Radikalisasi
Amerika Tanpa Kendali
René L Pattiradjawane ;
Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 30 Januari 2017
Banyak
pengamat menganggap terlalu dini menilai kepemimpinan Presiden Amerika
Serikat Donald Trump karena janji-janji kampanye akan berbeda dengan
kebijakan yang diterapkan Trump. Selama ini, Trump memang penuh dengan
retorika politik yang berjanji menerapkan kebijakan utuh tentang
"America First" sebagai perilaku populis nasionalistik.
Namun,
ketika Presiden Trump mengeluarkan perintah eksekutif mencegah masuknya
orang-orang Muslim dari tujuh negara, yakni Suriah, Irak, Iran, Sudan, Libya,
Somalia, dan Yaman, dunia terkejut. Argumentasinya, menghentikan untuk kurun
waktu tertentu mereka yang mau masuk AS sebagai pengungsi dari negara-negara
tersebut dan dianggap menjadi penghambat bagi orang-orang AS yang kehilangan
pekerjaannya oleh orang-orang asing tersebut.
Menteri
Luar Negeri RI Retno Marsudi langsung menyatakan penyesalan yang mendalam
akibat kebijakan yang dipandang rasialis atas kepercayaan tertentu. Sebagai
negara berpenduduk Islam terbesar, Indonesia akan memandang perlakuan
pemeriksaan ekstrem (extreme vetting) atas dasar kepercayaan bertentangan
dengan prinsip hidup berdampingan secara damai.
Dalam
konteks ini, keseluruhan pandangan kebijakan luar negeri banyak negara dunia
tidak bisa menunggu lagi dan perlu menentukan proposisi awal dalam menentukan
sikap pandangan atas Presiden Trump yang akan berubah total dalam
mengejawantahkan kebijakan-kebijakan keadidayaannya yang menyimpang dari
sebelumnya. Salah satunya adalah sikap kebanyakan negara, termasuk Indonesia,
tentang Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) yang dihentikan secara unilateral.
Pandangan
kita terhadap AS pada masa depan harus dirumuskan dalam beberapa prinsip.
Pertama, menghubungkan persoalan keimigrasian dengan terorisme adalah
pencemoohan atas budaya dan peradaban banyak negara sebagai pelaku kriminal
berdarah. Dalam persepsi ini, kita khawatir norma dan nilai hukum
internasional tentang terorisme sebagai kejahatan ekstrem transnasional tidak
memiliki pijakan pengembangan kerja sama yang luas dan komprehensif dalam
pencegahannya.
Kedua,
melihat perintah eksekutif yang dikeluarkan Presiden Trump satu pekan setelah
pelantikan, pemahaman kita tentang "America First" berdampak pada
kemunculan berbagai ragam aksi afirmatif yang sangat diskriminatif pada
banyak bidang, termasuk ekonomi, perdagangan, kebudayaan, politik, dan
keamanan. Gagasan "Asia First" bisa menjadi antitesis geopolitik
dalam upaya perebutan kekuatan dan kekuasaan global melalui kebangkitan RRT
yang nyata kuat dan menjadi pelopor perdagangan, militer, ataupun keuangan
melalui pembentukan berbagai gagasan dan institusi baru.
Secara
keseluruhan, kebijakan "America First" pada banyak hal, seperti
pendidikan, kesehatan, kerja sama perubahan iklim, dan inovasi teknologi.
Sejauh ini masih belum terlihat landasan keputusan anti imigran ini. Anehnya,
dari tujuh negara yang terkena kebijakan Presiden Trump, semuanya adalah
negara tempat Donald Trump sebagai pengusaha tidak memiliki hubungan bisnis.
Ada
persoalan etis dalam keputusan Presiden Trump tidak memasukkan negara Arab
Saudi, Mesir, dan Uni Emirat Arab karena keluarga Trump memiliki hubungan
bisnis. Politik regional dan global kesulitan berurusan dengan Presiden Trump
yang condong transaksional dalam penentuan kebijakannya. Pola diskriminatif
ini cerminan paling jelas ancaman stabilitas dan keamanan ketika radikalisasi
Amerika bergerak tanpa kendali dan mengancam kerja sama komprehensif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar