Rabu, 28 Februari 2018

Dua yang Tak Jera

Dua yang Tak Jera
Hasanudin Abdurakhman  ;   Cendekiawan; Penulis;
Kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
                                                  DETIKNEWS, 26 Februari 2018



                                                           
Dalam dua bulan ini kita menyaksikan parade penangkapan oleh aparat terhadap para pelaku dua jenis kejahatan serius, yaitu korupsi dan narkotika. Dalam waktu kurang dari dua bulan KPK sudah menetapkan 7 kepala daerah sebagai tersangka korupsi. Sebagian di antaranya adalah kasus yang terjaring operasi tangkap tangan. Bahkan ada dua hari berurutan, KPK menangkap pelaku korupsi, yaitu Bupati Subang (13 Februari), dan anggota DPRD Lampung Tengah (14 Februari). Sementara itu penangkapan penjahat narkotika juga terus terjadi. Beberapa penangkapan kapal berisi narkotika yang terjadi belakangan ini mengungkap usaha penyelundupan narkotika dalam jumlah yang mencengangkan, dalam orde ton.

Di satu sisi kita senang dengan berbagai penangkapan itu. Itu tandanya aparat kita sedang bekerja melaksanakan tugas mereka. Tapi ketika penangkapan terus terjadi, tentu kita tak bisa memaknainya sesederhana itu. Kenapa kejahatan-kejahatan serius itu terus terjadi?

Untuk memahami situasinya, kita harus meminjam logika maling. Maling yang hendak mencuri tidak pernah melupakan satu hal dalam rencananya, yaitu jalan untuk melarikan diri. Kalau maling tidak menemukan jalan itu dalam rencananya, ia tidak akan mengeksekusinya. Penjahat narkotika dan koruptor memakai logika yang sama. Kalau mereka tidak menemukan peluang untuk lolos, mereka tidak akan melakukan kejahatan.

Tapi, bukankah serentetan penangkapan itu menunjukkan bahwa tidak ada peluang untuk lolos? Salah. Justru peluang untuk lolos lebih besar. Kita bisa analisis dari kasus-kasus narkotika. Banyak usaha penyelundupan digagalkan. Tapi apakah itu berarti tidak ada narkotika yang beredar hingga ke tangan konsumen? Faktanya, ada begitu banyak yang lolos, dan dinikmati oleh para pelanggannya. Hampir setiap minggu kita melihat berita penangkapan pengguna narkotika dari kalangan pesohor. Dari kalangan non pesohor yang tidak diberitakan, lebih banyak lagi.

Dalam soal korupsi, situasinya mirip. Yang berhasil ditangkap dan ditangani KPK itu hanya secuil, puncak dari sebuah gunung es saja. Yang masih terus berlangsung, sangat banyak.Karena itulah berbagai penangkapan tadi bukan isyarat yang menggembirakan, tapi justru menyedihkan. Kejadian-kejadian itu menggambarkan bahwa para penjahat itu melihat begitu banyak peluang untuk beraksi.

Ada sejumlah kasus korupsi yang berentetan. Gubernur Sumatera Utara, misalnya, berturut-turut ditangkap karena korupsi. Gubernur Syamsul Arifin ditangkap. Penggantinya Gatot Pujo Nugroho, belakangan ditangkap juga. Provinsi Riau lebih "hebat" lagi, karena mampu mencetak "hattrick", tiga gubernurnya berturut-turut ditangkap karena korupsi, yaitu Saleh Djasit, Rusli Zainal, dan Annas Maamun. Hal yang sama terjadi di Subang, tiga bupatinya berturut-turut ditangkap dalam kasus korupsi.

Orang-orang itu tidak korupsi karena kebetulan. Boleh dikatakan, banyak orang berusaha menjadi kepala daerah agar bisa korupsi. Proses pilkada kita jelas sangat tidak masuk akal. Untuk jadi bupati atau walikota saja orang harus mengeluarkan uang bermiliar-miliar. Mustahil uang itu bisa kembali tanpa korupsi. Tapi kenapa ada yang mau keluar uang sebanyak itu? Karena mereka melihat peluang kembalinya besar.

Orang berani korupsi karena ada peluang untuk melakukannya, dan ada peluang lolos. Perhatikan bahwa sebagian besar kasus korupsi yang terungkap itu ditangani oleh KPK. Pernahkah kita mendengar lembaga pengawas seperti Inspektorat Jenderal di Kementerian membongkar kasus korupsi? Sangat sedikit. Artinya, orang berani korupsi karena tahu bahwa lembaga pengawas tidak bekerja, atau bahkan korup juga.

Kalaupun sial tertangkap, masih ada sederet kesempatan untuk lolos. Ketika sampai akhirnya divonis masuk penjara pun, para koruptor masih punya harapan untuk mendapat keistimewaan di penjara. Dengan masa hukuman hanya beberapa tahun, mereka tetap bisa hidup nikmat.

Ceritanya sama dengan para penjahat narkotika. Bahkan Kepala BNN sampai frustrasi melihat kenyataan bahwa bandar narkotika bisa tetap mengendalikan bisnisnya dari penjara. Berkali-kali kita menyaksikan berita penangkapan Kepala Lembaga Pemasyarakatan, karena terlibat dalam jaringan peredaran narkotika. Bisa kita duga bahwa yang terlibat tapi tak tertangkap jauh lebih banyak jumlahnya.

Kedua kejahatan ini berujung pada satu hal yang sama, yaitu mental korup. Aparat pemerintah korup. Mereka diangkat dan dipelihara oleh pejabat dan kepala daerah yang korup. Kepala daerah dipilih oleh rakyat yang korup. Kok rakyat yang disalahkan?

Rakyat bukan korban tak berdosa. Sistem korup ini ada karena dibiarkan ada dan dipelihara. Mengapa biaya yang dikeluarkan kandidat kepala daerah demikian besar? Karena ada begitu banyak pihak yang harus dibayar untuk memenangkan pilkada. Pembayaran itu adalah suatu bentuk korupsi. Politik uang begitu nyata terjadi, tapi kita tak pernah menyaksikan ada yang kena sanksi.

Belum lagi soal penerimaan pegawai di lembaga-lembaga pemerintah dan penegak hukum. Itu juga korup. Untuk bisa masuk, orang harus punya koneksi, atau harus membayar. Tidak heran bila pegawai dan aparat yang direkrut adalah orang-orang korup juga.

Apakah semua begitu? Tidak. Kita sedang terbelah dalam kelompok yang ingin memperbaiki, dan kelompok yang ingin bertahan. Ada upaya-upaya perbaikan, tapi masih jauh dari cukup dibanding dengan upaya untuk merusak. KPK misalnya, adalah wujud dari upaya untuk memperbaiki. Tapi kita sering mendengar usaha untuk membubarkannya.

Dua jenis kejahatan yang pelakunya belum juga jera, mengingatkan pada kita bahwa masih begitu panjang perjuangan untuk memperbaiki bangsa ini. Hal penting untuk diingat adalah, kejahatan mereka bukan sama sekali tak terhubung dengan kita. Sebenarnya, justru terhubung sangat kuat. Jera atau tidaknya mereka, tergantung pada cara kita bersikap secara kolektif. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar