Politik
Berkuda, Hukum Keseimbangan,
dan
Peran Presiden Jokowi
Denny Indrayana ; Guru Besar Hukum Tata Negara UGM, Visiting
Professor pada Melbourne Law School dan Faculty of Arts, University of
Melbourne
|
KOMPAS.COM, 19 Januari 2017
Kalau
Catatan Kamisan saya berbicara tentang kuda, apa yang Anda pikirkan?
Saya
duga, jika anda adalah pendukung Presiden Jokowi, maka terbayang pengorbanan
beliau saat melakukan politik berkuda di Hambalang, duduk di pelana mirip
tokoh kartun “Lucky Luke”, apalagi dengan topi koboi dan tingkat kekurusan
yang hampir sama.
Jika
anda bukan pendukung mantan Presiden SBY, maka akan terbayang beberapa meme
soal “Lebaran kuda,” salah satu bagian pidato beliau ketika menanggapi
berkudanya Jokowi dengan Prabowo.
Entah
apa pula yang anda bayangkan terkait mantan capres Prabowo, yang berfoto
gagah di samping Jokowi, di atas kudanya yang berharga selangit.
Catatan
kamisan saya tidak menyoal ketiga tokoh presidensial tersebut. Berkuda yang
saya tulis lebih sebagai perumpamaan bagaimana hukum harus seimbang memadukan
antara kebebasan dan pembatasan.
Dalam
berkuda, kita harus bisa memadukan kemampuan mencambuk agar kuda berlari
kencang, dan menarik tali kekang agar kuda berhenti. Terus mencambuk, akan
menyebabkan kuda bebas berlari tanpa henti. Terlalu menarik tali kekang, akan
menyebabkan kuda terus berhenti, dan tidak akan pernah berlari.
Hukum,
adalah juga soal menjaga keseimbangan, soal meramu keadilan. Karena itu
lambangnya adalah timbangan. Untuk menjaga keseimbangan itulah maka hukum
mengatur, menjadi regulasi.
Negeri
deflasi regulasi menjadi anarki. Negeri inflasi regulasi menjadi tirani.
Negara
yang deflasi aturan adalah negeri yang nyaris membiarkan segalanya leluasa
tanpa hukum. Semua serba bebas. Sekali merdeka, merdeka sekali. Maka yang
terjadi adalah kebebasan tanpa pembatasan.
Negara
yang inflasi aturan adalan negeri yang nyaris membiarkan segalanya direkaya
dengan hukum. Semua serba terbatas. Maka yang terjadi adalah pembatasan tanpa
kebebasan.
Hukum
yang benar harus mempunyai ramuan yang seimbang antara kebebasan dan
pembatasan. Negeri yang tidak semua dibebaskan, tetapi tidak pula semua
dibatasi. Negeri yang seimbang, kebebasan dengan batas-batas yang
proporsional. Negeri yang mempunyai konstitusi yang demokratis.
Negara
yang konstitusional demokratis adalah ibarat cara orang berkuda. Baik orang
yang menunggangi atau kuda yang ditunggangi mempunyai aturan main yang harus
dipatuhi.
Jangan
berkuda sendirian, tanpa pelatih, apalagi jika tidak berpengalaman. Jangan
pula pernah sembarangan menaiki kuda liar, yang belum dilatih untuk
ditunggangi.
Aturan Berkuda
Minggu
lalu, saya mengajak kedua anak saya (Varis dan Varras) berkuda di Great Ocean
Road, salah satu daerah wisata sekitar tiga jam berkendaraan dari Melbourne. Sebelum
menaiki kuda, kami menandatangani formulir soal jaminan keselamatan.
Masing-masing kami diwajibkan memakai helm dan sepatu berkuda.
Saya
yang kepala keluarga di antara rombongan diberikan kuda yang sudah dilatih
berjalan paling belakang, di antaranya adalah kedua anak saya, sedang yang
terdepan adalah kuda dan pelatihnya.
Aturan
main dasar diajarkan. Setiap kuda ada tali kendali dan pelana. Tali kendali
ditarik bila ingin kuda berhenti. Tali kendali dikendorkan ditambahkan hentakan
kaki, jika kuda diperintahkan berjalan. Jika di jalan tanjakan, badan
dimiringkan ke belakang. Jika di jalan turunan, badan dicondongkan ke depan.
Singkatnya,
aturan main berkuda juga penuh dengan keseimbangan. Sebagaimana hukum yang
mengharmoniskan antara kebebasan dan pembatasan. Helm harus cocok dengan
ukuran kepala sang penunggang. Tidak boleh terlalu sempit sehingga sakit.
Tetapi tidak pula terlalu besar, sehingga longgar.
Pada
saat pertama kali naik, sang pelatih mengatur tali pijakan kaki agar nyaman
dan sesuai dengan panjang kaki penunggang, tidak boleh terlalu pendek, tidak
juga terlalu panjang. Tali kendali tidak boleh ditarik terlalu keras, karena
akan menyakiti mulut kuda dan bisa membuatnya marah. Juga, tali kendali
ditarik sesuai arah yang ingin dilalui. Jika ingin belok kiri, ditarik ke
kiri, dan sebaliknya. Semua ada aturan main yang proporsional.
Hukum Keseimbangan
Rumusnya
adalah hukum keseimbangan. Hukum yang berkeadilan. Hukum tidak boleh terlalu
membiarkan kebebasan, karena akan melahirkan kekerasan. Tetapi hukum juga
tidak boleh terlalu mengekang karena akan menghadirkan kekuasaan yang tiran.
Hukum harus proporsional, mengatur tanpa terlalu membatasi. Karena itu kita
mereformasi Orde Baru. Kita ingin memperbaiki aturan yang terlalu longgar
buat penguasa, tetapi terlalu ketat buat rakyat jelata. Itu sebabnya kita
merubah UUD 1945.
Kekuasaan
presiden yang terlalu besar kita batasi. Masa jabatan presiden yang tanpa
batas waktu, kita maksimalkan hanya dua periode. Untuk mencegah presiden
seumur hidup dan selalu dahaga kekuasaan. Karenanya, ide untuk kembali ke UUD
1945 sebelum perubahan, sebaiknya kita tolak.
Dalam
reformasi UUD 1945, aturan yang mengekang kebebasan masyarakat kita
longgarkan, perlindungan HAM kita tingkatkan.
Undang-undang
Subversi yang penuh pasal karet, dan menjadi alat untuk menghajar lawan
politik penguasa, kita cabut keberlakuannya dengan Undang-Undang Nomor 26
Tahun 1999.
Ituah
sebabnya, salah satu kebijakan politik-hukum Presiden Habibie adalah membebaskan
para Tahanan Politik dan Narapidana Politik (Tapol/Napol).
Tetapi
apakah semua orang lalu boleh bebas berpolitik tanpa aturan? Apakah setiap
orang boleh bebas memperjuangkan politik disintegrasi? Tentu tidak.
Demokrasi
tentu menghormati perbedaan pandangan politik. Tetapi Demokrasi juga lebih
memilih integrasi (persatuan), ketimbang disintegrasi (perpecahan). Karena
itu makar terhadap penguasa yang sah juga tidak boleh dilakukan, dan harus
dipidana.
Namun,
pertanyaannya, kapankah tindak pidana makar itu terjadi? Apakah mengkritik
pemerintah adalah makar? Apakah mengirim surat kepada MPR, meminta wakil
rakyat itu melakukan Sidang Istimewa untuk mengganti Presiden adalah makar?
Saya
rasa, kalau ada satu atau sekelompok kecil orang dengan mengangkat pena—bukan
senjata—mengkritik pemerintah, belumlah dapat dikatakan tindak pidana makar.
Tapi
untuk lebih jelasnya, yang bisa menjawabnya adalah penegakan hukum yang
profesional dan tidak koruptif. Bisa dengan putusan pengadilan, atau cukup
dengan penghentian perkara jika memang yang terjadi pada faktanya hanyalah
kriminalisasi politik.
Demikian
pula halnya dengan kebebasan pers di zaman Orde Baru, yang dikatakan bebas
bertanggungjawab, yang kenyataannya adalah kebebasan dengan ancaman bredel,
ataupun hambatan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers).
Di
awal reformasi, aturan SIUPP dilonggarkan. Menteri Penerangan Yunus
Yosfiah—yang notabene berlatar belakang militer—adalah salah satu pelopor
hadirnya pers yang bebas.
Namun,
apakah kebebasan pers sekarang bukan pada tahap kebablasan? Apakah keberadaan
situs-situs berita online yang mereproduksi berita tanpa etika jurnalistik,
atau bahkan menyebarkan berita hoax, tidak harus diatur?
Saya
berpandangan, situs yang melanggar etika jurnalistik harus dijatuhkan sanksi
oleh Dewan Pers, sebagaimana pengurus situs yang menyebarkan berita bohong
dan berbahaya bisa dijerat dengan sanksi pidana berdasarkan UU Pers—kalau
output kerjanya adalah karya jurnalistik.
Jikalaupun
tidak dapat dianggap sebagai karya jurnalistik, maka bisa dijerat dengan
pasal-pasal UU ITE atau KUHP yang relevan.
Organisasi
Kemasyarakatan (Ormas) yang dulu tidak mudah didirikan, bahkan mudah
dibubarkan sesuai aturan UU Nomor 8 Tahun 1985, sekarang lebih dijamin
hidupnya dengan UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas.
Jika
sebelumnya pemerintah dapat langsung membubarkan suatu ormas, maka dengan
undang-undang yang baru, prosesnya panjang dan berjenjang. Yaitu melalui
penjatuhan sanksi administratif terlebih dahulu, sebelum dapat dimintakan
pembubaran ke pengadilan negeri, yang putusannya hanya dapat dikasasi ke
Mahkamah Agung.
Namun
demikian, bukan berarti ormas dapat seenaknya berkebasan tanpa pembatasan.
Pasal 59 ayat (2) undang-undang dengan jelas melarang ormas untuk:
a. melakukan tindakan permusuhan
terhadap suku, agama, ras, atau golongan;
b. melakukan penyalahgunaan,
penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia;
c. melakukan kegiatan separatis
yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. melakukan tindakan kekerasan,
mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak
e. fasilitas umum dan fasilitas
sosial; atau
f. melakukan kegiatan yang menjadi
tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Sehingga
jika ada salah satu saja dari larangan itu yang dilanggar, maka ormas
demikian dapat dibubarkan.
Namun,
saya berpandangan pembubaran ormas sebaiknya dipikirkan matang-matang. Selain
berpotensi melanggar kebebasan berorganisasi, dan bisa disalahgunakan oleh
penguasa yang lalim. Saya lebih setuju jika yang dihukum bukan organisasinya,
tetapi orang atau pelaku kejahatannya.
Jika
ormasnya yang dibubarkan, maka pengurus dan anggotanya dapat dengan leluasa
membuat ormas baru, mungkin dengan nama yang sedikit berubah.
Namun,
jika tokoh dan anggotanya yang melakukan tindak pidana yang dimasukkan
penjara, saya optimis sanksi hukum demikian akan lebih efektif.
Sebagai
penutup pada bagian contoh ini, saya juga ingin mengulas lagi perdebatan
terkait ambang batas pencalonan presiden (presidential
threshold) dan ambang batas keanggotaan di parlemen (parliamentary threshold).
Sebagaimana
telah saya tuliskan dalam catatan kamisan minggu lalu, saya berpandangan
meninggikan lagi ambang batas syarat presiden bukanlah pilihan. Tetapi
meniadakannya sama sekali juga terlalu membebaskan.
Ingat,
kata kuncinya adalah aturan dengan keseimbangan. Ambang batas tetap
diperlukan tetapi dengan besaran yang proporsional.
Syarat
pencalonan presiden yang sekarang minimal 25% perolehan suara nasional atau
20% perolehan kursi DPR ada baiknya diturunkan, agar membuka ruang bagi makin
banyaknya calon presiden.
Sedangkan
ambang batas syarat kursi di DPR yang sekarang 3,5% ada baiknya dinaikkan
agar makin mendorong sistem bernegara kita menuju sistem kepartaian yang
sederhana.
Peran Vital Presiden
Pada
akhirnya, kemanakah arah politik legislasi hukum akan berjalan, apa ramuan
hukum antara membatasi dan membebaskan itu akan sangat dipengaruhi oleh orang
terkuat di republik: Sang Presiden.
Peran
Jokowi sebagai negarawan dengan segala sumber daya dan mandat kepresidenan
yang dimilikinya harus mampu dimaksimalkan untuk mengarahkan keseimbangan
hukum.
Presiden
harus menjadi Panglima Tertinggi di tengah hukum yang sekarang
diombang-ambingkan antara banyak kepentingan politik, misalnya Pilgub
Jakarta.
Ketika
kebhinnekaan sedang dipertaruhkan, maka Presiden mesti berada di depan untuk
menegaskan “NKRI Tanpa Koma”.
Ketika
semua isu sensitif seperti agama, etnis, antikomunis, digelontorkan; maka
Presiden harus berada di garda depan menentukan arah kebijakan hukum yang
adil dan seimbang antara membebaskan dan membatasi.
Kepada
yang anarkis tegakkan hukum setegas mungkin. Kepada yang kritis, berikan
kebebasan untuk menyatakan pendapat tanpa perlu khawatir dipidana makarkan.
Pada
akhirnya, Presiden berkewajiban menunjukkan hukum yang seimbang antara
membebaskan dan membatasi adalah hukum yang memang tahu menempatkan diri
sesuai kebutuhan masyarakatnya.
Meskipun,
jangan lupa, hukum juga adalah hasil dialektika kebutuhan masyarakat itu
sendiri. Atau, dalam proses legislasi, hukum adalah hasil deliberasi dari
berbagai aspirasi masyarakat yang diperdebatkan oleh perwakilan politik di parlemen.
Bahkan,
pada titik tertentu, ramuan hukum antara yang membebaskan dan membatasi itu
mungkin tidak akan pernah menemukan adonannya yang pas dan seimbang.
Misalnya,
dalam hal mengatur soal agama, maka ujung surat Al Kafirun menegaskan,
“Bagimu agamamu, bagiku agamaku”. Justru, ayat itulah yang menjadi
manifestasi dari puncak dialog keagamaan, yaitu dengan saling menjaga dan
menghormati sebagai sesama insan manusia yang ber-Tuhan.
Keep on fighting for the
better Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar