Kamis, 01 Maret 2018

Jokowi, IMF, dan Pasal 33 UUD 1945

Jokowi, IMF, dan Pasal 33 UUD 1945
Budiharjo  ;   Wakil Direktur Program Pascasarjana
Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama)
                                                KORAN SINDO, 28 Februari 2018



                                                           
INTERNATIONAL Monetary Fund (IMF) menemui Pre­si­den Joko Widodo di Istana Ne­ga­ra pada Senin (26/2). Patut di­per­ta­nyakan apa yang hendak dila­ku­kan Dana Moneter ter­se­but se­telah sebelumnya ber­ha­sil men­dikte perekonomian In­donesia dengan kucuran utang.

Dihim­pun dari beberapa media, delegasi IMF yang menemui Kepala Ne­ga­ra adalah Managing Director IMF Christine Lagarde, Director Asia Pacific Depart­ment IMF Chang­yong Rhee, Director Commu­ni­cation Depart­ment IMF Gerard Thomas Rice, Secre­tary of the IMF Jianhai Lin, Se­nior Resident Repr­e­sen­tative for Indonesia, John G Nel­mes, dan Division Chief for Indonesia Asia Pacific Depart­ment IMF Luis E Breuer.

Ketika Indonesia diterpa kri­sis moneter 1998, IMF da­tang mengucurkan bantuan utang. Pinjaman yang diberikan kepada Indonesia dibarengi de­ngan sejumlah pendiktean ke­bi­jakan nasional, salah satunya pe­nge­bi­ri­an peran Bulog se­ba­gai sta­bi­litator pangan. Kita ingat foto Direktur Pelak­sa­na IMF Michel Camdessus yang me­lipat ta­ngan me­nyaksikan Pre­siden Soehar­to menan­da­tang­ani Letter of Intent  (LoI) antara pemerintah de­ngan IMF. Penanda tanganan itu men­jadi tonggak sejarah dan ber­peran sangat vital me­ru­sak sistem produksi pangan di Tanah Air.

Salah satu resep IMF yang tertuang dalam LoI adalah meng­hapus peran Bulog se­ba­gai lembaga sentral da­lam sta­bi­li­sasi harga pangan. Bahkan, Bulog tidak boleh lagi me­ngua­sai distribusi dan pro­duksi be­ras sebagai pangan uta­ma ma­sya­rakat Indonesia. Aki­batnya, Bulog tidak mampu lagi men­jaga mekanisme harga da­sar, harga atas, manajemen stok, dan operasi pasar. Padahal itu yang dulunya efektif mens­ta­bil­kan harga pangan.

Pen­dik­tean ini membuktikan Indo­ne­sia ga­gal menjaga kedaulatan di bi­dang ekonomi, khususnya pang­an. Kehadiran IMF kali ini tidak boleh membuat Indonesia kem­bali terperosok ke ku­bang­an utang dan mengikuti dikte yang coba ditebar agen-agen IMF dengan agenda liberalisme dan kapitalismenya.

IMF dengan gerbong ke­kuat­­annya tidak akan peduli dengan kedaulatan ekonomi rakyat. Bahkan, resep IMF se­te­lah Indo­nesia diterjang krisis pada 1997-1998, membuat ne­gara kian ter­perosok pada sis­tem ekonomi liberal dan ka­pitalistik. Industri-industri subs­­titusi impor yang awalnya dibanggakan dan disan­jung hampir semuanya meng­alami kontraksi negatif sangat besar.

Kondisi tersebut sebe­nar­nya berbanding terbalik jika me­ni­lik laporan Bank Dunia pada Mei 1997. Sebulan sebelum kri­sis itu, perekonomian Indo­ne­sia se­sung­guhnya tidaklah ter­la­lu bu­ruk. Dalam buku yang ber­ju­dul “Indonesia, Sustaining High Growth with Equity”, per­eko­no­mi­an Indonesia menun­juk­kan kin­erja yang baik.

PDB me­ning­kat 7,8% pada 1996 dan ting­kat inflasi turun menjadi 6,47­%. Investasi langsung dalam dan luar negeri semakin ma­­rak, sur­plus fiskal yang besar bisa di­per­tahankan, dan meskipun ber­bunga tinggi, pem­ba­yar­an utang luar negeri peme­rin­tah terus dilaksanakan. Cadang­an devisa resmi naik se­be­sar USD4 miliar selama 1996-1997.

Cuaca Tanah Air yang “te­rang benderang” tersebut tiba-tiba berubah drastis. Tak hanya hujan lebat, tetapi juga gelap. Per­tum­buhan tinggi langsung meng­alami kontraksi dan jatuh pada keadaan depresi (-13 per­sen). Inflasi melambung cepat men­ca­pai 78%. Nilai tukar uang yang se­mula berkisar Rp2.500 per dolar AS, pada puncaknya mencapai Rp17.000 per dolar AS. Dunia perbankan ambruk, utang luar negeri naik tajam, pengangguran meningkat, dan kemiskinan mem­bengkak. Ke­han­curan eko­no­mi Indonesia saat itu hampir mirip dengan depresi ekonomi yang terjadi di Amerika dan Ing­gris pada ta­hun 1930-an.

Jika dibandingkan dengan kondisi saat ini, tentu tidak ber­lebihan jika kita mewaspadai saran-saran IMF meski dengan alasan guna meningkatkan per­tum­buhan ekonomi. Pertum­buh­­an ekonomi sebesar 5% pada 2017 dinilai banyak pihak se­ba­gai stagnasi ekonomi. Daya beli masyarakat yang menurun juga men­jadi faktor melam­bat­nya per­tumbuhan ekonomi.

Apa­­lagi Pre­siden Jokowi lebih mem­fo­kus­­kan pembangunan infra­struk­­tur di daerah-daerah. Sayang­nya, program ini ter­ham­bat dengan banyaknya ke­ce­­la­kaan kerja di lapangan. Pa­dahal pembangunan infra­struk­tur dapat menyerap pe­ker­jaan dan dalam jangka pan­jang bisa memenga­ruhi per­tum­buhan ekonomi se­cara po­sitif.

Jokowi harus berani me­nun­jukkan kepribadian yang teguh atas dasar kedaulatan bang­sa dan negara. Indonesia me­miliki ideologi Pancasila yang ber­ha­dap-hadapan de­ngan glo­bal­i­sasi kapitalistik-imp­eria­listik. Per­eko­nomian Indonesia me­nganut ke­dau­lat­an rakyat (peo­ple sovereignity) se­suai dengan Pasal 33 UUD 1945.

Pasal 33 meng­ajar­kan kepada masya­ra­kat Indo­ne­sia bahwa kepe­mi­lik­an yang be­sar dikuasai negara un­tuk kese­jah­teraan dan kemakmuran orang banyak. Da­lam pasal itu juga ter­cantum dasar demokrasi eko­nomi pro­duk­si dikerjakan oleh semua dan untuk semua di ba­wah pim­pinan anggota-ang­gota ma­sya­rakat yang telah di­pi­lih secara demokratis. Ke­mak­muran masyarakat yang di­uta­makan, bukan kemak­mur­an orang per orang.

Dalam Pasal 33 ter­can­tum per­ekonomian atas dasar de­mo­krasi ekonomi, kemak­mur­an bagi semua orang. Sebab itu, cabang-ca­bang produksi yang penting ba­gi negara dan me­nguasai hidup rakyat ba­nyak ha­rus di­kua­sai negara. Kalau ti­dak, tampuk pro­duk­si jatuh ke ta­ngan individu yang berkuasa atau mere­ka yang dekat dengan kekua­sa­an.

IMF telah menunjukkan bah­wa resep mereka dalam eko­nomi adalah meng­hen­ti­kan sub­sidi dan menyerahkan pada me­kanisme pasar. Pa­da­hal ini sangat bertentangan de­ngan konstitusi kita. Urusan pa­ngan saja, IMF memereteli peran Bulog yang mengakibatkan me­ka­nisme distribusi logistik kita se­makin tidak terkendali. Pe­nye­babnya adalah pasar dija­di­kan sebagai kaisar yang kita ha­rus tunduk kepadanya.

Kita berharap Jokowi mam­pu menegakkan kepala dan tidak serta-merta tunduk atas apa yang akan diberikan IMF ke­pada Indonesia. Semoga tidak lagi terulang di mana Kepala Ne­gara kita tunduk menan­da­tangani perjanjian dengan pim­pinan IMF sambil melipat ta­ngan tanda kesombongannya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar