Inkonstitusionalitas
Presidensial Treshold
Agus Riewanto ;
Pengajar Fakultas Hukum dan Program
Pascasarjana
Ilmu Hukum, Universitas Sebelas
Maret Surakarta
|
SUARA
MERDEKA, 21 Januari 2017
MESKIPUN
pemilihan presiden baru akan berlangsung pada 2019, aroma persaingan
antarparpol mulai terlihat. Persaingan agar partai politik (parpol) bisa
mengusung calon presiden, terlihat dari pembahasan RUU Penyelengaraan Pemilu,
terutama soal ambang batas suara parpol bisa mengusung calon presiden (presidential threshold).
Sebagian
parpol menginginkan penghapusan presidential threshold dan sebagian lainnya
ingin mempertahankan sistem itu.(Suara Merdeka, 19 Januari 2017). Sebuah
kebijakan pembuatan peraturan perundang-undangan (legal policy) tidak dapat
dilepaskan dari rujukan konstitusi (UUD 1945), termasuk pembuatan RUU
Penyelenggara Pemilu yang terkait dengan presidential treshold (selanjutnya
di tulis Pres-T).
Jika
dibaca secara cermat dan dalam batas penalaran hukum yang wajar maka
sesungguhnya berdasarkan pada ketentuan Pasal 6 A Ayat (2) UUD 1945 dengan
tegas dinyatakan, bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan
oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum
sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Pasangan calon presiden dan wakil
presiden diajukan oleh partai politik.
Jika
dilakukan penafsiran hukum secara restriktif (dipersempit) terhadap ketentuan
UUD 1945 tersebut, maka terkandung makna bahwa Pres-T tidak dikenal dan
pasangan Capres/Cawapres diusulkan semua parpol dan atau gabungan parpol
sepanjang parpol tersebut menjadi peserta pemilu. Artinya, baik parpol lama
yang saat ini memiliki kursi di DPR RI, maupun parpol baru, ataupun parpol
besar dan kecil dapat mengusung calon presiden.
Jika
merujuk pada Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) No
14/PUU-XI/2013 yang mengabulkan permohonan uji materi (judicial review)
terhadap pasal 3 ayat 5, pasal 12 ayat 1 dan 2, pasal 14 ayat 2 dan pasal 112
UU Nomor 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wapres di tegaskan, bahwa pemilu
presiden (Pilpres) dan pemilu legislatif (Pileg) diselenggarakan secara
serentak yang berlaku pada tahun 2019 mendatang.
Adapun
yang dimaksud serentak oleh putusan MKRI ini adalah Pilpres dan Pileg
diselenggarakan pada hari yang sama. Dengan diadakan Pemilu serentak, maka
ketentuan Pres-T tidak ada lagi. Jika tetap dipaksankan agar Pres T ada dalam
RUU Pemilu, maka dapat bertentangan dengan UUD 1945 dan Putusan MKRI. Dengan
demikian eksistensi Pres T inkonstitusional.
Problem dan Solusi
Sejumlah
politikus anti-Pres T , terutama (PDIP, PAN, PPP dan Golkar) dengan
menyatakan terdapat sejumlah problem peniadaan Pres T. Pertama, kelak akan
muncul jumlah Capres/Cawapres yang banyak dan akan cenderung memboroskan
anggaran negara, terutama terkait dengan biaya kampanye karena merujuk pada
UU No10 Tahun 2016 tentang Pilkada kampanye dibiayai melalui anggaran negara.
Menurut
saya, hal ini bukan problem demokrasi, justru dengan kian banyak Capres/
Cawapres rakyat akan disuguhi oleh beragam pilihan dan akan dapat
menggairahkan kompetisi dalam demokrasi nasional.
Adapun
mahalnya biaya kampanye dapat ditekan dengan cara pada kampanye putaran
pertama dibuat sesederhana mungkin, barulah pada putaran kedua, setelah
jumlah calon makin sedikit, dibuat agak lebih meriah.
Pada
putaran kedua inilah juga terjadi konsolidasi bagi parpol yang calonnya sudah
tidak lolos lagi di putaran kedua, untuk mendukung calon yang diusung parpol
lain. Kedua, peniadaan Pres Takan dapat melemahkan dukungan Parpol di DPR
terhadap Capres/Cawapres terpilih dan akibatnya pemerintahan tak berjalan
efektif.
Argumentasi
ini tak selalu relevan, karena sesungguhnya dalam praktik penyelenggaraan
pemilu serentak di banyak negara terutama di negara-negara Amerika Latin dan
Amerika Selatan, justru dengan pemilu serentak akan melahirkan sistem politik
coat-tail effect dan pemerintahan yang efektif.
Menurut
Amuitz Garmendia Madariaga, H Ege Ozen (2015: 66), Coat-tail effect adalah
istilah yang merujuk pada suatu tindakan yang menimbulkan pengaruh pada
tindakan lain (pengaruh ikutan). Ada kecenderungan pemilih akan memilih
Capres/Cawapres yang sama dukungannya dengan Parpol di parlemen.
Lebih
dari itu, mempertahankan Pres T juga akan berpotensi melahirkan
Capres/Cawapres tunggal, potensi ini sangat terbuka jika merujuk pada
perilaku politik para politikus kita saat penyelenggaraan Pilkada serentak
selalu menyisakan calon tunggal. Modus yang kerap digunakan untuk menciptakan
calon tunggal biasanya calon petahana (incumbent) akan cenderung memborong
dukungan semua Parpol di DPR untuk menyokong calon tertentu dan mengunci
Parpol lain untuk kehabisan Parpol mitra koalisi.
Kehadiran
calon tunggal tentu akan membahayakan jalannya demokrasi, karena tidak akan
terjadi polarisasi kompetisi antarcalon yang sehat dan cenderung akan
mematikan Parpol baru dan Parpol kecil.
Dengan
demikian mempertahankan Pres T sebagaimana dalam Pilres 2014 lalu, di mana
Parpol yang mengajukan pasangan Capres/Cawapres harus terlebih dahulu minimal
memiliki 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional pada pemilu
legislatif sebelumnya adalah inkontitusional, tidak sejalan dengan putusan
MKRI, tidak sesuai dengan praktik Pemilu serentak di negara-negara lain dan
akan cenderung melahirkan calon tunggal dan sekaligus berpotensi mematikan
Parpol kecil dan Parpol baru.
Di
titik inilah DPR dan pemerintah dalam membahas RUU Pemilu serentak perlu
mempertimbangkan kembali agar penghapusan/ meniadakan Pres T, demi
kemaslahatan bangsa yang lebih luas dan upaya konsolidasi demokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar