Sabtu, 03 Maret 2018

Memaknai Teguran Presiden

Memaknai Teguran Presiden
Nurkhamid Alfi  ;   Profesional pada Power & Infrastruktur;
Alumni Universitas Muhammadiyah Surakarta
                                                  KORAN SINDO, 02 Maret 2018



                                                           
MASIH terngiang bagai­mana marahnya Pre­siden Jokowi saat mem­buka rapat kerja Kementerian Perdagangan di Istana Merdeka pada 31 Januari lalu. Bahkan Presiden sampai mengancam akan membubarkan atase per­dagangan dan Indonesia Trade Promotion Center  (ITPC) jika ke depannya tidak ada perubahan signifikan. Ancaman ini bisa di­tangkap sebagai sinyal ke­ge­lisah­an Presiden mengingat infra­struktur yang sedang di­bangun dan telah menelan dana triliunan akan “mangkrak” dan menjadikan overheating economy  karena kurang memberikan nilai tambah pada pertumbuhan ekonomi.

Latar belakang dari ke­marah­an itu adalah volume per­da­gang­an Indonesia dalam per­caturan dunia tidak kunjung membaik, bahkan menurun jika diban­ding­kan dengan negara-negara tetangga dan investasi ke dalam negeri juga belum menggem­birakan walaupun pemerintah telah menerbitkan belasan paket kebijakan ekonomi yang sebagian besar bertujuan mem­permudah perizinan kegiatan investasi. Pemerintah juga telah berjibaku membangun fasi­litas investasi berupa keter­sediaan infrastruktur yang di­lakukan secara masif.

Kegelisahan pemerintah sangat masuk akal karena jika kedua program tersebut, yakni volume ekspor dan investasi, tidak mencapai target, bisa di­pastikan perekonomian Indo­nesia akan menjadi masalah. Ekspor dan investasi menjadi tumpuan dan strategi Presiden Jokowi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi sehing­ga capaiannya tidak melulu di angka konservatif. Di samping itu menurunkan tingkat ke­mis­kin­an dengan menambah jum­lah lapangan kerja. Itulah se­bab­nya Presiden Jokowi meng­arah­kan segala kemampuannya untuk mendukung tercapainya peningkatan volume ekspor serta masuknya investor asing dalam memperkuat mata rantai produksi dan kapasitasnya di dalam negeri.

Ujung tombak dari berhasil tidaknya target itu adalah ke­mampuan De­par­temen Per­dagangan dan atase per­da­gang­an luar negeri dalam men­jalan­kan peran agen negara pada per­caturan dagang inter­nasional.

Akselerasi Industri Manufaktur  
Seperti diketahui bahwa tolok ukur utama keberhasilan pada ekonomi makro adalah ting­kat pertumbuhan ekonomi, jumlah pengangguran, keseimbangan neraca pembayaran, dan laju inflasi. Negara akan stabil per­ekonomiannya jika mampu menata unsur-unsur ekonomi makro tersebut secara baik.

Sayangnya untuk sampai se­karang Indonesia masih banyak mengalami kendala. Pertum­buh­an ekonomi yang ditarget sebesar 5,4% di tahun 2018 ma­sih mengandalkan konsumsi ru­mah tangga. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), da­lam lima tahun terakhir, sum­bangan konsumsi rumah tang­ga terhadap produk domestik bruto (PDB) rata-rata masih ting­gi, mencapai 57%. Ini per­tumbuhan yang rapuh dan mengkhawatirkan karena tidak diimbangi dengan capaian kinerja industri manufaktur. Memang ada kenaikan capaian dari tahun ke tahun di industri manufaktur, tetapi tidak signifi­kan.

Bahkan tumbuhnya ekspor Indonesia tidak didasar­k­an pada mata-rantai pening­kat­an industri manufaktur yang stabil, tetapi disebabkan lonjakan harga komoditas. Ketidakstabilan ini bisa dilihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS). Pada 2016 nilai tambah industri manufaktur menyum­bang 20,5% terhadap PDB, naik 2,4% dari 2015 yang mencapai 18,1%. Tapi di periode triwulan III/2017 bahkan tergerus men­jadi 19,9%. Hal ini yang di­kha­watirkan banyak pihak sebagai sinyal adanya tren menuju de­industrial­isasi.

Di samping itu capaian in­dustri ma­nu­faktur juga ti­dak berkua­litas karena output -nya masih di­dominasi produk-pro­duk ber­tekno­logi rendah yang tecermin dari besarnya sum­bangan in­dus­tri ma­kan­an ter­ha­dap total ekspor hasil in­dus­tri. Struk­tur ekspor ba­rang kita ada­lah 70% dari tambang dan kebun yang tidak ada nilai tam­bah­nya dan 30% yang ber­ben­tuk produk manu­faktur, ter­ma­suk di dalam­nya industri makanan. Hal ini berbeda kualitasnya dari­pada negara tetangga kita, ter­masuk Vietnam sekalipun yang baru saja muncul dalam per­caturan dagang dunia, tetapi mampu mengekspor barang berupa manufaktur sekitar 76% dari volume ekspornya.

Vietnam ini negara yang dijadikan contoh oleh Presiden Jokowi sehingga selalu meman­tik amarahnya. Bukan Singa­pura atau Thailand dan Malaysia yang terlalu maju untuk kita. Seperti yang dipublikasikan Center for Public Policy Transformation, se­buah lembaga riset independen, Vietnam telah memulai mem­perbaiki iklim investasi dan industri dengan menciptakan sistem pelayanan terpadu sejak 1994 yang disebut sebagai One Door Department.

Akselerasi industri manu­faktur adalah keniscayaan karena mampu menjadi kunci dalam mendorong pertumbuhan eko­nomi yang berkualitas secara berkesinambungan. Dengan industri manufaktur, per­tum­buhan akan merata dan stabil serta penyerapan tenaga kerja lebih besar sehingga kon­sumsi rumah tangga bisa turut ter­akselerasi.

Dalam rangka pe­nguat­an in­dustri manufaktur, salah satu hal yang perlu diper­hatikan ada­lah menghindari adanya stagnasi karena kurang­nya in­sentif dan lingkungan pasar yang tidak men­dukung. Oleh karena itu pe­m­ben­tuk­an KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) sangat penting dan strategis bagi pemerintah untuk memberikan perlakukan khu­sus agar industri baru bisa ber­kem­bang sebagaimana mestinya. 

Hal yang sama juga terjadi pada dunia investasi. Presiden pantas marah terhadap jajar­an­nya. Upaya Presiden untuk me­ningkatkan minat investasi belum maksimal karena per­tum­buhan investasi dalam dua tahun terakhir cenderung stag­nan. Pada 2017 Badan Koor­dinasi Penanaman Modal (BKPM) men­catat adanya penanaman modal baru untuk investasi men­capai Rp692,8 triliun de­ngan pe­na­nam­an modal asing (PMA) sebe­sar 430,5 triliun. Atau mening­kat 13,1% bila di­bandingkan dengan tahun se­belumnya. Tapi hal ini tidak meng­gembirakan. Karena per­tumbuhan in­ves­tasi justru cen­de­rung turun daripada ta­hun sebelumnya. Pada 2010 inves­tasi tum­buh 20,5%. Bah­kan per­nah terjadi lonjakan inves­tasi pada 2013 sebesar 27,3%.

Persaingan dalam me­re­but investor asing bahkan lebih ru­­mit bila di­ban­­ding­kan de­ngan pe­ning­kat­an volume ekspor. Se­perti yang di­lan­­s­ir Bank Dunia, ada 3 negara ASEAN baru yang pertum­buh­an­nya akan cepat, bahkan men­capai 7%, yakni Kamboja, Laos, dan Myanmar. Kalkulasi ter­sebut berdasarkan peningkat­an infra­struktur dan diversifi­kasi ekonomi yang mereka laku­kan belakangan ini untuk menjadi the new emerging market. Mereka akan meng­ikuti Vietnam yang telah berhasil mengubah ekono­min­ya de­ngan memikat inves­tasi asing demi menopang kapa­sitas ekspor me­reka. Ke­tiganya telah meng­gan­deng China yang meningkatkan investasi mulai dari infra­struk­tur, jaringan transpor­tasi hingga properti.

Setelah menanggalkan sistem pemerintahan junta militer, Myanmar melakukan liberal­isasi ekonomi dan mengadopsi reformasi pasar seiring dengan transisi menuju demokrasi. Dan China merupakan mitra dagang terbesar dengan mem­bangun zona ekonomi khusus, pembangkit listrik, dan pela­buh­­an di pantai barat. Semen­tara Laos, sesuai dengan data dari Global Construction Review, baru saja melanjutkan proyek kereta api dengan China di Laos Utara dengan kontrak sebesar Rp75 triliun. Adapun Kamboja menjadi daya tarik khusus bagi produsen China yang merelokasi pabrik­nya sehingga dengan mudah melakukan ekspor di pasar ASEAN.

Pada acara ASEAN Investment Forum  pada 2011, sejatinya per­saingan antarnegara ASEAN untuk menarik minat investor asing dimulai. Forum itu bukan ajang membagi “kue” investasi dari negara maju, tetapi men­ciptakan free flow of investment  dengan memetakan terlebih da­hulu adanya arus masuk modal melalui foreign direct invest­ment. Mereka berlomba dengan usa­ha promosi investasi, pela­yan­an investasi, afer-care for investm­ent  sampai pada insentif fiskal dan nonfiskal.

Oleh karenanya pengaturan yang lebih serius akan tata-kelola ekonomi secara kese­luruh­an sangat diperlukan untuk meng­atasi persoalan lemahnya daya saing ekspor dan investasi ke dalam negeri agar tidak ter­jadi implikasi buruk pada pem­bangunan nasional.

1 komentar: