Kamis, 01 Maret 2018

RUUHP Bom Waktu Politik

RUUHP Bom Waktu Politik
Irwanto  ;   Ketua Program Studi  S-3 Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya Jakarta
                                                        KOMPAS, 01 Maret 2018



                                                           
Telah lama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berusia 100 tahun ini didiskusikan dan dibuatkan drafnya untuk revisi. Akan tetapi, baru dalam pemerintahan Kabinet Kerja Joko Widodo, draf Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RUUHP) diajukan ke DPR pada 2015.
Dalam perjalanan revisi, draf tersebut memperoleh imbuhan dan mungkin pengurangan. Seharusnya, niat mulia ini menghasilkan hadiah terbaik bagi seluruh rakyat Indonesia. Suatu UU yang waktu dan konteksnya disesuaikan dengan zaman, memperkuat demokratisasi, memastikan keadilan sosial untuk kesejahteraan rakyat.

Dalam diskusi pembahasan dan perjalanan setahun lebih ternyata RUUHP bermetastasis menjadi UU yang sangat gemuk dan mengandung banyak pasal yang berpotensi sangat merugikan rakyat dan proses pembangunan secara umum. Pusat Kajian Perlindungan Anak (Puskapa) Universitas Indonesia, Institute for Criminal Justice Reform (IJCR), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) dan berbagai pihak telah menunjukkan bahwa cukup banyak pasal dalam RUUHP yang merugikan komunitas rentan, terutama komunitas marjinal, perempuan, dan anak. RUUHP bahkan mengancam komunitas adat yang menjadi modal dan mutiara kebudayaan Nusantara. Kita patut bertanya: ada apa gerangan dengan pemerintah saat ini? Apakah benar rezim pemerintah sekarang sebagai inisiator perubahan KUHP ingin bermusuhan dengan berbagai komponen masyarakatnya sendiri?

Dari analisis psikologi politik, tidak sulit bagi kita untuk menganalisis RUUHP saat ini dan tiba pada kesimpulan bahwa pemerintah sedang membuat mekanisme self-destruction. Banyaknya pasal-pasal yang multi interpretasi, berpotensial melanggar konvensi HAM dan Konstitusi, adalah bom waktu politik. Hal ini membuat kita bertanya-tanya: sadarkah pemerintah tentang hal ini? Apakah wakil-wakilnya di DPR mengetahui ini tetapi diam saja? Mengapa?

Sebagai contoh, dalam RUUHP terdapat 37 pasal dengan ancaman pidana mati dan 1154 pasal ancaman pidana penjara (ICJR, 2016; Dirjenpas,2018). Hal ini selain absurd juga tidak sesuai dengan semangat reformasi hukum kabinet Jokowi.  Di samping itu,  rancangan UU ini juga mengakomodasi the living law dalam masyarakat sehingga setiap daerah dapat menerapkan sanksi pidananya sendiri-sendiri (ICJR, 2016; Puskapa, 2018). Belum lagi adanya pasal penghinaan presden dan wakil presiden yang telah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi (Putusan MK No. 013–022/PUU-IV/2006) karena mengganggu demokrasi.

Bom bunuh diri

Ketika menyadari hal-hal tersebut di atas, saya merasa telah terjadi hipnosis politik. Sebagai pengamat yang kritis terhadap kiprah Presiden Jokowi, saya tak percaya bahwa kabinetnya membuat bom bunuh diri seperti ini. Terlalu naif rasanya kalau kabinet ini akan membiarkan oposisinya dengan mudah memperoleh celah politik di mana Presiden dan kabinetnya tidak pro rakyat, terutama masyarakat adat, membuat hukum pidana yang mengekang pembangunan manusia, dan melanggar berbagai hak dasar rakyatnya sendiri. Pelanggaran terhadap Konstitusi harganya jelas – impeachment.   Tetapi mengapa tim pemerintah yang mengawal diam saja?

 Di sinilah lihainya pihak-pihak yang ingin melihat kegagalan kabinet saat ini. Gendham politik dilancarkan menggunakan kata kunci yang sangat subtil tetapi menohok sanubari dari tingkat sadar sampai ketidaksadaran. Kata kunci itu “zina” dan “LGBT” disertai “moral” dan “agama”. Kata-kata kunci tersebut menakutkan semua pihak, terutama penyelenggara negara yang disorot oleh semua pihak.

Bahkan ada kata-kata pejabat yang menyatakan ”Kita mungkin dituduh melanggar HAM. Tetapi lebih celaka kalau dikatakan melanggar agama”, dalam percakapan tentang isu LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender). Munculnya isu ini ke permukaan disertai riak-riak kecil di masyarakat diterima oleh sebagian penyelenggara negara sebagai potensi badai politik yang akan melumat mereka.

Dengan ketakutan itu, tanpa disadari mereka menjadi tidak waspada terhadap bahaya yang lebih besar, yaitu adanya unsur pelanggaran terhadap Konstitusi dalam pasal-pasal lain. Isu LGBT dan zina hanya merupakan tabir asap (smoke screen) yang menyembunyikan senjata lain yang lebih mematikan.  Memang sangat dipahami taktik ini cukup ampuh. Politik kita sedang diwarnai dengan politik identitas berbasis SARA, terutama moralitas agama.

Dalam teori moral licensing menurut disiplin psikologi, orang akan cenderung memosisikan diri pada entitas kekuasaan yang dianggap akan melindungi kepentingan pribadinya. Terutama bagi mereka yang berkecimpung di dunia politik kekuasaan. Tidak heran jika representasi suara-suara yang menentang zina dan, terutama LGBT, memperoleh ruang publik yang sangat luas, bahkan di dunia akademik yang biasanya kritis-empirik. Interpretasi terhadap kecenderungan ini yang menimbulkan kegamangan dan akhirnya ketidakberanian bertindak kritis.

Cabut usulan

Moga-moga analisis saya ini salah. Meskipun demikian, bagamanapun juga orang harus bertanya apakah benar bahwa rezim ini ingin memberlakukan UU kriminal yang overkill sehingga akan mengganggu rencana pembangunannya sendiri. Sudah saatnya tim pemerintah melakukan semacam due process untuk mengevaluasi kinerja mereka saat ini dan meyakini betul bahwa isi dari RUUHP ini sesuai dengan mandat dan semangat reformasi yang mereka terima.

Hal ini tidak sulit. Bentangkan lagi pasal-pasal seperti dalam DIM (Daftar Inventaris Masalah) dan kontestasikan setiap pasalnya dengan pasal-pasal Konstitusi dan berbagai kritik yang telah dikemukakan, misalnya oleh ICJR, Elsam, atau Puskapa UI. Seandainya analisis tim pemerintah cocok dengan analisis saya dan berbagai pihak yang peduli pada demokratisasi dan HAM, maka tindakan yang harus diambil jelas: cabut usulan revisi!  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar