Pemilu
Pro-koruptor
Reza Syawawi ; Peneliti Hukum dan Kebijakan,
Transparency International
Indonesia
|
KOMPAS,
12 April
2018
Apakah sistem politik yang
demokratis ”ramah” dengan perilaku korup? Dalam kasus Indonesia, pertanyaan
ini bisa dijawab dengan melihat cara pandang hukum dan perlakuan masyarakat
terhadap perilaku dan pelaku korupsi.
Jika merujuk pada konstitusi,
hanya ada empat jabatan yang jelas menyebutkan syarat tentang pentingnya
memiliki nilai antikorupsi dan integritas, yaitu jabatan presiden/wakil
presiden, anggota Komisi Yudisial (KY), hakim agung, dan hakim konstitusi.
Seorang calon presiden/wakil
presiden haruslah orang yang tidak pernah mengkhianati negara. Kalau dalam
masa jabatannya presiden/wakil presiden melanggar hukum—misal mengkhianati
negara, korupsi, menyuap, dan tindak pidana berat lainnya—presiden/wakil
dapat diberhentikan.
Begitu pula dengan anggota KY,
hakim agung, dan hakim konstitusi sebagai jabatan yang berada dalam lingkup
kekuasaan kehakiman. Ada pesan tegas tentang pentingnya memiliki integritas
dan kepribadian yang tidak tercela.
Lalu apakah nilai antikorupsi ini
juga berlaku terhadap jabatan publik atau jabatan politik lainnya?
Hukum
pemilu
Selain presiden/wakil presiden,
ada beberapa jabatan lain yang diisi melalui proses pemilu, yaitu kepala
daerah/wakil kepala daerah, anggota DPR, DPD, dan DPRD. Jika merujuk pada
undang-undang, muncul anomali tentang prinsip antikorupsi dalam syarat untuk
menjadi kepala daerah/wakil kepala daerah, anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Padahal, dalam politik hukum
pidana, korupsi dinilai sebagai kejahatan luar biasa, memenuhi kriteria
sebagai kejahatan yang serius, dan terorganisasi sehingga ada regulasi dan
kelembagaan khusus untuk memberantas kejahatan itu.
Hal yang sama berlaku bagi
kejahatan-kejahatan sejenis, seperti penyalahgunaan obat dan narkotika,
terorisme, perdagangan orang, dan seterusnya.
Lalu bagaimana hukum pemilu
memperlakukan para koruptor?
Belakangan muncul beberapa
inisiatif untuk memperketat persyaratan bagi para peserta pemilu, misalnya
tentang larangan bagi bekas narapidana korupsi ikut serta dalam kontestasi
pemilu, termasuk syarat tentang pelaporan LHKPN. Sepintas ide ini memiliki
semangat cukup kuat guna merespons banyaknya pejabat publik yang terpilih
melalui pemilu, tetapi berakhir dalam jeruji penjara karena korupsi.
Namun, gagasan ini tidak
sepenuhnya didukung oleh regulasi dan politik hukum pemilu. Di sinilah
anomali itu muncul. Semua bermula dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang
membolehkan bekas narapidana (termasuk narapidana korupsi) ikut serta dalam
proses pemilu kepala daerah (gubernur/bupati/wali kota) hanya dengan syarat
mengaku kepada publik bahwa dirinya adalah bekas terpidana.
Imbas putusan Mahkamah Konstitusi
ini berpengaruh terhadap penyusunan undang-undang tentang pemilu legislatif
(UU Nomor 7 Tahun 2017). Bekas narapidana (termasuk narapidana korupsi)
diperbolehkan mencalonkan diri sebagai calon anggota DPR, DPD, dan DPRD dengan
syarat secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang
bersangkutan mantan terpidana (Pasal 182 Huruf g, Pasal 240 Ayat 1 Huruf g).
Artinya, politik hukum pidana
korupsi tidak berdampak pada politik hukum pemilu. Korupsi yang dinilai sebagai
kejahatan luar biasa bisa dikesampingkan cukup dengan pengakuan kepada
publik.
Maka, masyarakat kembali disuguhi
calon-calon pejabat publik dengan problem integritas. Pada situasi inilah
korupsi politik secara terus-menerus mengalami metamorfosis sembari membangun
impunitas politik. Sebab, sistem pemilu sebagai bagian dari sistem politik
masih menjadi alat bagi para politisi korup untuk kembali menduduki jabatan
publik.
Jangan
pilih koruptor
Ada perkembangan pemidanaan
terhadap pelaku korupsi yang tidak direspons secara baik oleh kekuasaan
pembentuk undang-undang dan MK. Pencabutan hak politik koruptor melalui
putusan pengadilan khususnya terhadap jabatan-jabatan yang dipilih melalui
pemilu seyogianya menjadi pertimbangan dalam penyusunan undang-undang pemilu
dan proses uji materi di MK.
Ada frase yang cukup epik terkait
hal ini, ”bahwa putusan untuk mencabut hak politik (hak untuk dipilih)
ditujukan untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan terpilihnya kembali
seseorang dalam jabatan publik yang selayaknya tidak berperilaku koruptif”.
Untuk merespons situasi ini, ada
beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti. Pertama, terhadap semua pelaku
korupsi yang sedang dalam proses hukum, khususnya bagi pejabat yang dipilih
melalui prosesi pemilu, seyogianya dimintakan putusan untuk dicabut hak
politiknya. Ini adalah langkah yang paling mungkin dilakukan di tengah
situasi politik hukum pemilu yang masih memberikan ruang bagi para koruptor.
Lindungi
hak publik
Kedua, pembentuk UU (pemerintah
dan DPR) dan MK ke depan harus melihat perkembangan pemidanaan ini dalam
perspektif hak asasi publik yang harus dilindungi oleh negara, bukan hanya
hak asasi pribadi koruptor sehingga politik hukum pemilu seharusnya berelasi
dengan praktik pemidanaan terhadap pelaku korupsi.
Ketiga, ketika regulasi pemilu
masih memperbolehkan koruptor untuk mencalonkan diri dalam proses pemilu,
penyelenggara pemilu perlu memastikan bahwa informasi tentang latar belakang
calon pejabat publik yang korup tersebut harus langsung diketahui oleh publik.
Sebab, penyelenggara pemilu juga memiliki kewajiban untuk melindungi hak
pilih publik agar tersalurkan dengan cara yang benar.
Terakhir, pilihannya dikembalikan
kepada publik. Ketika publik mengetahui bahwa yang mencalonkan diri adalah
bekas narapidana korupsi, pilihan itulah yang akan menggambarkan bagaimana
respons publik pemilih terhadap perilaku dan pelaku korupsi.
Kalau koruptor sampai memenangi
kontestasi pemilu, itulah cermin dari perilaku politik publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar