Politik
Dinasti dan Kuasa Modal
Khairul Fahmi ; Dosen HTN;
Peneliti Pusat Studi Konstitusi
(Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas
|
MEDIA
INDONESIA, 06 Maret 2018
TERJARINGNYA Wali Kota Kendari
bersama ayahnya, mantan Wali Kota Kendari sebelumnya, dalam operasi tangkap
tangan KPK membangkitkan kembali diskusi ihwal politik dinasti. Berbagai
pertanyaan terkait bagaimana agar politik dinasti tidak terus membiak dalam pilkada
pun muncul lagi. Apa sesungguhnya akar persoalan masalah ini dan bagaimana
jalan keluarnya?
Jawaban pertanyaan itu tidaklah
terlalu sulit, tapi bagaimana alternatif jalan keluar yang ditawarkan bisa
terlaksana. Benar apa yang dikatakan Mahfud MD, sudah habis teori di gudang
untuk menjelaskannya. Sudah banyak pikiran bernas yang ditawarkan, tetap saja
demokrasi elektoral dibebani masalah politik dinasti, politik uang, dan
korupsi.
Akar
masalah
Banyak pihak yang menuding sistem
pemilihan secara langsung sebagai biang berbagai masalah pelik proses pilkada
kita, termasuk politik dinasti. Tudingan itu tidak sepenuhnya salah dan juga
tidak pula benar semuanya. Dikatakan tidak salah karena tunangan dari sistem
one man one vote adalah liberalisasi politik secara ekstrem.
Tiap-tiap pemegang hak suara
ditempatkan sebagai penentu atas kemenangan seseorang dalam pemilihan. Semua
orang dalam posisi dan nilai yang sama. Tidak ada pemilahan antara suara
orang terdidik dan yang bukan. Tidak ada perbedaan antara orang yang hendak
membangun politik kenegaraan dengan para petualang politik. Tidak ada
penyisihan antara orang yang tercatat sebagai penjahat dan yang bukan.
Semuanya sama, sama-sama memiliki
satu suara, bahkan sama-sama berpeluang menjadi pejabat politik. Dalam sistem
demikian, bagaimana mungkin politik dinasti menjadi tidak menarik untuk
diterapkan?
Sebaliknya, tudingan itu dikatakan
tidak benar karena dalam demokrasi diidealkan bahwa orientasi politik elite
adalah membangun negara. Politik itu untuk kemaslahatan bersama, kontestasi
politik merupakan ajang memperebutkan kepercayaan rakyat berbasis ide dan
program yang ditawarkan.
Pada saat yang sama, dalam
demokrasi diandaikan semua infrastruktur politik, khususnya partai politik
bekerja. Bekerja untuk membangun budaya politik yang sehat, pendidikan
politik yang konstruktif, dan terus secara konsisten membawa rakyat pada alam
politik yang kondusif dan bermartabat. Demokrasi elektoral itu baik jika
orientasi elitenya masih terjaga dan pendidikan politik rakyat berjalan
sesuai harapan.
Realitasnya elite-elite politik
makin menjauh dari orientasi politik kebangsaan. Politik menjadi sarana
menumpuk kekayaan dan memperkuat jaringan kekuasaan keluarga. Masuk ke
politik, ikut kontestasi politik, dan kekuasaan yang diraih digunakan untuk
menumpuk uang dan mewariskan kepada anak, menantu, kerabat atau teman dekat.
Secara bersamaan, para pemilik
modal pun mengintai dan menunggui para kandidat yang haus modal. Harapan
mereka setelah terpilih akan mendapatkan keuntungan lebih dari taruhan yang
dipasang. Bahkan tidak jarang, pemodal terjun langsung ke kancah politik demi
mengamankan kerajaan usahanya. Inilah kondisi pemilik modal menopang dinasti
politik melalui proses elektoral demi pengamanan kapitalnya.
Jika demikian, bagaimana bila
sistem pemilihan diganti dengan pemilihan oleh DPRD? Jangan salah dan lupa,
pemilihan melalui DPRD pun tidak luput dari problem sama. Politik dinasti
juga sangat mungkin dibangun di sana sebab politik uang yang menyertai
politik dinasti juga ada dalam pemilihan di DPRD. Bahkan tidak kalah
ganasnya.
Bila dalam pilkada langsung
dikenal uang perahu dan serangan fajar, dalam pemilihan di DPRD dikenal
istilah uang perkenalan, uang pangkal, dan uang terima kasih. Sama-sama
dahsyat, bukan? Jadi, problem elektoral itu ada pada semua lini. Baik sistem,
orientasi politik elite yang salah, rakyat yang belum sepenuhnya terdidik
secara politik, maupun para kapitalis yang secara konsisten membuntuti
proses elektoral agar berada di bawah kendali mereka.
Politik
dinasti
Politik dinasti merupakan stigma
yang dilekatkan pada realitas dengan beberapa keluarga politisi mencoba
membangun kapasitas politik keluarga serta membawanya untuk sama-sama terjun
ke dunia politik. Anggota keluarga yang satu mendukung yang lainnya dengan
uang dan kekuasaan yang dimilikinya. Bahkan, tidak jarang, demi memastikan
kemenangan anggota keluarga, penyalahgunaan wewenang, suap, dan praktik
korupsi lainnya dilakukan.
Tidak ada yang salah jika satu
keluarga tertentu sama-sama memilih terjun ke politik sebagai pilihan hidup.
Bahkan juga tidak salah apabila seorang anak membantu pemenangan ayahnya atau
sebaliknya. Yang keliru, menggunakan kekuasaan untuk memperoleh uang secara
ilegal atau mengerahkan birokrasi untuk pemenangan dirinya atau anggota
keluarga. Di atas semua itu, yang jauh lebih salah adalah memersonalisasi
sistem dan infrastruktur politik menjadi hak milik anggota keluarganya saja.
Untuk mengantisipasi politik
dinasti yang demikian, melalui UU No 8/2015 pernah diadopsi syarat bahwa
calon tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Tidak
memiliki konflik kepentingan diartikan sebagai tidak memiliki hubungan
darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas,
ke bawah, ke samping dengan petahana, kecuali setelah melewati jeda satu kali
masa jabatan. Hanya saja, syarat itu dinilai diskriminatif oleh MK sehingga
tidak boleh lagi diterapkan.
Melalui putusan itu, MK mencoba
untuk memilah antara pembatasan hak pilih keluarga petahana dengan potensi
penyalahgunaan wewenang. Sekalipun terdapat kemungkinan relasi negatif
keduanya, tidak lantas hal itu mesti dijawab dengan membatasi hak politik
seseorang. Menurut MK, masalah dimaksud cukup diselesaikan dengan
mengefektifkan sistem pengawasan dan penegakan hukum pilkada.
Sehubungan dengan itu, sistem
pengawasan dan penegakan hukum sudah mulai berjalan, sekalipun belum optimal.
Buktinya, kepala daerah yang mencoba menyalahgunakan kekuasaan ditangkap atas
tuduhan suap atau korupsi. Hanya saja, harapan publik tentu bukan pada soal
penindakan, melainkan bagaimana proses pilkada terbebas dari politik uang
yang berkelindan dengan korupsi kepala daerah itu.
Sebagai tawaran jalan keluar,
salah satu langkah yang dapat ditempuh adalah mengubah ketentuan masa jabatan
kepala daerah. Kepala daerah cukup menjabat selama satu periode saja dengan
masa jabatan delapan atau sembilan tahun. Praktik serupa juga diterapkan di
negara lain seperti Filipina. Sistem ini diyakini dapat mengurangi tingkat
penyalahgunaan wewenang oleh kepala daerah untuk keperluan pilkada.
Pada saat bersamaan, pembatasan
keterlibatan pemodal dalam pilkada wajib dilakukan. Tidak cukup sekadar
membatasi sumbangan dana kampanye, tetapi juga sumbangan dalam bentuk apa pun
kepada calon atau kepala daerah.
Pemodal yang berbukti melanggar,
ia diancam dengan pidana penjara dan sanksi administratif berupa dicoret dari
daftar perusahaan dan/atau orang yang boleh mengikuti tender-tender pengadaan
barang atau jasa instansi pemerintah di semua tingkatan. Bahkan, sudah
saatnya berpikir untuk membatasi hak pilih pengusaha dalam pemilu maupun
pilkada.
Dengan cara itu, peluang
menggunakan kekuasaan untuk mengumpulkan uang haram dari pemodal guna
membantu pencalonan atau pemenangan diri sendiri, anggota keluarga, kerabat,
dan teman dekat kepala daerah dapat diminimalkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar