Minggu, 31 Desember 2017

Generasi Milenial, Toleransi, dan Globalisasi

Generasi Milenial, Toleransi, dan Globalisasi
Noory Okthariza ;  Peneliti di Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta
                                                    KOMPAS, 28 Desember 2017



                                                           
Generasi milenial kerap dikaitkan dengan penerimaan terhadap nilai-nilai keterbukaan dan toleransi. Mereka dianggap sebagai sebuah voting block dengan attitudes yang sama sekali berbeda dibandingkan dengan generasi lebih tua yang dianggap lebih konservatif dan intoleran.

Perbedaan nilai-nilai ini berangkat dari beberapa asumsi. Misalnya, anak-anak muda sekarang relatif memiliki pendidikan yang lebih baik dibandingkan dengan orangtua mereka. Faktor sosial media juga memberi pengaruh yang tidak kecil. Ribuan informasi di dunia maya membuat mereka belajar memfilter informasi secara mandiri.

Hal ini pada gilirannya dapat mengangkat kemampuan literasi mereka sejak dini; anak-anak muda dianggap mampu memilah informasi-informasi mana saja yang relevan dengan semangat generasi mereka.

Tetapi, seberapa akurat anggapan-anggapan di atas merepresentasikan kaum milenial di Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya menggunakan data survei terbaru Centre for Strategic and International Studies (CSIS) tentang persepsi generasi milenial di Indonesia. Survei ini mengambil total 600 responden berusia 17-29 tahun yang tersebar secara proporsional di 34 provinsi di Indonesia.

Tingkat keterbukaan generasi milenial

Untuk mengukur tingkat keterbukaan generasi milenial, salah satu pertanyaan yang diajukan adalah, ”Apakah Anda bisa menerima pemimpin yang berbeda agama dengan Anda?” Responden diminta menjawab ”bisa” atau ”tidak bisa” (mereka yang menjawab ”tidak tahu” saya keluarkan dalam analisis).

Hasilnya menunjukkan bahwa 58.02 persen anak muda menolak dipimpin oleh pemimpin di luar agama mereka.

Pertanyaan lain untuk menguji seberapa toleran kaum muda di Indonesia adalah sebagai berikut: ”Apakah Anda dapat menerima kehadiran kelompok LGBT?” Jika kita percaya bahwa kids zaman now adalah orang-orang yang toleran, kita bisa berharap mereka akan merespons secara positif pertanyaan tersebut.

Tetapi, data survei menunjukkan bahwa 78,92 persen dari mereka menyatakan ”tidak bisa menerima sama sekali” kelompok LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transjender). Sementara 15,86 persen berkata ”kurang menerima” dan hanya 3,96 persen dan 1,26 persen yang menyatakan ”cukup menerima” dan ”sangat menerima”.

Dua pertanyaan di atas boleh jadi terlalu sensitif menakar tingkat toleransi anak-anak muda karena ia terkait dengan standar moral yang berlaku umum di Indonesia. Untuk itu, di dalam survei ini kami juga menanyakan beberapa hal yang lebih netral, yakni terkait dengan attitudes generasi milenial terhadap globalisasi dan pasar bebas.

Hasilnya agak merisaukan. Mayoritas anak muda Indonesia percaya bahwa dampak negatif yang dibawa globalisasi dan pasar bebas adalah jauh lebih banyak dibandingkan dengan sisi positif yang bisa didapatkan.

Mayoritas anak muda percaya bahwa masuknya barang-barang dari luar negeri berdampak buruk bagi kepentingan Indonesia dan kepentingan mereka sendiri (padahal, mereka adalah kelompok pengguna gadget terbesar di negeri ini). Mereka juga yakin bahwa pasar bebas menyebabkan barang-barang Indonesia tidak bisa bersaing di mancanegara.

Selain itu, anak muda juga percaya bahwa  globalisasi adalah sumber merebaknya konsumerisme dan individualisme, melemahkan ajaran-ajaran agama, serta meruntuhkan rasa nasionalisme terhadap negara.

Pendidikan dan bias urban

Terhadap temuan tersebut, saya ingin menguji apa saja faktor-faktor umum yang menjelaskan persepsi negatif anak muda terhadap indikator-indikator keterbukaan, seperti yang dijelaskan di atas.

Kita bisa menyebut beberapa hipotesis. Misalnya, faktor penghasilan. Semakin tinggi penghasilan yang dimiliki seseorang, kita bisa berharap dia akan memiliki pandangan yang inklusif terhadap praktik-praktik toleransi dan globalisasi.

Selain itu, penting juga dicatat peran pendidikan dalam membentuk attitudes seseorang, akses terhadap media sosial, seperti Facebook dan Whatsapp, akses terhadap berita-berita di media daring, juga lokasi tempat seseorang tinggal (apakah di Jawa atau luar Jawa dan apakah tinggal di kota atau di desa).

Setelah semua variabel dikumpulkan, uji statistik menunjukkan bahwa ternyata faktor penghasilan, akses terhadap media sosial, akses terhadap media daring, dan tempat tinggal tidak bisa menjelaskan variasi-variasi sikap generasi milenial terhadap isu- isu toleransi dan globalisasi.

Khusus untuk media sosial, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa logika hubungan antara pengguna media sosial dengan tingkat literasi dan toleransi ternyata adalah sebuah ilusi. Tingginya pengguna media sosial di Indonesia ternyata tidak dibarengi dengan sikap positif terhadap isu-isu global dan praktik toleransi.

Dalam kaitannya dengan toleransi, satu-satunya penjelas akurat adalah pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, kecenderungan dia untuk bersikap terbuka dan toleran akan semakin tinggi. Temuan tentang pentingnya pendidikan ini tentu saja bukan hal baru. Pendidikan yang baik membuat seseorang makin bisa memilah dan mencerna informasi secara akurat di tengah- tengah timbunan informasi pada era digital.

Tetapi, persoalannya anak- anak muda yang mengenyam pendidikan tinggi ini masih terkonsentrasi di kota-kota besar saja. Di banyak tempat di negeri ini, sulitnya akses pendidikan tinggi masih menjadi isu krusial yang menghambat perkembangan sumber daya manusia.

Faktor pendidikan yang tidak merata ini pada gilirannya secara bias memengaruhi cara kita melihat generasi milenial di Indonesia. Adanya gap antara ekspektasi kita terhadap sikap generasi milenial yang toleran dan terbuka dengan kenyataan empiris, setidaknya yang dilihat dari survei CSIS, menjadi bukti bahwa bias urban telah memenuhi banyak percakapan tentang generasi ini.

Dari segi jumlah, memang anak-anak muda usia produktif ini terbilang besar. Akan tetapi, dari segi attitudes sosial-ekonomi, secara umum generasi milenial sebetulnya tidaklah begitu berbeda dibandingkan dengan kelompok usia lain. ●

1 komentar:

  1. ||Satu Akun semua jenis Game ||

    Game Populer:
    =>>Sabung Ayam S1288, SV388
    =>>Sportsbook,
    =>>Casino Online,
    =>>Togel Online,
    =>>Bola Tangkas
    =>>Slots Games, Tembak Ikan, Casino
    Permainan Judi online yang menggunakan uang asli dan mendapatkan uang Tunai
    || Online Membantu 24 Jam
    || 100% Bebas dari BOT
    || Kemudahan Melakukan Transaksi di Bank Besar Suluruh INDONESIA

    Pakai Pulsa Tanpa Potongan
    Juga Pakai(OVO, Dana, LinkAja, GoPay)
    Support Semua Bank Lokal & Daerah Indonesia

    WhastApp : 0852-2255-5128

    BalasHapus