Imlek
2568 dan Keselamatan Bangsa
Tom Saptaatmaja ;
Teolog, banyak menulis masalah
Tionghoa
|
MEDIA
INDONESIA, 27 Januari 2017
IMLEK
kembali tiba. Imlek memasuki Tahun Ayam pada 1 Cia Gwee 2568, bertepatan
dengan Sabtu, 28 Januari 2017. Awalnya, Imlek merupakan perayaan pergantian
musim bagi para petani di Tiongkok. Sistem penanggalan Imlek sudah dibuat
2700 tahun sebelum Masehi. Mengingat di Tiongkok kuno banyak pemeluk Tao,
Konghucu, atau Buddha, Imlek lalu bernuansa keagamaan. Namun, sesungguhnya
Imlek bukan milik umat beragama tertentu. Dengan demikian, setiap etnik
Tionghoa yang beragama apa pun, tak dilarang merayakan Imlek. Tidak merayakan
pun tak jadi soal. Menurut Robertson Smith, salah satu fungsi sosial
hari-hari besar seperti Imlek ialah merekatkan kebersamaan di dalam
masyarakat. Ini tentu senada dengan acara berkunjung yang biasanya juga
mewarnai Imlek. Sebab jika tali silaturahim disepelekan, biasanya berdampak
kurang baik. Relasi menjadi memburuk. Orang lebih suka berprasangka. Apalagi
kini bertebaran hoax dan ujaran tidak pantas yang bisa memicu konflik, bahkan
kerusuhan.
Hari
hari ini, kita juga prihatin. Pasalnya seiring pilkada serentak, khususnya
pilkada DKI, politik identitas kian menguat. Sentimen SARA (suku, agama, ras
dan antargolongan) juga dimanfaatkan sebagian kalangan. Apalagi jika kita
mencermati tren global, dalam tahun-tahun belakangan kita masih dihantui
ancaman akan bangkitnya kembali politik identitas yang menonjolkan
superioritas agama atau etnik tertentu. Ini tampak pada munculnya populisme
di Barat, seiring dengan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika
Serikat.
Sejarah
negeri ini tidak pernah sepi dari yang namanya konflik atau kerusuhan sosial.
Etnik Tionghoa sering muncul sebagai kambing hitam sekaligus korban. Padahal
sejarah masa lampau negeri ini mencatat antara etnik Tionghoa dan beragam
suku bangsa di negeri ini pernah terjadi sinergi dan akulturasi budaya yang
saling memberi dan menghormati. Ini masih bisa kita lihat jejaknya di Singkawang,
Semarang, Lasem, dsb. Bahkan menyambut Imlek tahun ini, Metro TV menayangkan
feature sejarah berseri tentang Jejak Panjang Toleransi di Lasem. Karena itu,
rasanya kita perlu melihat sejarah kita kembali untuk belajar sikap saling
menghormati, menghargai, tetap lebih baik daripada 1.001 bahasa prasangka,
konflik, dan benturan peradaban lainnya.
Dari
sejarah kita bisa melihat sesungguhnya sebelum kolonialis Belanda menjajah
negeri ini mulai abad 16 dan 17, sebenarnya tidak pernah muncul konflik. Jika
kini, ada yang suka membenturkan etnik Tionghoa dengan Islam misalnya, pada
zaman dulu, antara Tionghoa dan Islam justru bisa bekerja sama. Bahkan, etnik
Tionghoa diakui perannya ikut menyebarkan Islam. Di masjid Demak atau
beberapa kelenteng di Pantura Jawa masih bisa kita lihat sisa-sisa akulturasi
budaya Islam dan Tionghoa.
Bukan
hanya dalam level agama, dalam hal pertanian, makanan, pakaian dan aspek
budaya lainnya, ada hibriditas atau ketercampuran budaya yang saling mengisi
dan memperkaya antara kultur Tionghoa dan kultur setempat di bumi Nusantara
ini. Kalau mau bukti lebih banyak silahkan membaca buku karya Dennis Lombard,
Nusa Jawa: Silang Budaya, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Namun,
setelah Belanda menjajah negeri ini, mulai terjadilah adu domba dan konflik
antara Islam dan Tionghoa. Belanda memang telah melakukan politik segregasi
untuk memisahkan orang-orang Tionghoa dari penduduk setempat (bumiputera).
Aksi kejahatan anti-Tionghoa yang pertama di Nusantara ialah pembunuhan
orang-orang Tionghoa pada 1740 di Batavia. Lebih dari 10 ribu orang Tionghoa
dibantai dengan kejam oleh pasukan VOC, ratusan rumah dijarah dan dibakar.
Darah dan mayat korban pembunuhan tersebut memenuhi sebuah sungai yang sampai
sekarang dinamai Kali Angke. Setelah peristiwa 1740, berbagai konflik dan
kerusuhan anti-Tionghoa meledak di berbagai kawasan di negeri ini. Puncaknya
Tragedi Mei 1998 yang merupakan noda paling hitam dalam sejarah negeri ini.
Ernest
Renan pernah memperingatkan, “Bangsa bukanlah sesuatu yang kekal, mereka akan
muncul, dan mereka akan lenyap.” Kita tentu tidak menginginkan lenyapnya
bangsa Indonesia. Karena itu, mau tidak mau, kita harus bisa belajar dari
sejarah. Karena itu, mari kita membangun sinergi dan menjauhi segala
prasangka atau konflik yang kontraproduktif. Sibuk berkonflik internal
membuat kita juga makin ketinggalan dari negara-negara tetangga.
Kita
sudah memilih demokrasi untuk kehidupan kita bersama di negeri ini, termasuk
dalam relasi antaretnik dan agama. Dalam demokrasi, semua etnik, semua agama
mendapat tempat yang terhormat karena dalam demokrasi diterapkan prinsip
toleransi sebagai penghormatan pada perbedaan di antara warganya. Jika ada
konflik, mari selesaikan dengan dialog atau musyawarah. Segala fanatisme
agama atau rivalitas etnik atau superioritas ras tidak ada tempatnya dalam
demokrasi dan di negeri yang amat majemuk ini.
Oleh
karena itu, seiring dengan Imlek kali ini, mari kita berdoa agar bangsa
Indonesia bisa selamat melewati berbagai cobaan dan tantangan. Jangan lupa,
dalam Imlek syarat dengan pesan keselamatan. Bagi masyarakat Tiongkok,
keselamatan ialah saling bergantung dari semua hal yang ada di bawah langit
dan di atas bumi (Tian Xia, Di Shang). Keselamatan amat bergantung pada
keharmonisan manusia dengan alam, sesama dan para dewa (Tuhan).
Maka
dalam Imlek, ada ritual yang punya aspek vertikal, seperti ucapan syukur
kepada Tuhan yang telah menyelamatkan dari roh jahat, yang termanisfestasi
dalam penyalaan kembang api dan petasan pada malam Imlek. Juga ada penghargaan
pada leluhur dengan membersihkan makam. Kemudian aspek horizontalnya, ada
acara kunjungan ke tetangga dengan membagikan angpao pada yang lebih muda
atau kaum papa. Dari gagasan di atas kita bisa membaca bahwa menjaga harmoni,
baik dengan Tuhan, sesama dan alam, sangat penting maknanya bagi setiap etnik
Tionghoa. Maka kehadiran etnik ini di manapun, termasuk di negeri ini selalu
ingin memberi kontribusi positif sebagaimana sudah ditulis oleh Denys Lombard
di atas. Maka kita jangan mau diadu domba lagi demi keutuhan dan keselamatan
NKRI. Mari kita jadikan Imlek kali ini menjadi momentum untuk mengakhiri
segala prasangka dan terus berkontribusi bagi kemajuan bangsa. Gong Xi Fat
Choi 2568! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar