Menghela
Kemajuan Bangsa
Suwidi Tono ;
Koordinator Forum ”Menjadi Indonesia”
|
KOMPAS, 27 Januari 2017
Di
tengah involusi gagasan dan tindakan yang menjejak hakikat, kita mendapati
”lubang besar” berupa lemahnya kelembagaan sosial-ekonomi-politik sehingga
menghambat gerak kemajuan bangsa.
Fundamental
modal sosial, khususnya pendidikan, amat rapuh. Struktur tenaga kerja
Indonesia (BPS, Agustus 2016) menyebutkan, 60,24 persen berpendidikan SMP ke
bawah, 27,12 persen berpendidikan menengah, dan hanya 12,24 persen lulusan
perguruan tinggi. Konfigurasi ini jelas tidak memadai untuk menghela kemajuan
di dunia yang semakin kompetitif, yang bertumpu pada keunggulan sains dan
teknologi.
Kelemahan
tersebut jelas terkonfirmasi pada data Indeks Pembangunan Manusia/ IPM
(peringkat ke-109 dari 170 negara), di luar 50 besar negara kategori inovatif
dan kreatif, Global Competitiveness (nomor 41 dari 138 negara), dan urutan
terbawah (peringkat ke-34) pada survei kecerdasan (literasi, numerasi, serta
pemecahan masalah) siswa tingkat menengah dan tingkat kompetensi penduduk
dewasa.
Di
lapangan ekonomi, persaingan bebas (free fight liberalism), pemusatan aset,
dan ekonomi rente terus berkembang tanpa koreksi dan intervensi memadai.
Keganjilan struktural yang ditimbulkan, misalnya, dengan jelasditemukan dalam
tata niaga komoditas pangan strategis, seperti beras, daging unggas, dan
sapi.
Harga
gabah kering panen di tingkat petani dibeli Rp 3.700 per kilogram (kg),
sedangkan harga jual beras ke konsumen bervariasi Rp 9.000-Rp 12.000 per kg.
Harga daging ayam ras di tingkat peternak hanya Rp 1.800 per kg bobot hidup,
sementara harga di pasar minimal mulai Rp 35.000 per kg. Untuk daging sapi,
di tingkat peternak dihargai hanya sekitar Rp 30.000 per kg bobot hidup,
tetapi sampai di konsumen harga jual minimal Rp 100.000 per kg. Sebanyak 12
perusahaan besar menguasai 80 persen pasar daging ayam ras dengan produksi
sekitar 2,2 miliar ekor per tahun.
Margin
keuntungan tipis dan risiko tinggi di tingkat produsen dan harga mahal di
tingkat konsumen adalah fenomena menetap yang selalu luput dari pendekatan
kebijakan dan eksekusi pemerintah. Sekitar 90 persen subsidi pupuk jatuh ke
petani kaya yang jumlahnya hanya 5 persen, sedangkan 65 persen petani miskin hanya
menerima subsidi 3 persen.
Sudah
saatnya alokasi subsidi pertanian pangan strategis tidak diarahkan ke sektor
hulu (benih, pupuk, pestisida, alat, dan mesin pertanian), tetapi lebih tepat
di hilir dalam bentuk peningkatan harga produk akhir. Menekan harga di
tingkat petani dengan tujuan mengendalikan laju inflasi bukan hanya tidak
tepat, tetapi juga menyebabkan produktivitas dan semangat bertani terus
melemah. Sebaliknya, penetapan harga wajar sebagai insentif akan memacu
produktivitas dan memberikan keuntungan pada semua pemangku kepentingan
pertanian, termasuk industri/ pabrikan.
Singkatnya,
produsen (petani, peternak) dan konsumen awet menjadi korban struktur tata
niaga yang memelihara golongan para pemburu rente,kartel, dan oligopoli.
Pragmatisme kebijakan lewat impor untuk memenuhi kebutuhan dan menekan harga
yang terus berulang dari rezim ke rezim membuka sisi gelap ketidakkonsistenan
membangun basis produksi sebagai soko guru kedaulatan pangan.
Tidak berkualitas
Di
lapangan politik, oligarki, patronase, dan politik uang (money politics)
menyuburkan golongan politisi yang dalam idiom Jawa disebut kere munggah bale
atau petruk dadi ratu. Sebuah sindiran atas ketidakcukupan modal integritas
dan kapasitas yang mendominasi sirkulasi elite politik dan pemerintahan.
Rakyat tidak mendapatkan pemimpin mumpuni karena parpol gagal memunculkan
kader atau sosok kredibel akibat terbelenggu kepentingan-kepentingan sesaat.
Praktik
demokrasi dan prospeknya muskil dapat mengawal cita-cita proklamasi yang
beralas-sumbu kecerdasan akal budi bangsa. Hampir dua dekade reformasi 1998,
parpol hanya sibuk berebut kekuasaan dan melupakan tujuan politik utama:
memajukan bangsa.
Jika
politik kita makin mengarah sekadar demokrasi elektoral dan acap kali
mengusung sentimen primordial dengan daya rusak luar biasa, praktik ekonomi
melanggengkan ketimpangan dan ketidakadilan. Pertumbuhan tidak berkualitas
dan berkelanjutan mudah ditengarai dari trade-off capaian peningkatan produk
domestik bruto (PDB), tetapi tak mendongkrak IPM. Ditambah faktor kalibrasi
berupa kerusakan sumber daya alam tak terbarukan, kesenjangan pendapatan dan
pemilikan aset, pertumbuhan hanya sekadar menggambarkan capaian makro tanpa
hakikat substansial. Apalagi capaian itu lebih banyak didorong peningkatan
konsumsi dan non-tradable goods, bukan pertumbuhan produksi dan kreativitas.
Seluruh
uraian ini menunjuk pada kemiskinan visi dan tindakan. Hulusemuanya adalah
bersemayamnya kultur korup yang merusak. Pembangunan gencar infrastruktur dan
pemerataan lewat redistribusi aset hanya akan menuai hasil serupa jika
struktur ekonomi-politik tidak lebih dulu disiapkan agar kompatibel memihak
dan memberdayakan rakyat.
Tidak membungkuk
Kita
membutuhkan sekurang-kurangnya 20 persen lapisan penduduk yang mandiri, inovatif,
dan kreatif. Sebuah lapisan kelas masyarakat yang ”merdeka” dan ”tidak
membungkuk” pada sistem yang korup dan merusak. Era teknologi digital dan
dunia tanpa tapal batas membuka peluang itu.
India
merupakan fenomena terbaik dalam mengembangkan daya cipta manusianya. Saat
ini, orang-orang India menempati posisi-posisi puncak di korporasi-korporasi
terkemuka dunia, terutama di bidang manajemen, teknologi informasi, keuangan,
dan sains. Para eksekutif dan ilmuwan ini mendorong anak-anak dan generasi muda
India mengembangkan bakatnya di luar India. Selain korporasi,
universitas-universitas terbaik dunia kini dibanjiri anak-anak muda India.
Dengan
semboyan fireflies arising (kunang-kunang bermunculan), diaspora India yang
tersebar di seluruh dunia bersatu memancangkan knowledgebased society untuk
mengentaskan sebagian besar warga bangsanya dari kemiskinan dan
keterbelakangan. Keterpanggilan kaum mapan dan terpelajar India itu merupakan
sumber inspirasi untuk mengatasi sekat kultural-politik yang mengekang kemajuan
bangsa.
Indonesia
memiliki kekayaan beragam modal sosial untuk melawan kejumudan politik dan
ekonomi. Konsolidasi modal sosial itu memerlukan banyak volunteer,
sukarelawan, untuk gerakan pendampingan tanpa kenal lelah. Fokus pada
perbaikan kesejahteraan dan pendidikan rakyat secara signifikan, mensyaratkan
ketersediaan lembaga pemberdayaan yang berakar dan organik di tingkat
komunitas.
Program
pengentasan rakyat dari kemiskinan, misalnya, terbukti tidak menuai hasil
signifikan selama satu dekade terakhir justru ketika alokasi anggaran
melonjak dari Rp 42 triliun tahun 2006 menjadi Rp 214 triliun tahun 2016.
Jumlah orang miskin tak beranjak, tetap sekitar 28 juta jiwa atau 10,56
persendari total penduduk.
Sumber
utama kemiskinan adalah ketiadaan atau minimnya aset produksi, pengetahuan
dan keterampilan rendah, keterbatasan aksesibilitas modal, serta tidak adanya
lembaga pendampingan, menempatkan kaum marjinal—terutama buruh tani, pemilik
lahan kecil, dan nelayan— tidak tersentuh program pengentasan rakyat dari
kemiskinan. Tanpa perombakan menyeluruh dalam menetapkan golongan sasaran dan
perubahan radikal pendekatan program, momok kemiskinan akan terus menjadi
problem panjang dan permanen.
Nawacita
mencanangkan membangun Indonesia dari pinggiran. Revolusi kemajuan bangsa
dapat menemukan momentumnya jika kita mengenali kekuatan modal sosial lokal
yang ditopang modal sumber daya alam dan potensi setempat. Premisnya harus
bermulamenjadikan rakyat berdaya dan kuat agar negara kuat. Bukan sebaliknya.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar