Varian
dan Polarisasi Nasionalis
Pradipto Niwandhono ; Pengajar pada Departemen Ilmu
Sejarah
Universitas Airlangga, Surabaya
|
KOMPAS, 03 April 2017
Salah satu sebab mengapa kalangan nasionalis atau
"abangan" tidak tanggap dan solid menghadapi ekspansi pengaruh kaum
"putihan" adalah kenyataan bahwa barisan nasionalis itu sendiri
terbelah dalam beberapa orientasi ideologis yang ada kalanya terlibat
pertentangan cukup serius.
Dalam hal ini, hampir sejak masa pasca kemerdekaan-tetapi
makin jelas pada 1960-an dan Orde Baru-golongan nasionalis bisa dikategorikan
ke tiga kelompok utama: nasionalisme sayap kiri, nasionalisme priayi Jawa
(Kejawen), dan nasionalisme militeristis yang muncul bersamaan dengan negara
Orde Baru.
Asal mula gagasan nasionalis di Indonesia bisa
dikategorikan dalam dua sumber utama. Pertama, gagasan nasionalisme yang
primordialis dan etnosentris, masing-masing diwakili gerakan nasionalisme
kultural Melayu (Sumatera) dan nasionalisme kultural Jawa. Kedua, aliran nasionalisme
sipil-kewarganegaraan yang awalnya diinisiasi kaum peranakan Eropa (Indo),
tetapi diambil alih arus utama nasionalisme Indonesia setelah pertengahan
1920-an.
Meski keduanya berbasiskan etnisitas, nasionalisme Jawa
dan nasionalisme Melayu berbeda radikal, termasuk dalam hubungannya dengan
Islam. Kaum nasionalis Jawa mengidealkan peradaban Jawa pada masa klasik
pra-Islam dan memandang periode sejarah setelah masuknya pengaruh Islam
ataupun Barat sebagai masa kemunduran. Mereka digerakkan antipati yang cukup
kuat pada Islamisme dan memandang peradaban Barat secara ambivalen,
berlawanan dengan etos ketimuran, tetapi sekaligus sebagai inspirasi untuk
emansipasi.
Basis pendukung utama nasionalisme ini adalah kaum elite
tradisional (priayi) dan masyarakat yang hampir sepenuhnya bertumpu pada
sektor agraris-subsisten. Kaum nasionalis berbasis kebudayaan Melayu, yang
bersifat maritim dan kosmopolitan, merupakan kelompok yang lebih terbuka pada
pengaruh Islam ataupun Barat serta memiliki basis dukungannya pada kelas
menengah baru yang dimunculkan politik etis negara kolonial. Mereka melihat
Islam sebagai satu faktor pemersatu kaum pribumi yang tak boleh diabaikan
sekaligus siap menyerap modernitas Barat sebagai jalan menuju pembebasan.
Jika kaum nasionalis "Jawa" mengembangkan bentuk
kepemimpinan politis yang dalam klasifikasi Weberian termasuk kategori
tradisionalis dan karismatik, kaum nasionalis "Melayu" lebih
cenderung pada model legal-rasional dan teknokratik.
Bertransformasi
Kedua aliran nasionalis itu bertransformasi ketika bertemu
dengan gagasan nasionalisme model Indisch yang didukung kaum Indo-Eropa
ataupun kaum bumiputra yang menempuh pendidikan di Nederland.
Kaum nasionalis Melayu unggul dalam menahbiskan Islam
sebagai elemen pemersatu dan menjadikan bahasa lingua-franca Melayu sebagai
bahasa resmi Indonesia.
Selama masa transisi menuju kemerdekaan (1942-1950),
perbedaan di antara kedua varian lokal nasionalisme itu sedikit banyak
melebur. Adalah kaum nasionalis berlatar Sumatera (Melayu-Minangkabau) yang
berperan sebagai penengah antara golongan Islamis dan aspirasinya untuk
negara yang mengakui syariat Islam dengan golongan nasionalis Jawa dan
Kristen Indonesia timur yang menolak sama sekali ideologi Islam dalam politik
kenegaraan.
Akan tetapi, polarisasi kembali mengemuka setelah krisis
pada akhir 1950-an, ketika terjadi disintegrasi kepemimpinan nasional antara
Soekarno sebagai representasi dunia Jawa-Bali dan Hatta sebagai representasi
dunia Melayu nir-Jawa. Pada saat itu muncul kelompok baru sebagai pendukung
wacana nasionalis di Indonesia. Pertama, golongan militer dengan idenya
menciptakan negara korporatis dan terbebas dari politik
"sektarian".
Kedua, golongan komunis yang sementara itu telah
mengadaptasi doktrin kelas Marxis- nya dengan retorika nasionalisme Soekarno
untuk menuntaskan dekolonisasi dan "revolusi" yang belum selesai.
Kedua kelompok itu menjadi pilar penopang sistem Demokrasi Terpimpin
Soekarno.
Dengan demikian, pasca krisis politik 1965-1966 hingga
sekarang bisa dikatakan terdapat tiga varian utama nasionalisme. Nasionalisme
kekirian bisa dikatakan kelompok yang paling parah mengalami ditindas Orde
Baru Soeharto. Pandangan paling mendasar aliran "nasionalisme kiri"
adalah bahwa perjuangan anti-kolonial ekuivalen dengan perjuangan anti
eksploitasi, baik yang feodalis maupun kapitalis, dan bahwa proses itu akan
terus berlanjut selama dominasi Barat masih berpengaruh.
Dosa sejarah Orde Baru
Bagi mereka, Orde Baru tidak saja menanggung dosa sejarah
atas pembantaian massal golongan kiri, tetapi juga telah mengkhianati visi
politik nasionalis dengan membuka Indonesia bagi kapitalisme Barat.
Sebaliknya, bagi mereka, Soekarno itu figur ideolog dan pendiri bangsa yang
tanpa cela sehingga jika terdapat "noda" dari periode Soekarno, itu
adalah kesalahan lawannya, baik kaum militer maupun sipil seperti PSI dan
Masyumi.
Kelompok kedua, kaum nasionalis Jawa (yang sedikit banyak
terwakili sayap kanan PNI) agak sedikit berbeda nasibnya. Meski mendukung
Soekarno sebagai bapak bangsa, mereka tak melihat Orde Baru Soeharto secara
esensial berlawanan dengan visi politik Soekarno. Dalam beberapa hal bahkan
dapat dikatakan, Orde Baru merupakan penerus Demokrasi Terpimpin Soekarno,
suatu pandangan yang dalam banyak hal memang benar adanya karena periode
inilah yang memungkinkan kaum militer memiliki peran politik lebih dari masa
sebelumnya.
Soeharto mendukung dan memperkuat ideologi Pancasila yang
merupakan temuan Soekarno meski memperlakukannya sebagai ideologi tertutup
dan penafsirannya negara-sentris.
Kelompok terakhir, yaitu kaum militer dan ideologinya,
bagi saya cukup layak diletakkan dalam spektrum politik nasionalis meski ini
akan ditolak oleh sebagian besar kalangan kiri.
Demikian pula keberadaan kaum teknokrat berorientasi
Barat, yang merupakan kelanjutan dari tradisi sosdem dan Islam modernis
kalangan nasionalis berorientasi "Melayu", sebagaimana disebutkan
di atas, selama periode Orde Baru awal memiliki peran yang penting.
Meskipun militer Indonesia sedikit banyak merupakan
bentukan Jepang masa fasisme dan terdapat indoktrinasi yang bersifat
totaliter, terdapat perbedaan kontras dengan sistem fasis di Barat pada
umumnya, khususnya dalam hal kecenderungan Orba Soeharto untuk melakukan
depolitisasi dan penciptaan "massa mengambang", sementara sistem
fasis pada umumnya cenderung pada mobilisasi sosial warganya.
Negara Orde Baru merupakan rezim birokratik-militer yang
dengan sadar menyatukan diri dalam sistem ekonomi-politik developmentalis
yang berorientasi Barat meski secara normatif-ideologis Orba berpegang pada
kenetralan Dunia Ketiga (baca: nonblok) sebagaimana diwarisi dari rezim
pendahulunya.
Meski sistem politiknya telah runtuh pada krisis
ekonomi-politik tahun 1997-1998, ideologi warisan Orde Baru yang saya sebut
sebagai "nasionalisme militeris" kenyataannya masih memiliki
pengaruh besar. Pemerintahan Joko Widodo yang telah menciptakan polarisasi
antara haluan nasionalis-sayap kiri dan nasionalis Jawa di satu sisi dengan
kaum Islamis (Islam politik) di sisi lain bukan tidak mungkin merupakan
bagian dari permainan politik mereka.
Ketika krisis politik yang kemudian direspons dengan
adanya wacana pembubaran ormas "radikal" dan intoleran, boleh jadi
hal tersebut merupakan awal dari upaya menciptakan Demokrasi Terpimpin jilid
kedua yang akan mengantarkan kaum militeris bagian sentral, siapa pun yang
akan keluar sebagai pemenangnya kelak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar