti sekolah sedang secara serius memikirkan mekanisme konflik dan penanganan kekerasan secara integratif. Dalam terminologi Willam De Jong dari Harvard School of Public Health (2003) 'the best school-based violence prevention programs seek to do more than reach the individual child. They instead try to change the total school environment, to create a safe community that lives by a credo of non-violence'. Dengan praktik tak ada kekerasan di sekolah, baik guru maupun siswa harus berusaha menghindarkan diri dari kebiasaan buruk berlaku kasar pada saat mengajar maupun belajar di lingkungan sekolah. Kredo tentang asas nirkekerasan ini merupakan disiplin serius yang harus ditegakkan seluruh sekolah kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar