Rabu, 11 April 2018

Beras, Terigu, dan Pangan Lokal

Beras, Terigu, dan Pangan Lokal
Khudori  ;  Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI); 
Anggota Kelompok Kerja Dewan Ketahanan Pangan (2010–sekarang)
                                                   KORAN SINDO, 05 April 2018



                                                           
Mengartikan pa­ngan identik de­ngan be­ras sesungguhnya hanya akan me­nipu kita. Sejarah Indonesia men­catat gaplek (Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur), sagu (Ma­luku, Papua), jagung (Jawa Te­ngah, Jawa Timur, Nusa Teng­gara), cantel/sor­gum (Nusa Teng­gara), talas, dan ubi jalar (Papua) sebagai pangan baku warga se­lama bertahun-ta­hun.

Kema­juan di bidang eko­nomi dan tek­nologi, terutama tele­ko­mu­ni­kasi, diba­rengi per­baikan ke­se­jah­­te­ra­an plus ke­bi­jakan yang sa­lah mem­buat pola makan meng­kris­tal pada beras, sedang­kan ga­plek, jagung, ubi, dan can­tel, jus­tru menjadi pa­kan pokok ternak. Sampai saat ini semua perut warga negeri ini tergantung pa­da beras dengan tingkat par­tisipasi rata-rata 100%, kecuali Maluku dan Papua (80%).

Kon­sumsi per kapita mencapai 114 kg/tahun, tertinggi di dunia. Akibatnya, pemerintah dipaksa melakukan segala cara untuk menggenjot pro­duksi beras agar pasokan do­mestik ter­cu­kupi. Padahal sawah letih dan kelelahan, pro­duk­ti­vitas me­lan­dai, serta luasnya ter­ge­ro­goti penggunaan lain.

Dae­rah hulu gundul membuat iri­gasi terbengkalai dan kon­ti­nui­tas air sulit dipenuhi. Dari sisi tek­nologi produksi, hasil pe­tani di sawah irigasi saat ini mendekati batas frontier yang bisa dicapai: 6,4 ton/ ha, kedua tertinggi di Asia Timur setelah China (7,6 ton/ha). Po­tensi pe­ningkatan pro­duk­tivitas ha­nya 0,5-1,0 ton/ hek­tare de­ngan input  yang mahal.

Guna mengurangi tekanan dari sisi suplai, Oktober 2010, pemerintahan Presiden SBY menggulirkan kampanye “se­hari tanpa nasi” (One Day No Rice). Menurut kalkulasi saat itu, cara ini bisa menghemat 1,1 juta ton beras senilai Rp6 tri­liun.

Jika uang itu dialihkan un­tuk mengonsumsi pangan lo­kal, seperti singkong, ubi jalar, ga­nyong, dan sukun, akan men­cip­takan dampak bergan­da luar bia­sa. Seperti yang di­duga, pro­gram itu layu se­belum berkem­bang. Pro­gram ber­hen­ti di jar­gon. Baik di ide, memble  di­ek­sekusi. Mengalihkan ses­ua­tu yang sudah jadi ke­bi­asaan (habit ) ber­tahun-tahun, termasuk da­lam pangan, bukan hal mudah.

Ke­biasaan itu tercipta me­lalui pro­ses adaptasi pan­jang, me­li­bat­kan segenap indera (ter­ut­a­ma perasa dan peng­l­ihatan), dan per­tim­ba­ng­an ekonomi (akses dan efisiensi), politik (ke­bi­ja­kan), serta kebudayaan (akultu­rasi dan adap­tasi). Da­lam hal be­ras, hasilnya seper­ti ini: me­ma­sak beras itu mu­dah, harganya murah (ka­re­na sub­si­di), gam­pang didapat kapan dan di mana saja.

Dari sisi gizi dan nutrisi, beras relatif unggul daripada pangan lokal lain. Pelbagai kele­bih­an beras ini belum ter­tan­dingi oleh ane­ka pangan lokal. Dari sini ter­lihat betapa absurd nya kam­p­anye “satu hari tanpa nasi”. Sampai saat ini pangan lokal masih sulit didapat, kon­ti­nui­tas ke­ter­sediaannya tak ter­jaga, har­ganya fluktuatif, ra­sa­nya ku­rang enak, gizinya lebih ren­dah, dan me­masaknya ribet.

Saat pangan lokal dibelit aneka masalah, pangan in­tro­duksi berbasis terigu justru se­makin perkasa. Dalam se­pu­luh tahun terakhir, konsumsi bahan pangan dari gandum impor yang diolah jadi tepung terigu itu meningkat pesat.

Pada 1987 konsumsi terigu per kapita In­do­nesia masih 1,05 kg per ta­hun, naik jadi 2,64 kg per ta­hun pada 1996 dan mele­dak menjadi 24 kg per ta­hun pada 2017. Jadi, hanya dalam 30 ta­hun kon­sum­si terigu meledak 23 kali lipat.

Di Indonesia, tidak ada jenis pa­ngan lain yang me­ngalami le­da­kan sebesar kon­sumsi te­r­i­gu. Kon­se­kuensinya, im­por gan­dum juga me­ledak, menjadi le­bih 12 juta ton pada 2017 de­ngan nilai USD 2,1 mi­liar. De­visa yang terkuras ini tidak kecil.

Dalam struktur diet ma­kan­an warga, gan­dum kini me­nem­­pati posisi kedua setelah beras yang mencapai 25%, me­nyalip jagung atau umbi-um­bian. Aneka pangan berbasis gandum jauh lebih po­puler ke­timbang pangan lokal, seperti singkong, sagu, sukun, atau ganyong.
Di mata warga, aneka pangan lokal itu lebih inferior daripada gandum yang lebih mewakili cita rasa dan selera global. Temuan Fabiosa (2006) dalam “Westernization of the Asian Diet: The Case of Rising Wheat Consumption in Indo­nesia “cukup mengejutkan: se­tiap peningkatan 1% pen­da­pat­an warga Indonesia, penge­luaran konsumsi pangan yang dibuat dari gandum meningkat di kisaran 0,44-0,84%. Seba­lik­nya, kon­sum­si beras tergerus.

Ini menegaskan dua hal se­kaligus. Pertama, subs­ti­tu­si beras oleh gandum de­mikian cepat. Dari sisi diversifikasi ma­­kanan, substi­tu­si itu meru­pakan hal yang baik. Namun, substitusi be­ras oleh gandum adalah di­versifikasi yang salah kaprah.

Sebab ini yang kedua, substitusi itu hanya akan kembali mem­per­tegas feno­me­na pening­kat­an keter­gan­tungan kita pada pa­ngan im­por. Padahal In­do­nesia me­mi­liki aneka sum­­ber daya lokal yang bisa menggan­ti­kan gan­dum, seperti sing­kong, gem­bili, sukun, sagu, dan ubi jalar. Subs­ti­tusi gan­dum dengan pa­ngan lokal tidak hanya meng­­­he­mat devisa, tapi juga men­cip­takan dam­pak ber­gan­da (
mul­tiplier effect) yang luar bia­sa di berbagai sektor.

Mensubstitusi terigu de­ngan pa­ngan lokal bukan hal mus­­tahil. Namun, substitusi itu memerlukan kebijakan ra­dikal, konsisten, dan memihak kepen­tingan domestik. Salah satu kandidat pengganti te­pung terigu adalah te­pung sing­kong mo­di­fikasi (mocaf).

Mocaf  su­dah diproduksi secara in­dustrial di banyak tempat, melibatkan petani, koperasi, dan peme­rin­tah daerah. Di si­ni­lah ne­gara per­lu hadir dengan beleid  me­mihak.

Pertama, secara ekonomi, harga mocaf (lebih Rp 6.000/ kg) cukup bersaing. Tapi, harga ini belum menarik bagi in­dus­tri dibandingkan dengan te­pung terigu curah (di bawah Rp6.000/kg).

Jika mocaf tidak dikenai PPN 10%, tentu har­ga­nya kian menarik. Pemerintah harus membebaskan PPN 10% untuk mocaf. Sebaliknya, bea masuk impor terigu yang 0% harus ditata ulang.

Kedua, stra­tegi diversifikasi pangan ber­bahan lokal akan berhasil bila pemerintah tak memilih ke­bi­jakan dan strategi melepas se­mua ke pasar (
hands-off policy). Dukungan kebijakan itu me­liputi kebijakan fiskal, seperti alokasi anggaran dalam APBN, tarif bea masuk, pajak, kredit berbunga rendah, serta subsidi pertanian, termasuk riset dan teknologi.

Ketiga, strategi ini harus terintegrasi dalam ren­cana pembangunan jangka me­nengah sebagai bagian dari pen­ciptaan lapangan kerja dan pengurangan kemiskinan. Sebagai industri yang masih bayi (
infant industry), tidak adil membiarkan industri mocaf —yang sepenuhnya berbahan baku lokal, melibatkan ribuan (bahkan jutaan) petani, menciptakan dampak berganda yang maha luas—bersaing de­ngan industri tepung terigu yang sudah mapan.

Tanpa cam­pur ta­ngan pemerintah, mus­ta­hil mocaf  bersaing dengan 6 kor­po­rasi penguasa bisnis te­pung te­rigu (yang salah sa­tu­nya m­e­ngua­sai pangsa pasar 70%). Ber­bagai kebijakan itu harus dila­ku­kan konsisten dan ber­ke­si­nam­bungan. Saat te­pung terigu ter­substitusi mo­caf, dengan sendirinya tekanan pada beras akan berkurang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar