Rabu, 28 Februari 2018

Membedaki Bopeng Utang

Membedaki Bopeng Utang
Haryo Kuncoro  ;   Direktur Riset SEEBI
                                                   TEMPO.CO, 27 Februari 2018



                                                           
Utang yang menumpuk sepertinya tidak menyurutkan nafsu pemerintah untuk terus berutang. Pada akhir 2017, posisi utang pemerintah pusat mencapai Rp 3.938,7 triliun atau 29,2 persen dari produk domestik bruto. Sepanjang tahun ini, utang akan bertambah lagi setidaknya Rp 399,2 triliun, yang berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 414,5 triliun dan pinjaman neto negatif Rp 15,3 triliun.

Dengan keseimbangan primer yang minus, utang jatuh tempo yang harus dilunasi pada 2018/2019 mencapai Rp 810 triliun. Maka, pemerintah niscaya akan menerbitkan SBN baru untuk membayar bunga dan cicilan pokok utang lama.

Masalah tersebut agaknya mengubah pola penerbitan SBN. Setelah batal memperbesar penerbitan SBN retail, pemerintah mendorong lebih banyak porsi Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Dengan total penerbitan SBN mencapai Rp 846,4 triliun, penjualan SBSN ditargetkan Rp 211,6 triliun.

Tambahan Rp 10 triliun ini kontras dengan strategi SBSN pada 2017. Sukuk tabungan yang pertama kali dirilis pada 2016 tidak diterbitkan lagi. Artinya, tahun ini pemerintah memasang target pemasukan dana yang lebih besar tapi hanya mengandalkan sukuk retail dan sukuk negara.

Dalam pandangan pemerintah, sukuk negara dinilai lebih tahan terhadap guncangan ekonomi dibanding SBN konvensional. Surat berharga syariah juga bisa diperdagangkan di pasar sekunder sehingga dapat berfungsi sebagai katalisator terhadap kepemilikan SBN.

Poin positif lainnya adalah penerbitan SBSN untuk membiayai proyek secara langsung. Tahun ini, ada 587 proyek yang akan dibiayai SBSN dengan nilai Rp 22,53 triliun yang tersebar di 34 provinsi. Karena itu, SBSN menjadi instrumen taktis dalam pendalaman pasar keuangan menuju inklusi keuangan.

Hasrat besar pemerintah mengandalkan sumber pembiayaan dalam negeri-yang diinisiasi dari kenaikan SBSN saat defisit APBN 2018 relatif rendah, sebesar 2,19 persen-bertujuan baik. Hanya, skenario di atas harus dipersiapkan dengan komprehensif agar mampu mencapai sasaran yang dituju.

Mendorong pemilik dana agar membeli SBSN tidaklah mudah. Pemilik dana digoda pula oleh imbal hasil yang ditawarkan aset finansial lain. Memegang dolar atau emas menjadi pilihan yang masuk akal di kala persepsi terhadap perekonomian ke depan belum kuat.

Pertimbangan utama calon investor SBSN adalah imbal hasil (yield). Imbal hasil sukuk sejatinya lebih tinggi 20-40 basis poin dari SBN. Sudah menjadi hukum alam, imbal hasil lebih tinggi senantiasa disertai risiko lebih tinggi pula. Risiko likuiditas bisa jadi membuat pemilik dana kurang aktif di sukuk.

Faktanya, surat utang konvensional jauh lebih likuid dibanding surat utang syariah. Pencairan SBSN sebelum jatuh tempo juga menghadapi kemungkinan capital loss (kerugian). Konsekuensinya, selisih neto antara yield dan risiko capital loss sangat boleh tidak atraktif bagi calon investor.

Kenyataan ini menjadi tantangan bagi pelaku pasar keuangan domestik. Sejauh ini, kepemilikan domestik atas SBSN masih didominasi oleh bank, reksa dana, dana pensiun, dan asuransi. Bank umumnya memarkir dana pada SBSN bertenor pendek sampai jatuh tempo sehingga kurang mendukung dinamika pasar sekunder.

Potensi dari asuransi untuk SBSN tenor jangka panjang memang cukup besar lantaran regulasi Otoritas Jasa Keuangan mewajibkan alokasi SBN, termasuk SBSN, minimum 30 persen dari total investasinya. Namun ketentuan tersebut jarang terpenuhi. Kalaupun terpenuhi, waktunya mepet dengan tenggat pada akhir tahun.

Mengharapkan terserapnya tambahan SBSN pada bank umum syariah (BUS) sangatlah ideal. Sayangnya, industri keuangan syariah baru menguasai pangsa 5-6 persen dari total aset sektor keuangan. Dengan pertumbuhan keuangan syariah yang belum begitu pesat, porsi kepemilikan BUS diproyeksikan tidak jauh dari level 10 persen.

Pada akhirnya, prospek penjualan SBSN bisa jadi berharap pada pemodal asing. Kepemilikan asing lagi-lagi membuat volatilitas pasar SBSN jadi lebih tinggi. Dengan konfigurasi masalah di atas, solusinya adalah aktivasi kembali sukuk tabungan dan/atau memperkenalkan instrumen baru dengan tenor yang lebih pendek.

Diversifikasi SBSN retail bisa mengkompensasi nilai suplai instrumen yang diemisi tanpa harus menaikkan secara drastis suku bunga kupon. Sejalan dengan itu, penguatan pasar sekunder menjadi bagian strategi yang tak terpisahkan. Investor perlu disediakan wadah untuk bertransaksi SBSN tenor panjang.

Kelembagaan pasar yang efisien mutlak diperlukan dalam persaingan merebut simpati pemilik dana serta mencegah migrasi ke instrumen finansial lain. Tanpa inovasi, pola penerbitan SBN hanya membedaki muka tanpa menyasar sumber bopengnya. Risikonya, SBSN tidak laku, pelarian modal, kelangkaan likuiditas, dan depresiasi mata uang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar