Agama
Minus Etika Kemanusiaan
Abdul Waid ; Cendekiawan Muda Muslim;
Dosen Institut Agama
Islam Nahdlatul Ulama (IAINU) Kebumen
|
KOMPAS, 12 Juni 2017
Mengapa agama-agama dapat diterima secara
global oleh khalayak di muka bumi?" tanya Emmanuel K Twesigye, seorang
orientalis kontemporer asal Amerika, dalam pengantar bukunya, Religion & Ethics for a New Age:
Evolutionist Approach (University Press of America, 2001).
Pertanyaan itu dijawab sendiri oleh
Emmanuel. Menurut dia, semua agama dapat diterima dan bertahan di dunia
hingga saat ini tiada lain karena setiap sosok pembawa agama-agama itu
mengajarkan etika kemanusiaan. Dan, dalam setiap norma ajaran yang
disampaikan kepada pengikutnya juga selalu menonjolkan etika kemanusiaan.
Muhammad SAW, misalnya, tegas mengatakan
bahwa dia diutus ke dunia adalah semata-mata untuk menyempurnakan etika
(baca: akhlak). Yesus, demikian pun, yang diyakini sebagai utusan sekaligus
Tuhan bagi umat Kristiani juga menekankan pentingnya etika kemanusiaan pada
sesama manusia. Kedua sosok tersebut menaburkan perilaku-perilaku manusiawi
kepada siapa saja tanpa pandang dulu. Penghormatan setinggi-tingginya
dicurahkan kepada setiap kawan dan lawan.
Andai saja para pembawa agama itu hanya
mengajarkan hukum dan ibadah transendental tanpa etika kemanusiaan yang
membumi, barangkali agama di dunia sekadar jadi alienasi dan candu
sebagaimana yang dituduhkan oleh Karl Marx, seorang pengusung ideologi
komunisme dan kapitalisme dalam dunia perekonomian kelahiran Jerman.
Lebih jauh lagi, jika itu yang terjadi,
agama akan ditolak umat manusia sejak awal masa-masa turunnya ke dunia.
Di
atas norma hukum
Di sinilah mengapa banyak kalangan pemuka
agama, khususnya para ulama sufi, yang mengatakan bahwa etika kemanusiaan
adalah jauh melampaui norma-norma hukum. Mereka sering kali
"menabrak" norma-norma hukum demi tujuan-tujuan kemanusiaan.
Oleh karena itu, mereka selalu hidup
bertenggang rasa dengan sesama, tolong-menolong, dan menghindar dari sikap
ketidakadilan, kesombongan, keangkuhan, serta segala yang bisa menyakiti
perasaan orang lain, apa pun golongan dan agamanya. Bahkan, pada hewan
sekalipun, etika kemanusiaan semacam itu juga mereka terapkan.
Salah satu tokoh berpengaruh di dunia Islam
yang menampilkan pola keberagamaan yang berpijak pada etika kemanusiaan yang
sangat tinggi ialah Najamuddin at-Tufi (1259-1318). Sebagaimana yang
ditegaskan dalam banyak karyanya, ulama besar yang lahir di Baghdad, Irak,
itu mengatakan, jika norma hukum bertentangan dengan aspek-aspek kemanusiaan,
maka norma hukum itu harus mengalah. Sebab, tujuan utama setiap norma hukum
adalah kemanusiaan (kemaslahatan universal).
Sayangnya, beberapa abad setelah
meninggalnya para pembawa agama utusan Tuhan, agama acap kali dipisahkan dari
etika kemanusiaan. Konsep agama mulai berubah 180 derajat dari semula yang
lebih mengedepankan etika kemanusiaan daripada norma hukum kini justru
menjadi sebaliknya. Orang beragama mudah lari dari kasih sayang kepada
sesama, tolong-menolong, saling menghargai hanya karena alasan norma hukum
yang terkesan dipaksakan.
Contoh sederhananya adalah wacana sikap
penolakan shalat jenazah bagi warga yang berbeda pilihan politik. Apa pun
alasannya, bagaimanapun norma hukum agamanya, menolak menshalatkan jenazah
karena berbeda pandangan politik adalah sikap yang tidak sesuai dengan etika
kemanusiaan yang menjadi misi utama agama. Setiap orang bisa berdebat dan
mengajukan argumentasi apakah menolak untuk menshalatkan jenazah-jenazah
tertentu dibenarkan oleh norma agama atau tidak.
Tetapi, jika dilihat dari aspek etika
kemanusiaan yang menjunjung tinggi kebersamaan dan kerukunan, sikap semacam
itu jelas tidak bisa dibenarkan. Apalagi, jika sikap itu menimbulkan konflik
di tengah masyarakat, penulis berani mengatakan hal itu bertentangan dengan
ruh agama (spirit of religion).
Oleh karena itu, dalam kehidupan beragama,
kita tidak patut meninggalkan etika kemanusiaan. Agama yang pada dasarnya
mengatur umat manusia menuju kehidupan harmoni tidak bisa lepas dari etika
kemanusiaan yang tinggi. Melihat begitu pentingnya peran etika kemanusiaan
bagi setiap pemeluk agama, terutama bagi tatanan kerukunan antargolongan
agama, maka sangatlah penting bagi kita untuk selalu menyandarkan pola
keberagamaan kita pada etika kemanusiaan, bukan pada dogma yang otoritatif.
Hal itu sebagai upaya untuk keluar dari
berbagai persoalan yang mengimpit kehidupan bangsa ini. Pasalnya, etika
kemanusiaan selalu selaras dan searah dengan terwujudnya ketenteraman.
Tetapi, norma hukum- apalagi egoisme penganut agama-yang ditegakkan dengan
mengesampingkan etika kemanusiaan selalu meruntuhkan bangunan ketenteraman
masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar