Mewujudkan
(Kembali)
Islam
Nusantara sebagai Identitas Terbuka
Mohamad Shohibuddin ; Katib ‘Am Pengurus Cabang Istimewa NU
Belanda
|
KORAN
SINDO, 24
Januari 2017
Najib
Burhani di KORAN SINDO, 19 Januari 2017 mengonstruksikan apa yang dia sebut
sebagai ”genealogi Islam Nusantara” ke dalam tiga babakan sejarah sebagai
berikut: (1) fase ketika Islam Nusantara identik dengan Islam sinkretis, (2)
fase pembentukan identitas Islam Nusantara, dan (3) fase ketika Islam
Nusantara menjadi exceptional Islam, dalam hal ini identik dengan Nahdlatul
Ulama (NU).
Tulisan
Najib Burhani ini sangat tepat waktu karena sebuah konferensi internasional
untuk memikir-ulang Islam Nusantara saat ini sedang dipersiapkan
pelaksanaannya di Amsterdam, Belanda. Konferensi yang akan dilaksanakan pada
27 Maret 2017 tersebut akan mengangkat tema: ”Rethinking Indonesia’s Islam
Nusantara: From Local Relevance to Global Significance. ” Pembabakan ”genealogi
Islam Nusantara” ke dalam tiga fase yang dilakukan oleh Najib Burhani, meski
demikian, mengandung cacat epistemologis, yakni terperangkap pada cara
pandang melihat Islam Nusantara sebagai ekspresi sosio-keagamaan dari
kelompok tertentu di Indonesia, dalam hal ini Nahdlatul Ulama.
Klaim
Nahdlatul Ulama sebagai pengusung ”Islam Nusantara”–misalnya dengan
menjadikannya sebagai tema muktamarnya yang ke-33 di Jombang beberapa waktu
lalu, yaitu ”Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”–
kian membenarkan cara pandang ini. Inilah yang disebut Najib Burhani sebagai
exceptional Islam (Nusantara). Sayangnya, ia sendiri terperangkap pada cara
pandang ini dalam memahami Islam Nusantara. Perlu satu tulisan tersendiri
untuk membongkar asumsi epistemologis semacam ini.
Namun,
pada ruang yang terbatas ini cukuplah ditekankan bahwa Islam Nusantara harus
dilihat (kembali) sebagai sebuah identitas regional yang lebih luas ketimbang
identitas kelompok tertentu semata. Dari sisi genealoginya, sejarah
pembentukan identitas regional ini (atau tepatnya, identitas sosio-keagamaan
regional) melibatkan jejaring intelektual dan interaksi perdagangan yang
bahkan bersifat lintas regional, dan dengan demikian bersifat kosmopolitan
sejak dari awalnya.
Banyak
tulisan yang telah menjelaskan dengan baik sekali sejarah pembentukan Islam
Nusantara ini misalnya Azyumardi Azra, Michael Laffan, dan lain-lain.
Selanjutnya, dari sisi pelaku, konstituen dan wilayah penyebarannya,
identitas sosio-keagamaan regional itu mencakup wilayah kepulauan yang
menjadi titik temu dari Samudera Hindia dan Pasifik.
Inilah
yang secara leksikal dikenal sebagai ”Nusantara” dan yang secara geopolitik
disebut dengan ”Asia Tenggara”. Dalam arti ini, Islam Nusantara sebagai
identitas regional mencakup tidak hanya kawasan yang sekarang menjadi negara
Indonesia, tetapi juga wilayah muslim Malaysia, Thailand Selatan (Patani),
Singapura, Filipina Selatan (Moro), dan Champa (Kampuchea).
Terlepas
dari catatan di atas, kritik Najib Burhani mengenai kecenderungan exceptional
Islam pada kalangan Nahdlatul Ulama dalam mengusung Islam Nusantara adalah
kritik yang valid meski ia sendiri sayangnya juga terjebak di dalam cara
pandang itu. Saya sendiri dalam beberapa kesempatan sudah sering mengkritik gejala
eksepsionalisme dari Islam Nusantara ini antara lain dengan menyatakan bahwa
Islam Nusantara ”mahjubun bin nahdliyyin ”, yakni dikaburkan oleh kalangan NU
sendiri.
Padahal,
seperti telah ditegaskan di muka, ia pada dasarnya merupakan identitas sosio-regional
yang mencakup wilayah Asia Tenggara secara keseluruhan. Tentu saja dalam hal
ini, masyarakat muslim Indonesia memiliki peranan yang cukup besar dan
penting, termasuk utamanya berkat kontribusi Nahdlatul Ulama, namun tidak
terlepas juga dari kontribusi Muhammadiyah dan ormas-ormas Islam di Indonesia
lainnya. Dari sisi sejarah intelektual, Islam Nusantara memiliki akar
khazanah intelektual keagamaan yang cukup kaya dan terus berkembang.
Bagi
para peneliti/ filolog naskah-naskah yang dikenaldengansebutan Jawi
manuscripts, yakni naskah yang ditulis dengan aksara Arab pegon, kekayaan
khazanah ini sudah diakui secara meluas. Sebagai misal, daftar penulis dan
naskah- naskah Jawi yang dihimpun oleh Nicholas Heer (http://faculty.
washington.ed/heer/handlist23. pdf) merupakan contoh kecil yang dapat memberi
ilustrasi mengenai kekayaan ini. Belum lagi naskah-naskah yang ditulis dengan
aksara latin, yakni yang dikenal dengan Malay manuscripts.
Sudah
banyak katalog yang telah disusun untuk menghimpun karya-karya ulama
NusantarayangberupanaskahJawi maupun Melayu ini. Untuk konteks di Indonesia
sendiri, kontribusi Islam Nusantara dalam pembentukan identitas
sosio-keagamaan nasional juga sangat besar. Di bidang hukum dan
perundang-undangan, banyak ijtihad yang khas Nusantara telah dihasilkan
misalnya pengakuan harta gono-gini dalam Kompilasi Hukum Islam, shighat
ta’liq dalam akad nikah, teori receptie a contrario hukum adat, dan
lain-lain.
Yang
menarik, salah satu signifikansi penting dari ijtihad hukum khas Islam
Nusantara ini adalah pengakuan dan penguatan yang sangat besar pada peran dan
posisi perempuan. IjtihadhukumIslam Nusantara juga terejawantah pada
perdebatan yang sangat produktif mengenai ”Fikih Indonesia” seperti antara
lain disuarakan oleh T M Hasbi Ash- Shiddiqui, MunawirSjadzali, dan
lain-lain. Saya juga berani menyatakan bahwa ijtihad konstitusi yang dewasa
ini dilakukan oleh Muhammadiyah terkait berbagai UU di bidang sumber daya
alam adalah bagian dari manifestasi Islam Nusantara, yakni dalam konteks
pergulatan Islam dengan persoalan krisis agraria dan ekologi di Indonesia.
Di
bidang politik, kontribusi Islam Nusantara sangatlah besar dan tidak
main-main. Bukankah Pancasila itu sendiri sebagai konsensus bangsa adalah
ijtihad genuine Islam Nusantara? Pancasila inilah yang memungkinkan kelahiran
negarabangsa dengan masyarakat yang sangat heterogen secara sosial-budaya
maupun agama, namun yang sekaligus menjamin nilai-nilai Islam dan peran umat
Islam memiliki pengaruh besar di dalamnya. Konsensus bangsa ini pula yang
memungkinkan kompatibiltas Islam dan demokrasi di Indonesia dan yang
menjadikan Indonesia sebagai negara demokrasi muslim terbesar di dunia.
Karena
itu, kecenderungan eksepsionalisme dalam melihat Islam Nusantara harus
dilampaui. Bukan saja oleh kalangan NU, melainkan juga oleh para pemikir
Muhammadiyah seperti Najib Burhani. Islam Nusantara harus dikembalikan
menjadi ”teks yang terbuka” dan tidak menjadi klaim satu kelompok, bahkan
jika kelompok itu merasa memiliki kontribusi yang sangat besar terhadapnya.
Islam Nusantara harus diwujudkan kembali sebagai sebuah identitas
sosio-keagamaan yang dinamis dan selalu peka terhadap konteks persoalan
sosialbudaya, politik, sosial-ekonomi, dan ekologi yang digulatinya di
kawasan Asia Tenggara.
Dalam
rangka itu, maka inilah saatnya melakukan rethinking, iiadah al-fikr,alias
pemikiran ulang atas ”warisan bersama” dan ”praktik yang hidup” dari
identitas sosio-keagamaan Islam Nusantara ini. Dan, panggilan ini berlaku
untuk seluruh umat Islam di Indonesia khususnya, dan di Asia Tenggara pada
umumnya, tanpa terkecuali.
Sebagai
sebuah identitas yang dinamis, Islam Nusantara ini harus dipikirkan ulang
relevansi dan signifikansinya bukan sebatas pada wacana keagamaan semata,
namun dalam konteks persoalan riil yang kini dihadapi di Indonesia, di
kawasan regional Asia Tenggara, maupun lebih luas di tataran global. Di satu
sisi, khazanah intelektual Islam Nusantara itu sendiri masih menyisakan
agenda penelitian yang besar untuk terus digali, dikaji, dan dikembangkan
secara terus menerus.
Khazanah
intelektual itu perlu juga dipersoalkan dari segi bagaimana proses reproduksi
dan diseminasinya berlangsung dalam sistem pendidikan Islam dan sistem
pendidikan secara umum maupun dalam wacana akademis di pergaulan
internasional. Di sisi yang lain, dari segi aktualisasi khazanah intelektual
tersebut, ada beberapa konteks struktural di mana Islam Nusantara harus
diproblematisasi lebih lanjut, justru untuk melahirkan relevansi dan
signifikansinya secara konkret.
Beberapa
problem struktural yang menjadi konteks aktualisasi Islam Nusantara dapat
dirumuskan dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut: Pertama, bagaimana
Islam Nusantara diproblematisasi dalam konteks demokrasi, kewarganegaraan,
dan hak asasi manusia? Kedua, bagaimana Islam Nusantara diproblematisasi
dalam konteks dinamika hukum Islam, adat, dan sistem hukum nasional?
Ketiga,bagaimana Islam Nusantara diproblematisasi dalam konteks ketimpangan
sosial-ekonomi dan krisis sosial- ekologis?
Keempat,
bagaimana Islam Nusantara diproblematisasi dalam konteks dinamika konflik,
perdamaian, dan keamanan manusia di kawasan Asia Tenggara? Kelima, bagaimana
Islam Nusantara diproblematisasi dalam konteks dinamika ”media baru” (media
sosial, media alternatif, dan sebagainya) dan pembentukan otoritas keagamaan?
Aktualisasi Islam Nusantara dalam berbagai konteks persoalan seperti di atas
harus menjadi kepedulian dan agenda bersama umat Islam di Indonesia tanpa
terkecuali.
Ia
juga menuntut dialog dan kerja sama yang intensif sebagai agenda regional di
antara masyarakat muslim di kawasan Asia Tenggara secara keseluruhan. Karena
itu, memahami Islam Nusantara secara sempit sebagai identitas kelompok
ataupun mendikotomikannya dengan kosmopolitanisme Islam adalah cara pandang
yang salah sasaran, myiopic, dan kontraproduktif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar