Rabu, 18 April 2018

Memperkuat Demokrasi, Memajukan Bangsa

Memperkuat Demokrasi, Memajukan Bangsa
Abdul Mu’ti  ;  Sekretaris Umum PP Muhammadiyah;
Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
                                                   KORAN SINDO, 16 April 2018



                                                           
Judul artikel ini diambil dari tema Halaqah Kebangsaan yang diselenggarakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah (12/4).  Acara tersebut dihadiri oleh pimpinan teras seluruh partai politik kontestan Pemilu 2019. Secara bahasa, halaqah berarti lingkaran ilmiah di mana para peserta melakukan curah pikir membahas suatu masalah. Dalam sejarah pendidikan Islam, halaqah merupakan cikal bakal lembaga pendidikan. Para sahabat Nabi Muhammad SAW membentuk halaqah untuk membahas wahyu Alquran dan mendiskusikan masalah-masalah keagamaan, sosial, politik, dan sebagainya. Sesuai dengan makna dan landasan historisnya, Halaqah Kebangsaan dimak sudkan sebagai ajang silaturahmi dan silatulfikri (curah pendapat) tentang problematika demokrasi di Indonesia, khususnya yang terkait dengan kemajuan bangsa.

Involusi Demokrasi

Setelah Reformasi 1998, Indonesia berkembang menjadi negara yang demokratis. In donesia mendapatkan apresiasi internasional dan model demokrasi yang damai. Perkembangan demokrasi di Indonesia mematahkan “mitos” bahwa agama (Islam) tidak kompatibel dengan demokrasi. Banyak negara dunia ketiga berbondong-bon - dong belajar berdemokrasi. Walaupun demikian per ja - lanan demokrasi setelah 20 ta - hun Reformasi belum ber kem - bang sebagaimana yang di ha - rap kan. Sohibul Iman, Presiden Par tai Keadilan Sejahtera (PKS), memaparkan beberapa masalah demokrasi antara lain mahalnya biaya politik, oligarki ke kuasaan, saling menyandera di antara elite politik, dan po li - tik yang involutif.

Hal senada ju - ga disampaikan Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Ke - bangkitan Bangsa (PKB), dan Ro mahurmuzi, Ketua Umum Par tai Persatuan Pembangunan (PPP) yang melihat gejala defi s it demo k ra si . Ada beberapa indikator in vo lusi dan defisit demo - krasi. Per tama, politik yang anar kis tis. Praktik politik penuh de ngan keculasan, ke - curangan, dan kekerasan. Terjadi mutual distrust di antara dan di dalam tu buh partai serta para elite dan ma syarakat. Sebagian elite bah kan dengan sengaja menebar kebencian dengan pernyataan yang memicu perpecahan.

De mokrasi bisa menjadi salah satu sumber perpecahan dan me ru sak persatuan bangsa. Wa lau pun tidak terbukti, an - cam an bah wa Indonesia akan meng alami Balkanisme dan ter - pe cah-belah mungkin saja ter - jadi. Prabowo Subianto meng - ingat kan kemungkinan Indo - ne sia bubar pada 2030. Banyak yang menampik pernyataan Pra bo wo. Tapi, harus diakui, fondasi sosial-budaya Indo ne - sia masih rapuh untuk berdiri te gak se ba gai negara de mo - kratis. Kedua, partisipasi politik masyarakat yang rendah. Apa - tisme dan pragmatisme politik terlihat jelas dalam perhelatan po litik seperti pilkada dan pe - mi lu legislatif. Sikap negatif ma - syarakat terhadap demokrasi disebabkan oleh realitas di ma - na demokrasi hanya mengun - tungkan elite partai politik. Na - sib kaum alit tidak jauh ber - ubah.

Mereka hanya menjadi komoditas politik. Kesen jang - an kawasan dan golongan ma - sih menganga. Kemakmuran masih jauh bagi s e b a g ian besar rakyat. Rasio gini Indonesia te tap tinggi walau menghirup uda ra demokrasi. Di tengah eko nomi yang ter pu - ruk, demokrasi menumbuhkan prag ma tisme di mana ma sya - rakat m e milih karena alasan ekonomi, bukan idealisme. Ketiga, adanya fenomena arus balik demokrasi di mana sebagian masyarakat mempersoal kan sistem demokrasi. Di ka langan muslim terdapat ke - lom pok yang berpendapat bah - wa demokrasi adalah sistem kafir dan taghut. Mereka menolak demokrasi dan menawarkan sistem khilafah sebagai peng - gan ti demokrasi.

Selain mereka yang menolak dengan argumen teologis-ideologis, terdapat ke - lompok yang menentang kare - na alasan pragmatis-empiris. Kelompok kedua sangat kritis dan pesimistis dengan demo - krasi. Sistem demokrasi tidak hanya menjauhkan mereka dari mimpi kesejahteraan, tetapi le - bih serius lagi memalingkan bangsa dari moralitas dan ke - hidupan yang menyimpang dari cita-cita kemerdekaan. Per ban dingan yang sering dikemukakan adalah Singapura dan Tiong kok. Delusi dan dele gi ti masi demo - krasi dilakukan oleh ber - ba gai kelompok antara lain de - ngan mendorong kebangkitan militerisme dan amen - demen total UUD 1945.

Memajukan Demokrasi

Tidak hanya di Indonesia, di negara-negara yang maju se kalipun seperti Jerman, Ame ri ka Serikat, dan Inggris, de mo krasi tetaplah merupakan sis tem yang tak sempurna. Walau demikian, jika dilaksanakan dengan benar sesuai dengan nilai, norma, dan spirit pembentukannya, demokrasi me ru pakan sistem yang paling mung kin. Dalam kaidah usul fikih, mala yudraku kulluhu la yut raku kulluhu , sesuatu yang tidak bisa diterima semuanya janganlah dibuang seluruhnya. Karena itu yang niscaya dila kukan adalah memperkuat dan menyempurnakan demokrasi. We are at the point of no return .

Tidak ada alasan untuk surut. Ide dan gerakan menolak de mo - krasi adalah utopia yang lebih berpotensi membawa Indonesia pada kemunduran dan per - pecahan. Ada beberapa langkah yang perlu dilakukan untuk mem - per kuat demokrasi. Pertama, memperkuat partai politik se - ba gai institusi demokrasi. Re - gu lasi kepartaian perlu diubah. Sebagian mengusulkan agar anggaran negara untuk partai politik ditingkatkan sehingga bisa mengurangi politik uang. Fisibilitas ide ini memang kecil karena korupsi lebih banyak disebabkan faktor kultur. Ga - gas an mengubah sistem pemilu legislatif dan pemilukada ke arah koalisi yang relatif per ma - nen tampaknya perlu lebih se - rius dipertimbangkan.

Kedua, mendorong penguat - an masyarakat sipil dan ke kuat - an kelas menengah. Seiring de - ngan pertumbuhan ekonomi, jumlah middle income group te - rus meningkat. Sayangnya ke - lom pok tersebut belum tum - buh menjadi kekuatan kelas menengah. Bahkan di kalangan kelas menengah sendiri ter da - pat kontestasi antara kelompok kelas menengah yang mapan (rulis/established middle), kelas menengah yang terjerembab akibat demokrasi (falling middle class ), dan kelas menengah yang tengah bangkit (rising middle class ). Kelompok pertama dan kedua cenderung kurang su portif terhadap demokrasi. Agenda besarnya adalah bagaimana mendorong kelompok middle income menjadi kekuatan rising middle class .

Ketiga, menegakkan hukum dan memperkuat bangunan multikulturalisme. Demokrasi dan multikulturalisme adalah sepasang pranata yang saling menyempurnakan. Nilai-nilai toleransi, egalitarianisme, me - ri tokrasi, dan transparansi mele kat dalam demokrasi dan multikulturalisme. Pada tahap awal, hukum dan perundangan yang ditegakkan dengan adil bisa menjadi peranti hard pluralism yang membentuk ma syarakat multikultural secara eksternal. Untuk jangka panjang, perlu terus-menerus dipupuk budaya pluralisme melalui pe - nguatan Pancasila sebagai dasar negara. Agama dan ormas ke - agamaan dapat diperkuat se bagai lembaga yang meman du agar demokrasi tetap berada pa da jalan yang lurus di atas akhlak yang utama.
Demokrasi meniscayakan ruang terbuka di mana semua warga dapat berdialog dan menyampaikan aspirasi tanpa adanya ancaman. Selain itu diperlukan jiwa besar untuk saling berbagi kekuasaan (sharing power), akomodasi kebinekaan, dan komitmen kebangsaan bahwa kepen ting - an bangsa harus lebih dinomorsatukan di atas ambisi perseorangan dan golongan.

Dalam konteks inilah Halaqah Kebangsaan seperti yang telah dimulai oleh Muhammadiyah dapat diselenggarakan oleh organisasi yang lainnya. Demokrasi yang kuat adalah prasyarat utama kemajuan bangsa. Wallahu a’lam. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar