Rabu, 15 September 2021

 

Ribetnya Jadi Kaum Toleran

Iqbal Aji Daryono ;  Penulis, Tinggal di Bantul

DETIKNEWS, 14 September 2021

 

 

                                                           

Hal-hal seperti ini tidak bakalan digubris oleh para pemegang kunci surga."

 

Saya tercenung membaca kalimat itu. Di hutan belantara obrolan lini masa, sebenarnya nada kalimat demikian ya biasa saja. Tapi yang saya hadapi kali ini adalah tulisan dari seorang peserta dalam satu program mentoring untuk kampanye kebhinnekaan, tempat saya memberikan pendampingan kreasi konten digital.

 

Maka, saya betul-betul merenungkan cita rasa dari kalimat tersebut. Para pemegang kunci surga. Hmmm, serasa ada yang tidak pas.

 

"Begini. Kita ini mengambil posisi idealis sebagai pengusung spirit toleransi," kata saya. "Tugas kita adalah mengajak orang untuk sama-sama memahami dan menerapkan spirit itu. Nah, apakah bisa semangat itu terbentuk kalau kita jalankan dengan cara menyerang? Apalagi serangan itu kita arahkan kepada keyakinan orang."

 

Saat kalimat terakhir lepas dari mulut saya, diam-diam saya merasa pandangan saya malah menabrak kabut. Segalanya jadi tidak benar-benar jernih.

 

Jadi, si peserta tadi ingin menulis tentang pengalaman pergaulan harmonisnya bersama para penganut keyakinan yang berbeda. Lalu ia bermaksud menyodorkannya sebagai referensi kehidupan yang mungkin tak pernah dimengerti oleh orang-orang yang maunya hanya bergaul dengan lingkungan yang satu keyakinan saja. Sementara, orang-orang eksklusif itu menjalankan sikap mereka karena yakin bahwa hanya kelompok mereka sajalah yang layak masuk surga.

 

Hasilnya, muncul kata-kata "para pemegang kunci surga" itu. Yang jadi kebingungan saya, bukankah keyakinan kelompok itu bahwa hanya mereka sendiri yang bisa masuk surga adalah memang bagian dari keyakinan mereka? Lalu karena kami ingin mengampanyekan toleransi, bukankah seharusnya juga mengampanyekan penghormatan atas keyakinan siapa saja?

 

Lah, kalau keyakinan orang yang kami hadapi itu adalah "cuma kami yang masuk surga", lalu atas dasar apa kami tidak menghormati keyakinan mereka? Atas dasar apa kami boleh sinis dengan menyebut mereka sebagai "pemegang kunci surga"?

 

Persoalannya, ketika mereka meyakini diri sendiri sebagai satu-satunya penggenggam kebenaran, bukankah otomatis mereka akan yakin bahwa golongan di luar diri mereka adalah salah? Simpelnya, mereka pun akan melihat kami sebagai kalangan yang masuk neraka. Dan, sebagai kaum toleran, kami wajib menghormati keyakinan mereka bahwa kami akan masuk neraka!

 

***

 

Menjadi toleran yang konsekuen itu ternyata memang tidak gampang. Kita dipaksa untuk toleran bahkan kepada orang yang tidak toleran kepada kita. Jika kita menolak bersikap toleran kepada orang yang tidak toleran kepada kita, otomatis kita sendiri sudah tak lagi toleran.

 

Pernah saya masuk ke sebuah grup yang judulnya pakai kata kebhinnekaan (tentu tanpa kepak sayap). Awalnya sih normal-normal saja. Tapi lambat laun sepertinya para penghuni grup gagal konsekuen dengan spirit toleransi itu. Ujung-ujungnya, mereka malah jatuh pada sikap mengejek-ejek ajaran berbagai agama. Jumud, bodoh, terbelakang, nggak bakalan maju, kata mereka.

 

Saya masih memaklumi kalau sejak awal mereka menyebut diri sebagai kelompok penjunjung sains, misalnya. Dengan landasan ideologis seperti itu, tentu nilai yang menggerakkan mereka adalah sains. Jadi, apa pun yang tidak sejalan dengan sains akan mereka serang. Termasuk agama.

 

Masalahnya, kalau pernyataan sikap awal mereka adalah penjunjung keberagaman, atas dasar apa mereka mengejek keyakinan orang, mau sekonyol apa pun keyakinan itu dalam pandangan mereka?

 

"Kalian ini mungkin bermaksud melawan bigot. Tapi cara kalian cuma another bigotry." Begitu kata saya, lalu pamit meninggalkan grup itu.

 

Ketika ada yang mengirim pesan lalu bertanya kenapa saya ngambek, saya mengutip Gus Dur. "Iman tidak dapat diadili." Mohon maaf kalau saya selip memori, tapi seingat saya Gus Dur mengatakan itu pada saat ribut-ribut kasus Lia Aminuddin. Ya, mau seperti apa pun, iman itu ya iman. Ia berada pada dimensi yang tidak-bisa-dan-tidak-perlu ditimbang dengan ukuran-ukuran di luar sistem keimanan itu.

 

Saya lalu teringat Eric Weiner di buku The Geography of Faith. Di situ Eric bercerita tentang Raelisme di Amerika. Itu agama berbasis UFO. Tuhan yang mereka yakini adalah sosok dari luar angkasa. Buku-buku religius para Raelian berjudul The Message Given by Extra-Terrestrials, Extra-Terrestrials Took Me to Their Planet, dan sebagainya. Mereka pun punya beberapa ajaran yang terdengar aneh, misalnya dengan perayaan Hari Telanjang dan menetapkan masturbasi sebagai bentuk kepasrahan suci.

 

Meskipun demikian, di Amerika, Raelisme tetap diakui sebagai satu bentuk iman. Bahkan pengakuan itu muncul secara formal. Buktinya, IRS (Dirjen Pajak-nya Amerika) tidak memungut pajak dari institusi Raelisme. Anda perlu tahu dulu, sebagai wujud dari sekularisme, lembaga agama tidak dipungut pajak di sana. Dan, sekonyol apa pun ajaran Raelisme, ia dihormati sebagai agama.

 

Saya juga ingat cerita sahabat saya yang bekerja di Samsat-nya Western Australia. Di sana, untuk pembuatan foto SIM, orang memang harus membuka wajahnya, tetapi untuk alasan iman penutup kepala tidak harus dibuka. Tentu saja dasarnya adalah penghormatan atas kebebasan beragama. Maka jilbab di SIM tidak masalah, turban yang dipakai orang-orang Sikh itu tidak masalah, bahkan topi rajut yang dipakai para penganut Rastafari juga tidak masalah.

 

Bagi banyak orang, sebagaimana Raelisme, Rastafari itu agama yang menggelikan. Itu agamanya Bob Marley, yang salah satu ritual sucinya adalah beramai-ramai mengisap ganja. Tapi tetap saja di Australia keyakinan yang terdengar konyol pun dihormati sebagai keyakinan.

 

Tapi ngomong-ngomong, apa itu kekonyolan? Bukankah konyol dan tidak konyol itu wilayah yang sangat relatif? Apalagi jika terkait agama-agama.

 

Agama berisi klaim kebenaran, fondasinya iman, iman adalah keyakinan, dan keyakinan tidak terikat mutlak kepada hukum-hukum akal rasional. Secara umum, sesuatu tampak konyol karena dianggap tidak rasional. Dan barangkali setiap orang di luar sebuah sistem kepercayaan pada suatu agama akan melihat pernak-pernik ajaran agama itu sebagai kekonyolan, bukan?

 

Ringkasnya, setiap penganut agama mungkin akan melihat agama lain konyol, dan cuma agamanya sendiri yang tidak konyol. Begitu, bukan? Atau saya keliru?

 

***

 

Hari ini, peristiwa dengan pola masalah yang sama muncul lagi. Ada video viral yang menggambarkan para santri sebuah sekolah agama datang ke lokasi vaksinasi, dan mereka duduk berderet-deret. Pose mereka begitu memancing perhatian. Ya, mereka beramai-ramai menutup telinga, karena di ruang tunggu vaksin itu ada musik yang diputar oleh penyelenggara acara.

 

Mudah ditebak, mereka dari sekolah muslim yang mengharamkan musik. Atau lebih spesifik lagi, para santri itu penghafal kitab suci, dan mereka meyakini bahwa mendengarkan musik-musik duniawi akan merusak hafalan mereka.

 

Lalu banyak orang tertawa. Banyak orang bilang anak-anak itu salah didikan. Banyak suara mengejek sambil secara tersirat mengatakan bahwa sikap para santri itu konyol.

 

Saya sendiri seorang muslim, dan saya tidak mengharamkan musik. Jujur saja, dari versi ajaran yang saya ikuti, dalam hati saya berkata bahwa sikap para santri itu konyol. Tetapi, sebagai orang yang mengaku toleran, atas dasar apa saya mengejek secara terbuka bahwa mereka konyol? Bukankah itu memang keyakinan mereka, keyakinan tidak dapat diadili, dan sepanjang tidak merusak harmoni sosial, maka setiap keyakinan berhak untuk dihormati?

 

Ah, jadi kaum toleran memang tidak gampang. Jauh lebih gampang menjadi penentang bigot, meski lagi-lagi yang dijalankan tak lebih dari sekadar another bigotry. ●

 

Sumber :  https://news.detik.com/kolom/d-5723889/ribetnya-jadi-kaum-toleran

 

 

Majelis, Kembalikan Kedaulatan Rakyat!

Anthony Budiawan ;  Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

WATYUTINK, 14 September 2021

 

 

                                                           

Saya bermimpi, masih berada di dalam ruang pertemuan persiapan Kemerdekaan Indonesia. Terdengar seorang tokoh bangsa mengatakan dengan keras, bahwa Indonesia berdiri atas perjuangan rakyat dari seluruh daerah. Indonesia bukan milik sekelompok orang, tetapi milik seluruh rakyat daerah yang menyerahkan kedaulatan daerahnya untuk bergabung dengan negara Indonesia yang baru akan kita bentuk.

Oleh karena itu, masa depan bangsa dan negara ini harus ditentukan melalui perwakilan rakyat yang terdiri dari seluruh daerah dan golongan di bawah pimpinan hikmah-kebijaksanaan yang bermusyawarah atau berkumpul dalam persidangan (Yamin).

Badan perwakilan rakyat dari daerah dan golongan tersebut membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR yang memegang kekuasaan negara tertinggi.

Artinya, MPR yang merupakan perwakilan rakyat dari segala golongan dan daerah menentukan masa depan Indonesia, masa depan seluruh daerah Indonesia, secara musyawarah.

Untuk itu, MPR mempunyai tiga tugas pokok yang sangat mulia.

Pertama, MPR membuat Garis Besar Haluan Negara yang memuat berbagai kebijakan yang perlu diambil untuk mencapai cita-cita dan tujuan kemerdekaan Indonesia, yaitu merdeka (freedom), bersatu, daulat, adil dan makmur, berdasarkan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan, mencerdaskan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kedua, MPR mengangkat Presiden (sebagai mandataris MPR) untuk menjalankan  tugas negara dan tugas pemerintahan berdasarkan ketetapan GBHN.

Ketiga, MPR memantau dan mengevaluasi Presiden apakah sudah melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketetapan GBHN, melalui pertanggungjawaban Presiden pada akhir masa jabatan. Selain itu, MPR juga mempunyai kekuasaan untuk memberhentikan Presiden apabila dinilai tidak layak atau membahayakan negara.

Tetapi, bagaimana kalau para wakil rakyat di MPR tidak menjalankan tugasnya untuk kepentingan rakyat, tanya seorang peserta rapat.

Seperti sudah saya jelaskan, bahwa MPR harus dipimpin di bawah hikmah-kebijaksanaan. Oleh karena itu kita tegaskan dalam sila keempat Pancasila, yaitu: Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah-Kebijaksanaan dalamPermusyawaratan/ Perwakilan. Dengan demikian, kita terus mengingatkan para wakil rakyat agar memimpin Indonesia secara hikmah-kebijaksanaan.

Pemimpin di bawah Hikmah akan menghasilkan pemikiran baik dan menghindari pemikiran buruk. Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan wakil rakyat yang mempunyai pengetahuan dan kemampuan untuk malaksanakannya, jelasnya lagi.

Kemudian saya tergelitik untuk bertanya. Di dalam mimpi, saya kemukakan bahwa setelah 76 tahun merdeka ternyata hasilnya tidak sesuai dengan yang direncanakan pada tahun 1945.

Konstitusi Indonesia sejak amandemen 1999-2002 sudah berubah. MPR sekarang bukan lagi perwakilan daerah dan golongan yang bermusyawarah menentukan masa depan negara. MPR bahkan secara sukarela menyerahkan kekuasaannya dalam memilih Presiden menjadi pemilihan secara langsung.

Dampaknya, menurut pengamatan saya, lanjut saya cukup berapi-api, Indonesia kini dikuasai para pemilik modal yang mendanai pemilihan langsung ini, tentu saja bersama-sama dengan kekuatan partai politik. Karena pencalonan anggota wakil rakyat dan presiden harus melalui partai politik. Mereka yang menentukan segalanya, dibiayai oleh pemilik modal.

Setelah pemilu selesai mereka tinggal mengatur membagi-bagi “rejeki”. Bahkan ada yang berkata ekstrim, mereka mengatur “perampokan” atas negeri ini, melalui penerbitan undang-undang yang menguntungkan pada pemilik modal.

Seorang tokoh bangsa menjawab. Yang dilakukan para wakil rakyat itu merupakan pengkhianatan kepada daerah dan kepada seluruh rakyat Indonesia. Itu jelas. Tidak dapat dibantah. Kami berjuang untuk kesejahteraan dan kebebasan seluruh rakyat Indonesia. Bukan untuk para pengkhianat tersebut. Saya termenung!

Sejarah menunjukkan bahwa pengkhianatan atau penindasan kepada rakyat adalah hal yang dapat terjadi. Dan bersamaan itu juga, rakyat akan bangkit, pasti bangkit, melakukan perlawanan atas penindasan. Dan semua itu adalah sah. Perlawanan kepada penjajah adalah sah. Begitu juga perlawanan kepada penindas rakyat juga sah. Misalnya Revolusi Amerika atau Revolusi Perancis, keduanya sah menurut sejarah.

Jadi sebaiknya penguasa politik di Indonesia waspada untuk itu. Jangan jadi pengkhianat rakyat. Kembalikan Kedaulatan kepada Rakyat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Kita tidak mau politik di Indonesia berakhir seperti Raja Louis ke XVI yang harus berakhir di Guillotine pertama di Perancis: killing no murder. ●

 

Sumber :  https://www.watyutink.com/topik/berpikir-merdeka/Majelis-Kembalikan-Kedaulatan-Rakyat

 

 

Pola Pemikiran dan Pengabdian MUI

Masykuri Abdillah ;  Guru Besar UIN Jakarta

KOMPAS, 14 September 2021

 

 

                                                           

Majelis Ulama Indonesia (MUI) lahir ketika hubungan antara pemerintah dan umat Islam pada awal dekade 1970-an kurang harmonis, terutama karena adanya kebijakan de-ideologisasi politik. Waktu itu di lingkungan umat Islam belum ada wadah yang bisa mewakili dan menyatukan ulama, zuama (tokoh), dan organisasi-organisasi Islam. Pemerintah yang waktu itu merasa kesulitan untuk berkomunikasi dengan berbagai organisasi kemudian mendorong berdirinya MUI pada 26 Juli 1975 sebagai ikhtiar untuk membangun komunikasi yang efektif antara pemerintah dan umat Islam.

 

Fungsi MUI kemudian disebutkan dalam Pasal 4 Pedoman Dasarnya, Pertama, MUI berfungsi sebagai wadah musyawarah para ulama, zuama, dan cendekiawan Muslim dalam mengayomi umat dan mengembangkan kehidupan yang Islami. Kedua, MUI berfungsi sebagai wadah silaturahmi para ulama, zuama, dan cendekiawan Muslim untuk mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam dan menggalang ukhuwah Islamiyah. Ketiga, MUI berfungsi sebagai wadah yang mewakili umat Islam dalam hubungan dan konsultasi antarumat beragama. Keempat, MUI berfungsi sebagai pemberi fatwa kepada umat Islam dan pemerintah, baik diminta maupun tidak diminta.

 

Eksistensi MUI

 

Pada masa-masa awal berdirinya, MUI dinilai kurang independen dan dianggap sebagai perpanjangan kepentingan pemerintah. Karena adanya anggapan ini,  pimpinan MUI pun berusaha untuk menunjukkan independensinya serta perannya dalam memperjuangkan aspirasi umat Islam dan sekaligus memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

 

Upaya-upaya tersebut telah meningkatkan kepercayaan umat. Menurut hasil survei tentang lembaga paling dipercaya publik yang dilaksanakan Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2018, MUI merupakan lembaga nonpemerintah yang paling dipercaya masyarakat dengan nilai 73 persen.

 

Meski sejak berdiri MUI merupakan organisasi nonpemerintah, masih ada yang memanggap MUI adalah lembaga pemerintah atau semi-pemerintah seperti halnya lembaga fatwa (mufti) yang terdapat di sebagian besar negara Muslim. Kedudukan MUI yang demikian ini sebenarnya sangat positif karena fatwa, pemikiran, dan kontrol sosial atau kristisime MUI bisa lebih independen daripada jika organisasi ini merupakan lembaga pemerintah. MUI menyatakan dirinya sebagai pelayan umat (khâdimul ummah) dan mitra pemerintah (shadîqul hukûmah atau syarîkul hukûmah).

 

Dalam melakukan peran tersebut, MUI dihadapkan pada berbagai permasalahan, baik yang terkait dengan persoalan keagamaan, keumatan, kemasyarakatan, maupun kenegaraan dan kemanusiaan. Permasalahan ini pun adakalanya merupakan dinamika masyarakat yang semakin maju dan modern (societal problems), dan adakalanya merupakan permasalahan sosial yang menyimpang dari kondisi normal atau ideal (social problems). Di antara permasalahan ini ada pula yang merupakan bencana, baik bencana sosial seperti konflik sosial dan terorisme, bencana alam seperti banjir dan gempa bumi, maupun bencana non-alam seperti pandemi Covid-19.

 

MUI dituntut untuk merespons permasalah-permasalahan tersebut dan memberikan jawaban solutif terhadapnya, baik dalam bentuk fatwa, pikiran-pikiran konstruktif, maupun dalam bentuk tindakan nyata, terutama sertifikasi halal makanan dan keuangan syariah. Hal ini kemudian melahirkan penilaian oleh sebagian pengamat bahwa MUI cenderung menjadi ”ormas super” atau lembaga monopoli otoritas dalam hal fatwa dan sertifikasi halal.

 

Selain penilaian tersebut, kini masih ada pihak-pihak yang melihat eksistensi MUI secara kritis. Kelompok tertentu menganggap MUI sebagai lembaga yang cenderung ”fundamentalis”, seperti fatwa MUI tentang Ahmadiyah sebagai aliran sesat dan fatwa haram terhadap pluralisme dan liberalisme agama. Sebaliknya, ada juga yang menganggap MUI sebagai lembaga yang hanya mengikuti keinginan pemerintah dan kelompok liberal atau pihak asing, seperti dukungan terhadap penanggulangan radikalisme dan terorisme.

 

Kritik tersebut sebenarnya bisa juga berarti bahwa pemikiran dan langkah MUI adalah moderat. Dalam kenyataannya, MUI tidak memasukkan ormas radikal dalam kepengurusannya.

 

Untuk menunjukkan moderasinya, di usianya yang ke-46 ini, MUI memandang perlu untuk merumuskan konsep tentang Metode Pemikiran dan Pengabdian (Manhajul Fikri wal Khidmah) MUI, yang telah diputuskan dalam Mukernas MUI pada 26 Agustus 2021. Sebenarnya konsep ini merupakan rumusan terhadap kebijakan dan praktik organisasi yang sudah dilakukan selama ini, yang dasar-dasarnya sudah dirumuskan dalam konsep Wawasan MUI.

 

Pola pemikiran

 

Perkembangan dunia yang semakin modern pada saat ini telah memunculkan dua fenomena dalam memahamai ajaran agama di kalangan umat Islam. Di satu sisi muncul pemahaman yang cenderung berlebihan (ghuluww), memberatkan (tasyaddud), dan bahkan ekstrem (tatharruf), yang kemudian juga disebut ”konservatif” atau ”fundamentalis”. Di sisi lain, muncul pula kecenderungan sebagian tokoh dan intelektual Muslim yang memahami Islam secara liberal dengan menggunakan logika mereka sendiri.

 

Kedua kecenderungan tersebut terjadi karena mereka tidak menggunakan metodologi standar (mu’tabar) dalam memahami ajaran-ajaran Islam. Kecenderung kelompok pertama terjadi terutama disebabkan oleh pemahaman teks-teks Al Quran dan hadis secara literal, tanpa melihat konteks kalimat, konteks turunnya (asbâb al-nuzûl) ayat dan konteks munculnya (asbâbul wurûd) hadits, serta tujuan syariah (maqâshid al-syarî’ah). Sedangkan kelompok kedua terjadi karena keinginan seseorang untuk mencocokkan ajaran-ajaran dengan budaya dan logika masyarakat modern yang cenderung liberal.

 

Dengan Manhajul Fikri tersebut, tampak sekali MUI ingin menunjukkan jati diri pemikirannya yang kontekstual dan solutif terhadap perkembangan zaman dan permasalahannya tetapi masih tetap merujuk kepada Al Quran dan hadis. Metode yang dimaksud meliputi pendekatan-pendekatan: manhajiyyah (metodologis), wasathiyyah (moderat), tathawwuriyyah (dinamis), ishlâhiyyah (reformatif), dan tasâmuhiyyah (toleran).

 

Pendekatan manhajiyah menunjukkan bahwa pemahaman MUI terhadap teks-teks agama serta respons terhadap persoalan-persoalan baru yang tidak terdapat dalam teks dilakukan dengan metode yang diakui oleh mayoritas ulama ahlussunnah wal jama’ah, yakni ’ulumul Quran, ’ulumul hadits, dan ushul fiqh. Dengan demikian, pemahaman MUI tidak hanya secara literal saja, yang dalam beberapa hal bisa menimbulkan pengertian yang menyesatkan, seperti pemahaman tentang jihad perang secara ofensif dan kekerasan atas nama agama.

Dengan pendekatan wasathiyyah atau tawassuthiyyah tersebut MUI bisa menerima NKRI sebagai konsensus nasional (mîthaq wathanî), yang telah disepekati oleh bapak pendiri bangsa yang di antara mereka adalah ulama. Legitimasi terhadap NKRI ini didasarkan pada QS Al-Nisa’: 90 dan praktik nabi di masa-masa awal kedatangannya di Madinah yang melakukan kesepakatan atau perjanjian dengan kelompok-kelompok sosial yang ada dalam bentuk Piagam Madinah (Mîthaq al-Madînah).

 

Kemudian, dengan pendekatan tathawwuriyyah tersebut, MUI juga bisa merespons perkembangan iptek dan modernitas beserta sistem yang dilahirkan oleh modernitas, seperti demokrasi, hak asasi manusia, kesetaraan, kemajemukan, dan sebagainya. Sementara itu, dengan pendekatan ishlâhiyyah, pemikiran MUI berorientasi untuk melakukan reformasi atau pembaruan (tajdîd) demi kemajuan umat dan bangsa.

 

Adapun dengan pendekatan tasâmuhiyyah, MUI menghargai atau menoleransi (tasâmuh) terhadap perbedaan pendapat dalam hal-hal yang bersifat furû’iyyah (bukan masalah pokok). MUI menolak pemikiran-pemikiran yang absolutis, yang dengan mudah menganggap kelompok lain sebagai bid’ah (tabdî’), sesat (tadhlîl), syirik (tasyrîk), atau bahkan kafir (takfîr). Hanya saja, MUI tetap memegang prinsip bahwa aliran yang bertentangan dengan ajaran-ajaran yang bersifat fundamental (rukun iman dan rukun Islam) tidak bisa dianggap sebagai Islam.

 

MUI juga mendukung perlunya toleransi terhadap perbedaan agama, ras, dan suku, yang dalam konteks kehidupan masyarakat dan negara memiliki hak dan kewajiban yang sama. Demikian pula, MUI juga menghargai perbedaan dalam bidang politik, baik dalam hal pilihan partai politik maupun pilihan kandidat dalam pemilu atau pilkada.

 

Pola pengabdian

 

Sebagai organisasi Islam di Indonesia, MUI memiliki orientasi keislaman dan keindonesiaan. Untuk itu, aktivitas pengabdiannya pun dilakukan dalam rangka perlindungan dan penguatan agama, umat, bangsa, dan negara. Tentu saja, pengabdian ini tidak lepas juga dari permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dan bangsa Indonesia, bahkan masyarakat dunia, seperti persoalan kemiskinan, kekerasan, konflik, ekstremisme, dan sebagainya. Sebagai organisasi wadah ulama, zuama, dan ormas Islam, MUI mempunyai peran kordinatif (tansîq) terhadap program-program ormas, baik di bidang agama, sosial budaya, ekonomi, maupun politik dan hukum.

 

Perlindungan agama (himâyah al-dîn) dilakukan antara lain dengan pendalaman dan pengembangan ilmu-ilmu agama dan pemahamannya secara benar, termasuk penolakan terhadap pemahaman secara ekstrem atau liberal. MUI juga berusaha untuk menjaga eksistensi agama dalam kehidupan masyarakat dan negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

 

Adapun perlindungan umat (himâyah al-ummah) dilakukan melalui upaya-upaya peningkatan ketakwaan dan kepemilikan akhlak (etika-moral) serta pendidikan dan kesejahteraan umat. Selain itu, perlindungan umat dilakukan dengan memberikan sertifikasi jaminan akan kehalalan makanan dan kegiatan perekonomian.

 

Perlindungan atau bela negara (himâyah al-daulah) saat ini terutama dilakukan dengan pemberian legitimasi teologis kepada NKRI sebagai negara kesepakatan (darul mitsaq) sehingga umat dituntut menjaga dan memperkuat negara ini dari ancaman ideologi-ideologi di luar ideologi Pancasila. Hal ini diperkuat dengan kenyataan historis, bahwa para ulama dan tokoh Islam juga terlibat dalam perdebatan dalam sidang-sidang BPUPKI pada tahun 1945, yang memutuskan Pancasila sebagai dasar negara.

 

Bentuk pengabdian MUI tidak lepas dari permasalahan yang dihadapi umat dan bangsa pada saat ini. Pimpinan MUI menyadari betul bahwa kini terjadi keterbelahan masyarakat, terutama sebagai ekses Pemilu 2019 yang disertai dengan penyebaran berita-berita hoaks dan provokasi serta caci maki terhadap kelompok lain. Bahkan, sebagian umat beragama pun ada yang gemar mencaci maki agama lain.

 

Sementara di kalangan umat Islam kini masih terdapat kelompok ekstrem yang melakukan kekerasan dan teror, terutama Jemaah Islamiyah (JI) yang berideologi Al Qaeda, Jamaah Ansharud Daulah (JAD) yang berideologi ISIS, dan Negara Islam Indonesia (NII) yang merupakan kelanjutan dari gerakan DI/TII. Selain itu, kini masih ada pihak tertentu yang ingin mendirikan negara Islam atau negara khilafah dan menganggap bahwa NKRI tidak sesuai dengan Islam.

 

Oleh karena itu, MUI di semua tingkatan dituntut untuk mengimplementasikan pola pemikiran dan pengabdian di atas. Dalam hal ini, terdapat empat hal penting yang memerlukan keterlibatan aktif MUI. Pertama adalah penguatan negara (taqwiyah al-daulah) dengan menegaskan bahwa NKRI adalah sejalan dengan ajaran Islam yang dipahamai secara moderat (wasathiyyah), dan bahwa kekerasan atas nama agama adalah bertentangan dengan ajaran Islam. Kedua adalah penguatan kerukunan dan persatuan, terutama dalam bentuk internalisasi dan pembudayaan nilai-nilai persaudaraan umat Islam (ukhuwwah Islâmiyyah), persaudaraan nasional (ukhuwwah watahniyyah), dan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwwah insâniyyah).

 

Ketiga adalah penguatan akhlak melalui internalisasi dan pembudayaan nilai-nilai kejujuran dan tanggung jawab (amânah) sehingga bangsa ini bisa terlepas dari tindak penipuan dan korupsi serta penyalahgunaan kekuasaan. Keempat, peningkatan kualitas dan taraf hidup umat melalui pendidikan dan pemberdayaan ekonomi umat.

 

Sebagai tenda besar ormas Islam, MUI diharapkan bisa melakukan koordinasi terhadap program-program pengabdian yang dilakukan oleh ormas-ormas Islam sehingga mereka bisa bekerja sama dengan pemerintah dan organisasi-organisasi nonpemerintah lainnya dalam mewujudkan Indonesia yang maju, adil, dan makmur, yang tetap menjunjung tinggi nilai-nilai agama. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/14/pola-pemikiran-dan-pengabdian-mui/

 

 

Mengurai Diskriminasi Terlembagakan terhadap Ahmadiyah

Nabhan Aiqani ;  Peneliti Setara Institute

KOMPAS, 14 September 2021

 

 

                                                           

Riuh kasus penyerangan kelompok orang yang menyatakan diri sebagai Aliansi Melayu dan POM ke masjid Ahmadiyah di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Jumat, 3 September 2021, menyeret berbagai regulasi dan kebijakan untuk muncul ke permukaan. Peristiwa ini merupakan buntut dari keluarnya Surat Edaran Bupati Sintang tanggal 29 April 2021 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Pengurus Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat di Kabupaten Sintang yang disusul dengan penyegelan masjid pada 14 Agustus 2021.

 

Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung (SKB 3 Menteri) Nomor 3 Tahun 2008 dianggap sebagai dalih dan alas hak bagi sekelompok orang untuk melakukan aksi represif kepada kelompok Ahmadiyah. Kebijakan yang sejatinya bersumber dari pusat tak ayal menjadi dasar bagi pemerintah daerah untuk menerbitkan peraturan turunan serupa. Karena itu, acap kali dikapitalisasi sebagai bentuk pembenaran atas aksi represif dan penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah.

 

Tiga tahun sebelum terbitnya SKB 3 menteri, meletus peristiwa Parung, Bogor, yakni aksi penyerangan yang dilakukan sekelompok orang terhadap kegiatan Jalsah Salanah (pertemuan tahunan) di Kampus Ahmadiyah. Peristiwa ini pula yang kemudian menginspirasi terbitnya SKB 3 menteri akibat dari desakan berbagai pihak.

 

Pasca-SKB tahun 2008, situasi tidak lantas stabil, serangan dan persekusi terhadap Ahmadiyah masih saja terjadi. Temuan laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) Setara Institute tahun 2008 menunjukkan bahwa tingkat intoleransi justu meruncing. Dari total 367 tindakan intoleransi di tahun 2008, lebih dari setengah pelanggaran tersebut sebagian besar menyasar jemaah Ahmadiyah.

 

Serangan paling fenomenal dan menyisakan trauma mendalam adalah penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Banten pada tahun 2011. Lima orang terluka dan tiga orang terbunuh saat menghadapi serangan ratusan massa yang dikobarkan kebencian karena berbeda pandang dalam hidup beragama.

 

Tidak berhenti pada peristiwa tersebut, pemerintah daerah menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 12 Tahun 2011 tentang Larangan Ajaran Ahmadiyah di Provinsi Jawa Barat. Ini semakin menyandera eksistensi dan membuka peluang persekusi terhadap jemaah Ahmadiyah.

 

Bisa dikatakan, rentetan peristiwa yang menyasar kelompok Ahmadiyah merupakan akar dari amburadulnya tata regulasi dan kebijakan. Setara Institute mencatat total ada 35 produk hukum dan kebijakan, baik dari tingkat pemerintahan pusat hingga daerah yang menyasar dan berpotensi mengangkangi hak dasar jemaah Ahmadiyah untuk memperoleh perlindungan sebagai warga negara. Praktis, produk hukum yang diterbitkan bermuara pada aksi ”diskriminasi yang terlembagakan”.

 

Menilik SKB

 

Sejatinya poin dalam SKB 3 menteri tidak berbicara tentang keberadaan Ahmadiyah sebagai aliran yang sesat. SKB tidak lantas menihilkan keberadaan dan eksistensi JAI sebagai salah satu kelompok yang diakui secara sah sebagai organisasi masyarakat.

 

Poin penting dalam SKB ini menyoroti tentang peringatan dan perlindungan. Peringatan bersifat kepada internal Ahmadiyah untuk tidak menyebarkan ajaran dan kegiatan keagamaan. Sementara masyarakat umum, diminta untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus JAI.

 

Namun, keberadaan SKB ini sering didistorsi dan disandarkan pada fatwa MUI tahun 2005 yang menyatakan Ahmadiyah adalah sesat. Karena itu, produk hukum SKB dapat dikapitalisasi oleh sekelompok orang untuk membenarkan aksi persekusi dan penyerangan yang mereka lakukan terhadap kelompok Ahmadiyah.

 

Di sisi lain, tafsiran-tafsiran dalam poin SKB 3 menteri sangat luwes dan mudah sekali ditemukan celah untuk pembenaran terhadap persekusi. Misalnya, SKB hanya menjelaskan tentang peringatan untuk tidak menyebarkan ajaran dan kegiatan Ahmadiyah, tetapi tidak jelas batasan yang dimaksud untuk kedua aktivitas tersebut.

 

Logikanya ketika jemaah Ahmadiyah membangun masjid dan hidup menghimpun di suatu daerah, bukankah itu berarti mereka menjalankan praktik keagamaannya di lingkup internal mereka sendiri. Ini juga menjadi cara untuk menutup peluang penyebaran ajaran di luar dari kelompok mereka. Karena masyarakat akan lebih mudah mengidentifikasi bahwa di daerah tersebut ada komunitas Ahmadiyah, selanjutnya tergantung apakah orang itu mau ikut bergabung dan mempelajari atau justru memilih tidak bergabung, sesuai dengan amanat SKB untuk melarang penyebaran ajaran.

 

Faktanya yang terjadi justru semakin banyak aksi perusakan, penyegelan, dan pelarangan pembangunan masjid Ahmadiyah. Praktik-praktik pelarangan tentu sangat bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, khususnya Pasal 29 Ayat (2) yang menegaskan bahwa ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing”.

 

Hak beragama dan berkeyakinan

 

Pada prinsipnya hubungan antara manusia dan Tuhan-nya bersifat imanen. Semua akan sangat subyektif ketika dilihat secara parsial dan fanatis. Dua sikap inilah yang akan bermuara pada paham radikal. Padahal, pemahaman tentang radikalisme seharusnya mesti didekonstruksi.

 

Pendapat filsuf Slavoj Zizek dapat dijadikan rujukan dalam mengartikan radikalisme itu seperti apa. Menurut dia, apabila seseorang telah berpikir radikal (fundamental), ia tidak akan merasa terancam dengan kehidupan pihak atau kelompok lainnya. Lanjutnya lagi, paham radikal diandaikan telah mendapatkan kebenaran sejati sehingga tidak perlu khawatir dengan pemahaman dan keyakinan kelompok lainnya.

 

Memang, Indonesia bukan negara sekuler terbuka layaknya Perancis, Turki, dan negara Eropa lainnya. Tapi dengan memberi batasan dan perlindungan terhadap kelompok-kelompok yang mengalami subversi atas dasar keyakinan bahkan menjurus pada praktik diskriminasi yang terlembagakan, sudah seharusnya menjadi tugas bersama. Menerbitkan produk hukum tidak bisa menjadi satu-satunya solusi untuk menciptakan tatanan yang baik di masyarakat. Bukankah hukum itu dibentuk dari fakta di masyarakat (das seins). Dengan demikian, sudah sewajarnya produk hukum SKB 3 menteri mesti dikaji dan di-review ulang sesuai dengan konteks terkini. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/14/mengurai-diskriminasi-terlembagakan-terhadap-ahmadiyah/

 

 

Jangan Sampai RS Kewalahan Lagi

Tjandra Yoga Aditama ;  Guru Besar FKUI, Direktur Pascasarjana Universitas YARSI, Mantan Direktur WHO Asia Tenggara, dan Mantan Dirjen P2P & Ka Balitbangkes

MEDIA INDONESIA, 14 September 2021

 

 

                                                           

DALAM dua-tiga bulan yang lalu, kita mengalami kenaikan kasus covid-19 yang amat tajam. Ketika itu rumah sakit (RS) amat kewalahan. Bukan hanya tempat tidur perawatan yang tidak tersedia. Instalasi gawat darurat (IGD) pun amat penuh, dan pasien harus daftar serta antre untuk hanya dapat masuk IGD. Tak jarang pasien yang akhirnya tidak dapat dirawat di IGD dan/atau RS sama sekali, dan sebagian dengan sedih bahkan sampai meninggal tanpa mendapat perawatan kesehatan yang memadai.

 

Kita bersyukur bahwa sekarang angka kasus sudah amat menurun. Meski demikian, kita harus tetap waspada. Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa mungkin saja keadaan yang dianggap sudah landai kemudian bergejolak kembali, dan kasus meningkat tajam kembali. Untuk kewaspadaan dan antisipasi hal itu, maka baik kita belajar dari apa yang terjadi di berbagai RS ketika kasus sedang amat tinggi-tingginya. Kita harus mengambil pelajaran dari keadaan itu dan mempersiapkan diri lebih baik.  

 

Bahan pelajaran 

 

Sedikitnya ada lima hal yang dapat dijadikan bahan pelajaran atau lesson learned di rumah sakit. Pertama, kenaikan kasus bulan Juni-Juli yang lalu sebenarnya sudah dapat dilihat tren kecenderungannya. Jumlah kasus baru covid-19 pada 15 Mei 2021 ialah 2.385 orang, lalu naik sekitar dua kali lipat menjadi 5. 662 pada 31 Mei. Pertengahan Juni sudah lebih dari 10.000, dan lalu naik lagi jadi 21.807 pada 30 Juni, dan baru pada 3 Juli 2021 dinyatakan sebagai PPKM darurat, dengan kasus baru sudah naik lebih 10 kali lipat menjadi 27.913. Rumah sakit sudah telanjur kewalahan.

 

Jadi, pelajaran pertama yang dapat kita ambil ialah, kalau memang ada kenaikan kasus lagi maka jangan tunggu sampai 10 kali lipat melonjak. Mungkin dua atau tiga kali, atau maksimal peningkatan lima kali lipat, maka pembatasan sosial harus sudah amat diketatkan lagi. Dengan begitu, kasus tidak meningkat tidak terkendali.

 

Hal kedua, pada waktu RS sudah penuh, maka ada kebijakan menambah tempat tidur untuk menekan angka perawatan (bed occupancy rate/ BOD) covid-19. Memang, dengan menambah tempat tidur maka BOR akan turun, tetapi teman-teman di RS akan amat kewalahan kalau penambahan tempat tidur ini tidak diimbangi dengan penambahan petugas serta alat kesehatan yang diperlukan.

 

Jadi, pelajaran kedua yang dapat diambil ialah bahwa sejak sekarang disiapkan dari mana petugas kesehatan yang siap diterjunkan kalau-kalau nanti beberapa RS harus ditingkatkan jumlah tempat tidurnya. Juga, harus sejak sekarang disusun sistem agar kalau ada kenaikan kasus maka ventilator dan oksigen tersedia. Demikian juga alat kesehatan lain dan obat-obat yang diperlukan.

 

Hal ketiga yang pernah amat jadi masalah dalam beberapa bulan yang lalu ini ialah sistem rujukan dan informasinya yang tidak tertata optimal. Pasien harus jalan sendiri ke berbagai RS untuk mencoba mendapat perawatan. Sementara itu, kalau ada pasien yang harus dirujuk dari satu RS ke RS lainnya maka harus menunggu lama dan kadang-kadang tidak ada kepastiannya.

 

Untuk ini, pelajaran ketiga yang dapat diambil ialah memperbaiki sistem rujukan, baik yang Sisrute (Sistem Informasi Rujukan Terintegrasi) atau sistem lainnya. Perlu dilakukan pembenahan sistem elektronik dan digitalnya, juga perlu lebih banyak petugas khusus yang menangani hal sensitif dan penting ini.

 

Yang juga cukup banyak dikeluhkan rumah sakit ialah keterlambatan pembayaran klaim, juga rumitnya sistem untuk mendapatkannya. Di sisi lain, ada juga pendapat bahwa klaim siap dibayarkan, tapi kelengkapan data tidaklah dimasukkan dengan baik. Karena itu, pelajaran keempat yang dapat dipetik ialah menyelesaikan kemelut klaim pembayaran ini dengan tiga cara. Pertama, perlu dibuat prosedur yang lebih mudah bagi RS yang memang sedang sangat sibuk menyelamatkan nyawa manusia.

 

Kedua, harus dibangun pola komunikasi intensif antara yang harus membayar dan pihak manajemen RS, juga para tenaga kesehatan. Hal ketiga, memang mesti ada sistem penganggaran, khusus di saat krisis, harus cukup luwes untuk dapat membayar kebutuhan, tapi juga cukup ketat untuk mencegah penyalahgunaan.

 

Hal kelima ialah tentang perlindungan tenaga kesehatan. Sudah amat banyak korban yang jatuh, baik dokter, perawat, maupun tenaga lain di rumah sakit. Tegasnya, pelajaran kelima yang harus dipetik ialah bagaimana tenaga kesehatan dapat menjalankan tugasnya di RS dengan aman. Selain menjadi sakit atau meninggal, maka tenaga kesehatan juga dibebani hal lain. Ada yang diusir dari rumah indekosnya, ada yang dikucilkan tetangga, dipukul keluarga pasien, dll.

 

Untuk hal ini, ada tiga hal yang harus dipastikan di masa depan. Pertama, beban kerja yang tidak terlalu berlebihan. Kedua, alat pelindung diri yang memadai. Adapun yang ketiga, perlindungan hukum bagi petugas kesehatan.

 

Selain kelima hal di atas, maka yang paling penting tentu menangani masalah dari hulunya, yaitu pembatasan sosial baik berupa 3M, 5M maupun PPKM, juga penerapan 3T dan pemaksimalan vaksinasi. Harus dipastikan pula agar pelayanan kesehatan primer berjalan dengan baik, juga penanganan penyakit non-covid-19 harus tetap dapat terlayani dengan baik.

 

Sumber :  https://mediaindonesia.com/opini/432456/jangan-sampai-rs-kewalahan-lagi