Setelah
Trump Dilantik
Chusnan Maghribi ;
Alumnus Hubungan Internasional FISIP
Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta (UMY)
|
SUARA
MERDEKA, 20 Januari 2017
DIPASTIKAN
tidak semua warga Amerika Serikat (AS) antusias menyambut pelantikan Donald Trump
sebagai presiden ke-45 pada 20 Januari ini di The Lincoln Memorial Washington
DC. Malah tidak sedikit di antara warga AS dari kelas menengah ke atas
memboikot acara pelantikan tersebut. Mereka terutama dari kalangan selebriti
dan politisi (anggota Kongres).
Sederet
nama selebriti senior papan atas semisal David Foster dan Meryl Strep jauh
hari sudah mengungkapkan boikotnya, tidak (akan) ambil bagian dalam acara
pesta pelantikan Trump. Ini tentu mudah dimengerti. Sebagian besar artis
Hollywood mendukung kandidat presiden Hillary Rodham Clinton dari Partai
Demokrat dalam pemilihan presiden (pilpres) AS, 8 November 2016.
Dari
kalangan politisi, sekurangnya terdapat 26 anggota Kongres dari Partai
Demokrat yang memastikan diri tidak hadir dalam pelantikan Trump, di
antaranya adalah John Lewis dari Negara Bagian Georgia, Tvette Clarke dari
New York, Ted Lieu dari California, Luis Guttierres dari Illinois, dan
Katherine Clark dari Massachusetts.
Alasan
mereka memboikot cukup beragam. John Lewis misalnya, politisi senior
sekaligus pejuang hak-hak sipil AS ini mengatakan dirinya memboikot
pelantikan Trump lantaran menganggap kemenangan Trump dalam pilpres November
tahun lalu tidak sah karena dibantu intelijen Rusia dengan melancarkan
serangan siber terhadap Partai Demokrat.
Sikap
atau pandangan Lewis ini membuat Trump naik pitam dan lewat tweet-nya dia
meminta Lewis agar tidak banyak omong serta menyarankan untuk fokus mengurus
konstituennya saja. Statemen Trump ini memicu kecaman rekan-rekan sejawat
Lewis terhadap Trump.
Katherine
Clark menyatakan dirinya memboikot karena takut (khawatir) jika
antiperempuan, anti-imigran, antimuslim, dan janji-janji yang memecah-belah
yang menjadi kampanye Trump akan nyata-nyata menjadi kebijakan-kebijakan yang
berpengaruh pada kesehatan, keamanan, dan keselamatan hidup warga AS. Lantas,
apa arti semua itu? Tentu, itu semua berarti penanda kegagalan Trump
‘’mengambil hati’’ segenap pihak yang sikap (pilihan) politiknya
berseberangan.
Pidato
kemenangan yang disampaikan tak lama setelah pasangan Donal Trump- Mike Pence
ditetapkan sebagai pemenang pilpres 8 November 2016, yang salah satu isinya
mengajak segenap elemen masyarakat AS untuk bersama-sama bekerja keras meraih
kembali kejayaan negeri, tidak cukup ampuh mendorong (membujuk) warga
pendukung Hillary Clinton legawa menerima kemenangan Trump.
Trump
gagal merangkul segenap pihak yang berseberangan. Bukti atau penanda lain
adalah, setelah pasangan Donald Trump-Mike Pence ditetapkan sebagai pemenang
pilpres, tidak jarang pihak-pihak berseberangan menggelar aksi protes
terhadap presiden terpilih dengan mengangkat berbagai isu, mulai dari
kekhawatiran sebagian masyarakat atas supremasi kulit putih di Gedung Putih
hingga (kemungkinan) terbentuknya ‘’kabinet horor’’ lantaran sebagian
pembantu (menteri maupun penjabat setingkat menteri) yang diangkat Trump
terdiri dari sosok-sosok ultrakonservatif semisal Jeff Sessions (69) yang
pada 18 November 2016 dipilih untuk menempati pos Jaksa Agung, Letjen (Purn)
Michael Flynn (57) yang ditunjuk sebagai Penasihat Keamanan Nasional, dan
anggota Kongres Mike Pompeo (52) yang dipilih sebagai Kepala CIA (Central
Intelligence Agency).
Pembentukan
kabinet horor benar-benar bisa menjelma menjadi kenyataan bilamana
sosok-sosok kontroversial seperti Jenderal James ‘’Mad Dog’’Mattis (66), Kris
Kobach, Rex Tillerson dan Mitt Romney jadi turut mengisi jajaran kabinet
Presiden Trump.
James
Mattis disebutsebut sebagai calon favorit penjabat Menteri Pertahanan. Mattis
adalah seorang pensiunan jenderal Angkatan Laut dari korps marinir yang
memimpin komando sentral AS periode 2010-1013.
Mattis
pernah ditugaskan mengawasi penarikan pasukan dari Irak dan Afghanistan. Kris
Kobach digadang-gadang bakal menempati salah satu posisi penasihat penting di
lingkaran presiden. Petinggi Urusan Luar Negeri Negara Bagian Kansas inilah
yang menggagas (rencana) pembangunan tembok tinggi yang memisahkan AS dengan
Meksiko, yang kemudian dikampanyekan oleh Trump dalam pilpres 2016.
Sedangkan
Rex Tillerson dan Mitt Romney berebut kursi menteri luar negeri (menlu).
Trump diperkirakan bakal memilih Tillerson atau Romney yang memiliki karakter
nyaris sama, yakni cenderung agresif dan ofensif, untuk menjabat menlu.
Siapa
pun yang bakal dipilih jadi menlu dari dua sosok tersebut, tentu hal itu
menjadi sinyal kurang baik terutama dalam upaya mengatasi berbagai konflik
(perang) terbuka maupun ketegangan-ketegangan yang tengah berkecamuk di
berbagai belahan bumi dewasa ini. Akankah Trump akhirnya benar-benar
membentuk kabinet horor? Kita tunggu saja perkembangan politik dalam negeri
AS khususnya setelah dia resmi dilantik menjadi presiden ke- 45 pada tanggal
20 Januari 2017 ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar