Pelajaran
Menulis dari Rusdi Mathari
Kalis Mardiasih ; Menulis opini dan menerjemah;
Aktif sebagai Periset dan Tim Media
Kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan pesan-pesan toleransi
dan kampanye #IndonesiaRumahBersama
|
DETIKNEWS,
02 Maret
2018
Buku Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya: Kisah Sufi dari Madura
adalah magnum opus-nya.
"Kenapa yang harus dihormati hanya orang yang berhaji? Kenapa orang yang
salat tidak dipanggil Pak Salat? Orang yang puasa tidak dipanggil Pak Puasa?
Orang yang berzakat, Pak Zakat?" demikian Cak Dlahom, protagonis sentral
dalam buku itu berpetuah.
Pada 12 Oktober 2017 lalu,
tepat pada usianya yang ke-50 tahun, kawan-kawan membuat hajatan kecil
bertajuk Sore Bersama Rusdi. Rumah
yang terletak di pojokan sebuah gang di Srengseng Sawah itu ramai hingga
malam. Wajahnya sumringah. Di sisi ranjangnya adalah Pemred Koran Tempo Wahyu
Dhyatmika, rekan dari Majalah Trust, dan banyak jurnalis senior lain. Di
tengah obrolan yang bertema seputar misi kongres Aliansi Jurnalis Independen
(AJI) yang digelar di Solo pada November 2017, Cak Rusdi masih pula berkelakar
dan tertawa dengan cerita humor Madura yang ia dongengkan.
Dulu, setiap pagi di
beranda Facebook adalah keriaan yang disajikan oleh Rusdi Mathari. Selain di
blog-nya yang punya semboyan "Karena Jurnalistik Bukan Monopoli
Wartawan", ia rutin menulis status setiap pagi-pagi sekali. Pukul
delapan atau pukul sembilan pagi, tulisan panjangnya dipastikan telah
mendapat like dari ratusan atau bahkan ribuan akun lainnya. Ia pernah bilang,
tulisannya setiap pagi adalah sekaligus kabar kepada semua temannya kalau ia
masih sehat dan menyongsong dunia dengan semangat.
Cak Rusdi menulis apa
saja: aktivitas lari paginya di Setu Babakan bersama putra semata wayangnya
Voja, menyoroti penulisan berita media-media digital yang ngawur, mengenang
masa muda ketika menonton konser God Bless di Malang, sakit ambeien yang ia
derita justru ketika dua bulan pertama menjadi pengantin baru, pengalaman
singgah di beberapa tempat ketika sempat mampir dari sebuah liputan, feature
biografi singkat tokoh atau guru jurnalistiknya, merekonstruksi kisah wayang
atau epos zaman kerajaan dengan mengkontekstualkan dengan masa kini, dan
tentu saja komentar-komentarnya untuk tokoh-tokoh dan nalar politik yang
makin kacau. Pada musim politik 2014, pandangan-pandangannya menjadi ekstase
bagi jurnalis lain yang bahkan juga ikut terseret arus polarisasi kubu Jokowi
versus kubu Prabowo.
Kadang-kadang, ia juga
mengajak kita seolah pergi ke tempat-tempat imajinatif, dengan tokoh manusia,
jenis tanaman tak lumrah, beserta fragmen kisah fiktif yang mengajak kita
membenci pertikaian dan menegakkan kemanusiaan. Soal terakhir itu, akhirnya
saya menemukan formulanya. Cak Rusdi senang menonton National Geographic,
terutama ketika menyiarkan suku-suku di berbagai pedalaman dunia yang masih
begitu dekat kehidupannya dengan alam.
"Setiap bangun tidur
selepas Salat Subuh, aku membaca minimal 15 tulisan panjang. Bukan status
pendek ya, tapi tulisan panjang yang punya tema. Tulisan siapa saja. Kadang
juga penulis-penulis baru yang bermunculan."
Malam itu, sekitar Juli
atau Agustus 2016, ia baru saja meluncurkan buku berisi kumpulan tulisannya
yang berjudul Aleppo di Yogyakarta.
"Aku juga membaca
tulisan-tulisanmu. Aku tahu betul posisi yang kau ambil, siapa yang kau bela,
dan siapa yang kau konfrontasi. Itu boleh saja, tapi karena kamu masih muda,
jangan dulu membela atau membenci sesuatu dengan berlebihan, ya."
Asmara Art & Coffee
Shop yang terletak di Mantrijeron, Yogyakarta makin meriuh menuju tengah
malam. Nasihat itu disampaikannya di sela-sela bercanda tawa dengan
kawan-kawan perbukuan indie Yogyakarta.
"Kau harus bergaul
dengan siapa saja. Bergaul, berteman, itu tidak sama artinya dengan mengubah
diri atau terseret arus. Tetapi untuk menjadi penulis yang baik, kau mesti
punya banyak teman dari semua kalangan. Dekat, tetapi sekaligus
berjarak."
Konon, jarak membuat kita
mampu mengamati fenomena dengan lebih jernih. Seperti ketika manusia
mengambil jarak di depan cermin. Penulis, peneliti, apalagi jurnalis yang
menyampaikan fakta memang wajib mengambil jarak karena menyadari bahwa hasrat
subjektif manusia lebih sering bercampur dengan nafsu, ambisi pribadi,
kepentingan-kepentingan. Ia bercerita bahwa Bapak Mathari, ayahandanya,
adalah seorang Muhammadiyah asal Situbondo yang bersahabat baik dengan
almarhum Kiai As'ad yang Nahdlatul Ulama.
Dalam Narasi: Antologi Prosa Jurnalisme, Cak Rusdi
menulis prosa ihwal kasus pembakaran rumah-rumah dan pengusiran orang-orang
Syiah dari Omben, Sampang. Dari wawancara dengan keluarga besar Tajul Muluk
dan adiknya Rois, pejabat teras pemkab, petinggi ormas, dan sejumlah kiai,
Cak Rusdi mengulas bahwa akar konflik di Sampang bukan karena sesat atau
tidaknya Syiah, sebab kecurigaan perihal ritual ibadah ternyata lebih banyak
yang bersifat sentimen tendensius. Akar konflik mula-mula berasal dari
kecemburuan yang sangat biasa, soal murid-murid pengajian sebuah masjid yang
berpindah guru atau kiai. Satu kutipan dari seorang Kiai Madura yang ditulis
Cak Rusdi adalah "emok ngetong jhelenna ajem, kaloppae sokona dhibhik
niddhek tamaccok", yang artinya mereka (orang-orang yang berkonflik)
hanya sibuk menghitung langkah ayam, tapi lupa kaki mereka justru menginjak
tahinya.
Suatu pagi ketika
perpolitikan Jakarta sedang kedodoran, ia tiba-tiba mengirim pesan di
Facebook Messenger. "Kalis, apa benar ada ajaran Islam yang menghina
agama lain, seperti kata statusmu?"
Rupanya, ia menyimak
status yang saya tulis. Saat itu saya lelah dengan orang Islam yang mudah
sekali tersulut dan merasa tersinggung karena agamanya dihina. Saya memberi
fakta bahwa di ruang-ruang tertutup saat mengkaji agama sejak kecil,
anak-anak juga diwarisi metode menghina sesembahan lain demi menguatkan
akidah atau keberimanan pada agama.
"Kalau begitu
kalimatmu keliru. Baca lagi. Kamu jelas menulis "kayak Islam nggak pernah
menghina agama lain saja..." Hati-hati menulis. Beda antara Islam dengan
orang Islam."
Kehati-hatian. Verifikasi.
Hari ini, sikap awas dan macam itu menjadi mahal. Kabar yang tersiar
belakangan ini adalah seorang dosen yang harusnya memiliki laku dan menjaga
tradisi ilmiah, tetapi menjadi tersangka penyebar kabar hoax.
Seminggu lalu, ketika
menengok Cak Rusdi terakhir kali, ia pun masih memberi pesan yang sama.
"Berhati-hatilah, Nduk dalam menulis dan berbicara. Segala kemampuanmu
itu bukan benar-benar kamu. Tanganmu dapat bergerak menulis itu bukan kamu.
Sunnatullah, jangan dilupa."
Ia lalu meminta tolong
untuk memasang dua guling sebagai sandaran kedua kakinya. Bibirnya berzikir,
lalu pelan-pelan tertidur dengan tenang.
Setiap hari sebelum hari
ini, saya masih terus berharap bahwa masih akan ada pagi-pagi bersama Rusdi
yang meriangkan beranda dengan tulisan yang bagai oase. Tetapi, kabar duka
datang, yang sekaligus berarti bahwa pagi-pagi selama bertahun lalu kini
menjadi monumen yang akan terus kita rindukan. Seorang jurnalis idealis yang
senantiasa menjaga nalar kritis. Selamat jalan, Cak Rusdi Mathari! Sembilan
bulan telah melawan dengan penuh kekuatan pada virus kanker di leher kirimu.
Jumat baik untuk manusia baik. ●
|
Kualitas artikel kamu bagus gan.. aku suka baca artikel kamu.. seperti artikel ini
BalasHapushttps://peduliayam.com/2019/06/21/melatih-ayam-teknik-pukul-atas-menjadi-teknik-full-kontrol/