Christine
Lagarde dan
Pertemuan
Tahunan IMF-Bank Dunia di Bali
A Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM Faculty
Member Bank Indonesia Institute
|
MEDIA
INDONESIA, 05 Maret 2018
PEKAN lalu, Managing Director Dana Moneter
Internasional (IMF), Christine Lagarde, berkunjung ke Indonesia. Tidak
tanggung-tanggung, seperti dikatakannya saat memberi sambutan di seminar yang
diselenggarakan Bank Indonesia (27/2/2018), dia berada di Indonesia selama
seminggu. Belum pernah ada dalam sejarah IMF, bahwa managing director mereka
mengunjungi suatu negara sampai seminggu.
Tidak cuma berkunjung ke Istana Merdeka untuk
menemui Presiden Jokowi, lalu diajak blusukan ke Tanah Abang, lalu memberikan
dua seminar besar di Jakarta, berkunjung ke Bali menengok persiapan pertemuan
tahunan IMF-Bank Dunia 2018, Christine bahkan sempat ceramah di Magister
Manajemen Universitas Gadjah Mada, di Yogyakarta. Dia menjadi pembicara bersama
CEO Bukalapak Achmad Zaky, membahas perkembangan cepat ekonomi digital.
Kunjungan selama seminggu di Indonesia jelas
luar biasa, yang menunjukkan betapa Christine Lagarde memandang penting
Indonesia yang akan menyelenggarakan konferensi tahunan akbar yang akan
didatangi 15 ribu peserta. Anda tidak sedang salah baca, lima belas ribu
peserta akan hadir di Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia di Bali, yang
durasinya seminggu.
Jumlah peserta ini sungguh sangat besar. Bisa
jadi sebagian peserta tersebut akan tinggal lebih lama di Indonesia untuk
'berpetualangan' pariwisata, dalam rangka leisure
economy, yang pasti membawa dampak positif bagi perekonomian Indonesia,
tidak hanya untuk saat ini, tetapi juga ke depan.
Kunjungan kehormatan Christine Lagarde ke Presiden
Jokowi sempat menimbulkan kritik dari politisi, kenapa Indonesia seolah-olah
menggelar 'karpet merah' kepada IMF yang dianggap pernah 'menyengsarakan'
perekonomian Indonesia saat diterjang krisis finansial Asia 1998, tepat 20
tahun silam. Apa yang sebenarnya terjadi?
IMF dan krisis ekonomi
1998
Mendiskusikan krisis ekonomi yang sangat dalam
(deep crisis) di Indonesia pada
1998 selalu berpotensi menimbulkan perdebatan. Krisis besar yang ditandai
dengan kontraksi ekonomi dengan pertumbuhan minus 13,7% dan inflasi 78%
tersebut memang telah menyengsarakan dan mengakibatkan kejatuhan Presiden
Soeharto. Inilah krisis terbesar Indonesia sesudah 1965, tatkala terjadi
hyperinflation 600% menjelang jatuhnya Presiden Soekarno.
Banyak analisis yang menyebutkan bahwa IMF
ikut andil dalam penanganan krisis ekonomi Indonesia yang tidak tepat.
Pendapat ini terutama dipelopori oleh Joseph Stiglitz (Globalization and Its Contents, 2002). Salah satu yang dianggap
kegagalan IMF adalah memberi saran yang tidak tepat saat menurunkan subsidi
BBM yang memberi dampak kenaikan inflasi, penurunan daya beli, dan berujung
pada demonstrasi besar.
Sebenarnya maksud IMF adalah mendisiplinkan
APBN (fiscal austerity) agar tidak
terbebani oleh subsidi. Hanya saja IMF 'lupa', bahwa menghilangkan subsidi
tidak bisa dilakukan dengan sekejap, tetapi perlu bertahap. Terlebih lagi hal
itu dilakukan pada momentum yang tidak tepat.
Ekonom Harvard, Jeffrey Sachs, juga menjadi
pengkritik utama IMF. Dia merasa IMF sering kali menyarankan pengetatan APBN
bagi negara-negara berkembang, termasuk dalam kasus krisis Indonesia 1998.
Jika fiscal austerity ini dilakukan terlalu ketat, hasilnya malah
kontraproduktif. Indonesia menjadi 'sesak napas' karena pengelolaan fiskal
yang luar biasa ketat, atas kemauan IMF. Ini keliru, kata Sachs.
Kelemahan paling mendasar IMF pada saat itu,
menurut saya, adalah kecilnya jumlah talangan (bailout) yang mereka berikan.
IMF hanya mencairkan US$1 miliar per bulan, padahal cadangan devisa Indonesia
hanya US$20 miliar, untuk menghadapi utang luar negeri total US$130 miliar
yang sebagian jatuh tempo.
Akibatnya, hal tersebut tidak cukup untuk
mengatasi kebutuhan riil pembayaran utang yang jatuh tempo, ditambah dengan
ulah spekulasi yang memanfaatkan situasi panik. Rupiah pun harus
terdepresiasi tajam dari Rp2.300 per dolar AS (Oktober 1997) menjadi Rp15.000
(Januari 1998).
Sebagai perbandingan, utang luar negeri
Indonesia saat ini US$352 miliar, berbanding cadangan devisa US$ yang sudah
jauh melambung menjadi hampir US$132 miliar. Dengan kata lain, kondisi kita
saat ini tidak layak dibandingkan 1998. Saat ini jauh lebih baik.
Kegagalan IMF untuk menyelamatkan perekonomian
Indonesia ini menimbulkan kritik dan inisiatif untuk mempersiapkan skema agar
tidak mengulang pengalaman buruk yang traumatis tersebut. Negara-negara Asia
Tenggara pun kemudian membentuk Chiangmai Initiatives. Sepuluh negara ASEAN
bisa meminta bantuan likuiditas dari tiga negara Asia Timur (Tiongkok,
Jepang, Korea Selatan) untuk memperkuat cadangan devisa mereka dalam meredam
krisis finansial seperti peristiwa 1997-1998.
Kombinasi antara reformasi ekonomi dan
murahnya rupiah (bahkan undervalued) yang menyebabkan daya saing Indonesia
membaik dan krisis ekonomi berangsur teratasi pada periode 1999-2004. Dari
pengalaman ini, kita pun akhirnya menyadari beberapa kelemahan.
Pertama, rupiah yang sebelumnya dipatok tetap
(fixed exchange rate regime) memang
tidak realistis sehingga menjadi terlalu mahal (overvalued) sehingga produk Indonesia tidak kompetitif.
Kedua, sektor finansial yang dikelola secara
sembrono, terjadi moral hazard, sehingga menyebabkan kredit macet. Ketiga,
utang luar negeri tidak terkendali karena tidak ada pemantauan dari
pemerintah sehingga terjadi 'besar pasak daripada tiang' (mismatch).
Namun, itu semua sudah berlalu. Utang bailout
IMF selama krisis 1998 sebesar US$15 miliar sudah dilunasi pemerintah.
Perekonomian Indonesia sudah pulih sejak 2004, dan kini masuk ke jalur
pembangunan infrastruktur yang termasuk cepat untuk mengejar daya saing.
Hubungan dengan IMF tetap dijaga baik karena kita memang tidak perlu
mengucilkan diri dari perkumpulan yang beranggotakan 189 negara tersebut.
Pertemuan tahunan
IMF-Bank Dunia
Setiap tahun, IMF dan Bank Dunia, dua lembaga
multilateral yang sama-sama dibentuk pada Juli 1944 di Bretton Woods, AS,
menyelenggarakan pertemuan tahunan. Mereka memang perlu melakukan rapat
koordinasi karena pada dasarnya urusan moneter (IMF) dan pembangunan ekonomi
(Bank Dunia) banyak irisannya.
Keduanya tidak bisa dipisahkan dan
diisolasikan. Pertemuan tahunan ini diselenggarakan selang-seling di markas
IMF dan Bank Dunia di Washington DC, AS, dan di luar Amerika Serikat.
Tahun ini, Indonesia berhasil terpilih menjadi
tuan rumah. Ini kesempatan besar untuk menarik perhatian dunia terhadap
Indonesia yang sedang giat membangun infrastruktur dan memiliki potensi
pariwisata yang besar. Selama seminggu pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia,
Indonesia seperti sedang 'berjualan' habis-habisan diliput media di seluruh
dunia. Ini bagus untuk kampanye investasi dan pariwisata.
Soal biaya yang mencapai Rp800 miliar, itu
masuk akal. Sebagai perbandingan, Asian Games 2018 yang akan diselenggarakan
di Jakarta dan Palembang menelan ongkos Rp6,6 triliun, kata ketua panitianya,
Erick Thohir (CNBC Indonesia 19/2/18). Itu di luar pembangunan infrastruktur
fisik (monorel, kereta ringan, stadion, wisma) yang nantinya bisa digunakan
dalam jangka panjang, sebesar Rp10 triliun (Jakarta) dan Rp7 triliun
(Palembang).
Kedua kegiatan akbar kita tahun ini, Asian
Games (Agustus 2018) dan Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia (Oktober 2018),
sama-sama menjadi ikon promosi Indonesia yang penting. Keduanya kira-kira
bernilai setara dengan Singapura menggelar balapan mobil F1 dan Malaysia
menggelar balap motor Moto-GP. Khususnya Malaysia, yang semula juga
penyelenggara F1, akhirnya menyerah karena biayanya terlalu mahal dan
belakangan menanggung rugi.
Perekonomian dunia kini sedang dilanda 'demam'
leisure industry, sektor pariwisata menjadi pemimpinnya. Indonesia kini
menjadi negara dengan pertumbuhan wisatawan asing tercepat di Asia Tenggara.
Tahun lalu, wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia mencapai 13,7 juta
orang. Jika wisatawan asing membelanjakan rata-rata US$1.000, terdapat devisa
US$13,7 miliar yang beredar pada industri ini, dan sebagian akan mengalir ke
cadangan devisa kita.
Itulah salah satu penyebab, mengapa cadangan
devisa kita terus menguat dan kini mencapai hampir US$132 miliar. Padahal,
banyak negara lain justru merosot cadangan devisanya. Malaysia, misalnya,
dalam empat tahun terakhir cadangan devisanya terkuras 30% sehingga kini
cadangan devisanya hanya US$101 miliar, atau jauh di bawah kita. Malaysia
terpukul oleh penurunan harga komoditas dan terjadinya skandal megakorupsi
pada 1MDB (1 Malaysia Development Berhad).
Dari biaya pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia
sebesar Rp800 miliar, sebenarnya sebagian dananya bakal berputar ke Indonesia
lagi, karena dialokasikan untuk pembayaran akomodasi hotel di Bali, sewa
kendaraan, konsumsi, dan lain-lain. Jadi, sebenarnya juga terjadi perputaran
multiplier effect di dalam negeri, yang akan membantu menghela pertumbuhan
ekonomi.
Saya pernah diundang IMF untuk menghadiri
Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia 2012 di Tokyo. Pertemuannya dilakukan di
Tokyo International Forum (TIF). Ekspos media di seluruh dunia sangat luar
biasa besar. Itu merupakan tahun kedua Christine Lagarde menjadi pemimpin
IMF, sesudah diangkat 5 Juli 2011. Saya tidak pernah lupa saat Christine
Lagarde berpidato, tiba-tiba Tokyo dilanda gempa. Hadirin tetap tenang dan
gempa pun berlalu.
Sebagai peninjau, saya juga diajak makan siang
bersama ekonom favorit Olivier Blanchard, yang saat itu menjabat Chief
Economist IMF, sebelum digantikan oleh Maurice Obstfeld. Profesor Blancard
adalah ekonom Prancis yang menjadi nama besar di Harvard dan Massachusetts
Institute of Technology (MIT).
Makan siang yang hanya dihadiri lima ekonom
selama 2 jam tersebut sungguh mengasyikkan karena topiknya tentang bagaimana
AS berusaha keluar dari krisis subprime mortgage 2008-2009, dengan cara
menurunkan suku bunga dan mencetak uang (quantitative easing).
Kini, pertemuan penting IMF-Bank Dunia itu
tidak diselenggarakan di DC atau Tokyo, tetapi di Bali, 'surga' destinasi
pariwisata kita. Kesempatan ini tidak mudah berulang di kemudian hari karena
puluhan negara lain (ada 189 negara anggota) harus antre untuk menjadi tuan
rumah. Mungkin kita harus menunggu setengah abad lagi. Sama seperti Asian
Games, kita dulu pernah menjadi tuan rumah pada 1962. Kita harus menunggu
hingga 56 tahun untuk mengulangnya. Sungguh lama sekali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar