Minggu, 04 Maret 2018

Pelajaran Menulis dari Rusdi Mathari

Pelajaran Menulis dari Rusdi Mathari
Kalis Mardiasih  ;   Menulis opini dan menerjemah;
Aktif sebagai Periset dan Tim Media Kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama
                                                    DETIKNEWS, 02 Maret 2018



                                                           
Buku Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya: Kisah Sufi dari Madura adalah magnum opus-nya. "Kenapa yang harus dihormati hanya orang yang berhaji? Kenapa orang yang salat tidak dipanggil Pak Salat? Orang yang puasa tidak dipanggil Pak Puasa? Orang yang berzakat, Pak Zakat?" demikian Cak Dlahom, protagonis sentral dalam buku itu berpetuah.

Pada 12 Oktober 2017 lalu, tepat pada usianya yang ke-50 tahun, kawan-kawan membuat hajatan kecil bertajuk Sore Bersama Rusdi. Rumah yang terletak di pojokan sebuah gang di Srengseng Sawah itu ramai hingga malam. Wajahnya sumringah. Di sisi ranjangnya adalah Pemred Koran Tempo Wahyu Dhyatmika, rekan dari Majalah Trust, dan banyak jurnalis senior lain. Di tengah obrolan yang bertema seputar misi kongres Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang digelar di Solo pada November 2017, Cak Rusdi masih pula berkelakar dan tertawa dengan cerita humor Madura yang ia dongengkan.

Dulu, setiap pagi di beranda Facebook adalah keriaan yang disajikan oleh Rusdi Mathari. Selain di blog-nya yang punya semboyan "Karena Jurnalistik Bukan Monopoli Wartawan", ia rutin menulis status setiap pagi-pagi sekali. Pukul delapan atau pukul sembilan pagi, tulisan panjangnya dipastikan telah mendapat like dari ratusan atau bahkan ribuan akun lainnya. Ia pernah bilang, tulisannya setiap pagi adalah sekaligus kabar kepada semua temannya kalau ia masih sehat dan menyongsong dunia dengan semangat.

Cak Rusdi menulis apa saja: aktivitas lari paginya di Setu Babakan bersama putra semata wayangnya Voja, menyoroti penulisan berita media-media digital yang ngawur, mengenang masa muda ketika menonton konser God Bless di Malang, sakit ambeien yang ia derita justru ketika dua bulan pertama menjadi pengantin baru, pengalaman singgah di beberapa tempat ketika sempat mampir dari sebuah liputan, feature biografi singkat tokoh atau guru jurnalistiknya, merekonstruksi kisah wayang atau epos zaman kerajaan dengan mengkontekstualkan dengan masa kini, dan tentu saja komentar-komentarnya untuk tokoh-tokoh dan nalar politik yang makin kacau. Pada musim politik 2014, pandangan-pandangannya menjadi ekstase bagi jurnalis lain yang bahkan juga ikut terseret arus polarisasi kubu Jokowi versus kubu Prabowo.

Kadang-kadang, ia juga mengajak kita seolah pergi ke tempat-tempat imajinatif, dengan tokoh manusia, jenis tanaman tak lumrah, beserta fragmen kisah fiktif yang mengajak kita membenci pertikaian dan menegakkan kemanusiaan. Soal terakhir itu, akhirnya saya menemukan formulanya. Cak Rusdi senang menonton National Geographic, terutama ketika menyiarkan suku-suku di berbagai pedalaman dunia yang masih begitu dekat kehidupannya dengan alam.

"Setiap bangun tidur selepas Salat Subuh, aku membaca minimal 15 tulisan panjang. Bukan status pendek ya, tapi tulisan panjang yang punya tema. Tulisan siapa saja. Kadang juga penulis-penulis baru yang bermunculan."

Malam itu, sekitar Juli atau Agustus 2016, ia baru saja meluncurkan buku berisi kumpulan tulisannya yang berjudul Aleppo di Yogyakarta.

"Aku juga membaca tulisan-tulisanmu. Aku tahu betul posisi yang kau ambil, siapa yang kau bela, dan siapa yang kau konfrontasi. Itu boleh saja, tapi karena kamu masih muda, jangan dulu membela atau membenci sesuatu dengan berlebihan, ya."

Asmara Art & Coffee Shop yang terletak di Mantrijeron, Yogyakarta makin meriuh menuju tengah malam. Nasihat itu disampaikannya di sela-sela bercanda tawa dengan kawan-kawan perbukuan indie Yogyakarta.

"Kau harus bergaul dengan siapa saja. Bergaul, berteman, itu tidak sama artinya dengan mengubah diri atau terseret arus. Tetapi untuk menjadi penulis yang baik, kau mesti punya banyak teman dari semua kalangan. Dekat, tetapi sekaligus berjarak."

Konon, jarak membuat kita mampu mengamati fenomena dengan lebih jernih. Seperti ketika manusia mengambil jarak di depan cermin. Penulis, peneliti, apalagi jurnalis yang menyampaikan fakta memang wajib mengambil jarak karena menyadari bahwa hasrat subjektif manusia lebih sering bercampur dengan nafsu, ambisi pribadi, kepentingan-kepentingan. Ia bercerita bahwa Bapak Mathari, ayahandanya, adalah seorang Muhammadiyah asal Situbondo yang bersahabat baik dengan almarhum Kiai As'ad yang Nahdlatul Ulama.

Dalam Narasi: Antologi Prosa Jurnalisme, Cak Rusdi menulis prosa ihwal kasus pembakaran rumah-rumah dan pengusiran orang-orang Syiah dari Omben, Sampang. Dari wawancara dengan keluarga besar Tajul Muluk dan adiknya Rois, pejabat teras pemkab, petinggi ormas, dan sejumlah kiai, Cak Rusdi mengulas bahwa akar konflik di Sampang bukan karena sesat atau tidaknya Syiah, sebab kecurigaan perihal ritual ibadah ternyata lebih banyak yang bersifat sentimen tendensius. Akar konflik mula-mula berasal dari kecemburuan yang sangat biasa, soal murid-murid pengajian sebuah masjid yang berpindah guru atau kiai. Satu kutipan dari seorang Kiai Madura yang ditulis Cak Rusdi adalah "emok ngetong jhelenna ajem, kaloppae sokona dhibhik niddhek tamaccok", yang artinya mereka (orang-orang yang berkonflik) hanya sibuk menghitung langkah ayam, tapi lupa kaki mereka justru menginjak tahinya.

Suatu pagi ketika perpolitikan Jakarta sedang kedodoran, ia tiba-tiba mengirim pesan di Facebook Messenger. "Kalis, apa benar ada ajaran Islam yang menghina agama lain, seperti kata statusmu?"

Rupanya, ia menyimak status yang saya tulis. Saat itu saya lelah dengan orang Islam yang mudah sekali tersulut dan merasa tersinggung karena agamanya dihina. Saya memberi fakta bahwa di ruang-ruang tertutup saat mengkaji agama sejak kecil, anak-anak juga diwarisi metode menghina sesembahan lain demi menguatkan akidah atau keberimanan pada agama.

"Kalau begitu kalimatmu keliru. Baca lagi. Kamu jelas menulis "kayak Islam nggak pernah menghina agama lain saja..." Hati-hati menulis. Beda antara Islam dengan orang Islam."

Kehati-hatian. Verifikasi. Hari ini, sikap awas dan macam itu menjadi mahal. Kabar yang tersiar belakangan ini adalah seorang dosen yang harusnya memiliki laku dan menjaga tradisi ilmiah, tetapi menjadi tersangka penyebar kabar hoax.

Seminggu lalu, ketika menengok Cak Rusdi terakhir kali, ia pun masih memberi pesan yang sama. "Berhati-hatilah, Nduk dalam menulis dan berbicara. Segala kemampuanmu itu bukan benar-benar kamu. Tanganmu dapat bergerak menulis itu bukan kamu. Sunnatullah, jangan dilupa."

Ia lalu meminta tolong untuk memasang dua guling sebagai sandaran kedua kakinya. Bibirnya berzikir, lalu pelan-pelan tertidur dengan tenang.

Setiap hari sebelum hari ini, saya masih terus berharap bahwa masih akan ada pagi-pagi bersama Rusdi yang meriangkan beranda dengan tulisan yang bagai oase. Tetapi, kabar duka datang, yang sekaligus berarti bahwa pagi-pagi selama bertahun lalu kini menjadi monumen yang akan terus kita rindukan. Seorang jurnalis idealis yang senantiasa menjaga nalar kritis. Selamat jalan, Cak Rusdi Mathari! Sembilan bulan telah melawan dengan penuh kekuatan pada virus kanker di leher kirimu. Jumat baik untuk manusia baik. ●

1 komentar:

  1. Kualitas artikel kamu bagus gan.. aku suka baca artikel kamu.. seperti artikel ini
    https://peduliayam.com/2019/06/21/melatih-ayam-teknik-pukul-atas-menjadi-teknik-full-kontrol/

    BalasHapus