Jumat, 09 Maret 2018

Politik Dinasti dan Kuasa Modal

Politik Dinasti dan Kuasa Modal
Khairul Fahmi  ;   Dosen HTN;
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas
                                              MEDIA INDONESIA, 06 Maret 2018



                                                           
TERJARINGNYA Wali Kota Kendari bersama ayahnya, mantan Wali Kota Kendari sebelumnya, dalam operasi tangkap tangan KPK membangkitkan kembali diskusi ihwal politik dinasti. Berbagai pertanyaan terkait bagaimana agar politik dinasti tidak terus membiak dalam pilkada pun muncul lagi. Apa sesungguhnya akar persoalan masalah ini dan bagaimana jalan keluarnya?

Jawaban pertanyaan itu tidaklah terlalu sulit, tapi bagaimana alternatif jalan keluar yang ditawarkan bisa terlaksana. Benar apa yang dikatakan Mahfud MD, sudah habis teori di gudang untuk menjelaskannya. Sudah banyak pikiran bernas yang ditawarkan, tetap saja demokrasi elektoral dibebani masalah politik dinasti, politik uang, dan korupsi.

Akar masalah

Banyak pihak yang menuding sistem pemilihan secara langsung sebagai biang berbagai masalah pelik proses pilkada kita, termasuk politik dinasti. Tudingan itu tidak sepenuhnya salah dan juga tidak pula benar semuanya. Dikatakan tidak salah karena tunangan dari sistem one man one vote adalah liberalisasi politik secara ekstrem.

Tiap-tiap pemegang hak suara ditempatkan sebagai penentu atas kemenangan seseorang dalam pemilihan. Semua orang dalam posisi dan nilai yang sama. Tidak ada pemilahan antara suara orang terdidik dan yang bukan. Tidak ada perbedaan antara orang yang hendak membangun politik kenegaraan dengan para petualang politik. Tidak ada penyisihan antara orang yang tercatat sebagai penjahat dan yang bukan.

Semuanya sama, sama-sama memiliki satu suara, bahkan sama-sama berpeluang menjadi pejabat politik. Dalam sistem demikian, bagaimana mungkin politik dinasti menjadi tidak menarik untuk di­terapkan?

Sebaliknya, tudingan itu dikatakan tidak benar karena dalam demokrasi diidealkan bahwa orientasi politik elite adalah membangun negara. Politik itu untuk kemaslahatan bersama, kontestasi politik merupakan ajang memperebutkan kepercayaan rakyat berbasis ide dan program yang ditawarkan.

Pada saat yang sama, dalam demokrasi diandaikan semua infrastruktur politik, khususnya partai politik bekerja. Bekerja untuk membangun budaya politik yang sehat, pendidikan politik yang konstruktif, dan terus secara konsisten membawa rakyat pada alam politik yang kondusif dan bermartabat. Demokrasi elektoral itu baik jika orientasi elitenya masih terjaga dan pendidikan politik rakyat berjalan sesuai harapan.

Realitasnya elite-elite politik makin menjauh dari orientasi politik kebangsaan. Politik menjadi sarana menumpuk kekayaan dan memperkuat jaringan kekuasaan keluarga. Masuk ke politik, ikut kontestasi politik, dan kekuasaan yang diraih digunakan untuk menumpuk uang dan mewa­riskan kepada anak, menantu, kerabat atau teman dekat.

Secara bersamaan, para pemilik modal pun mengintai dan menunggui para kandidat yang haus modal. Harapan mereka setelah terpilih akan mendapatkan keuntungan lebih dari taruhan yang dipasang. Bahkan tidak jarang, pemodal terjun langsung ke kancah politik demi mengamankan kerajaan usahanya. Inilah kondisi pemilik modal menopang dinasti politik melalui proses elektoral demi pengamanan kapitalnya.

Jika demikian, bagaimana bila sistem pemilihan diganti dengan pemilihan oleh DPRD? Jangan salah dan lupa, pemilihan melalui DPRD pun tidak luput dari problem sama. Politik dinasti juga sangat mungkin diba­ngun di sana sebab politik uang yang menyertai politik dinasti juga ada dalam pemilihan di DPRD. Bahkan tidak kalah ganasnya.

Bila dalam pilkada langsung dikenal uang perahu dan serangan fajar, dalam pemilihan di DPRD dikenal istilah uang perkenalan, uang pangkal, dan uang terima kasih. Sama-sama dahsyat, bukan? Jadi, problem elektoral itu ada pada semua lini. Baik sistem, orientasi politik elite yang salah, rakyat yang belum sepenuhnya terdidik secara politik, maupun para ka­pitalis yang secara konsisten membuntuti proses elektoral agar berada di bawah kendali mereka.

Politik dinasti

Politik dinasti merupakan stigma yang dilekatkan pada realitas dengan beberapa keluarga politisi mencoba membangun kapasitas politik keluarga serta membawanya untuk sama-sama terjun ke dunia politik. Anggota keluarga yang satu mendukung yang lainnya dengan uang dan kekuasaan yang dimilikinya. Bahkan, tidak jarang, demi memastikan kemenangan anggota keluarga, penyalahgunaan wewenang, suap, dan praktik korupsi lainnya dilakukan.

Tidak ada yang salah jika satu keluarga tertentu sama-sama memilih terjun ke politik sebagai pilihan hidup. Bahkan juga tidak salah apabila seorang anak membantu pemenangan ayahnya atau sebaliknya. Yang keliru, menggunakan kekuasaan untuk memperoleh uang secara ilegal atau mengerahkan birokrasi untuk pemenangan dirinya atau anggota keluarga. Di atas semua itu, yang jauh lebih salah adalah memersonalisasi sistem dan infrastruktur politik menjadi hak milik anggota keluarganya saja.

Untuk mengantisipasi politik dinasti yang demikian, melalui UU No 8/2015 pernah diadopsi syarat bahwa calon tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Tidak memiliki kon­flik kepentingan diartikan sebagai tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana, kecuali setelah melewati jeda satu kali masa jabatan. Hanya saja, syarat itu dinilai diskriminatif oleh MK sehingga tidak boleh lagi diterapkan.

Melalui putusan itu, MK mencoba untuk memilah antara pembatasan hak pilih keluarga petahana dengan potensi penyalahgunaan wewenang. Sekalipun terdapat kemungkinan relasi negatif keduanya, tidak lantas hal itu mesti dijawab dengan membatasi hak politik seseorang. Menurut MK, masalah dimaksud cukup diselesaikan dengan mengefektifkan sistem pengawasan dan penegakan hukum pilkada.

Sehubungan dengan itu, sistem pengawasan dan penegakan hukum sudah mulai berjalan, sekalipun belum optimal. Buktinya, kepala daerah yang mencoba menyalahgunakan kekuasaan ditangkap atas tuduhan suap atau korupsi. Hanya saja, harapan publik tentu bukan pada soal penindakan, melainkan bagaimana proses pilkada terbebas dari politik uang yang berkelindan dengan korupsi kepala daerah itu.

Sebagai tawaran jalan keluar, salah satu langkah yang dapat ditempuh adalah mengubah ketentuan masa jabatan kepala daerah. Kepala daerah cukup menjabat selama satu periode saja dengan masa jabatan delapan atau sembilan tahun. Praktik serupa juga diterapkan di negara lain seperti Filipina. Sistem ini diyakini dapat mengurangi tingkat penyalahgunaan wewenang oleh kepala daerah untuk ke­perluan pilkada.

Pada saat bersamaan, pembatasan keterlibatan pemodal dalam pilkada wajib dilakukan. Tidak cukup sekadar membatasi sumbangan dana kampanye, tetapi juga sumbangan dalam bentuk apa pun kepada calon atau kepala daerah.

Pemodal yang berbukti melanggar, ia diancam dengan pidana penjara dan sanksi administratif berupa dicoret dari daftar perusahaan dan/atau orang yang boleh mengikuti tender-tender pengadaan barang atau jasa instansi pemerintah di semua tingkatan. Bahkan, sudah saatnya berpikir untuk membatasi hak pilih pengusaha dalam pemilu maupun pilkada.

Dengan cara itu, peluang menggunakan kekuasaan untuk mengumpulkan uang haram dari pemodal guna membantu pencalonan atau pemenangan diri sendiri, anggota keluarga, kerabat, dan teman dekat kepala daerah dapat diminimalkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar