Minggu, 17 Desember 2017

Dari Sekolah Ramah Anak ke Sekolah Rumah Anak

Dari Sekolah Ramah Anak ke Sekolah Rumah Anak
Seto Mulyadi ;  Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia;
Ketua Umum Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (Asah Pena)
                                          MEDIA INDONESIA, 14 Desember 2017



                                                           
INSTRUKSI Presiden tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental diterbitkan menjelang akhir tahun lalu. Salah satu isinya ialah poin tentang sekolah sebagai basis, di samping rumah, penciptaan lingkungan nirkekerasan dan ramah anak. Mari kita kupas satu per satu. Mulai nirkekerasan.

Inpres tersebut memang baru keluar menjelang Indonesia masuk ke 2017. Namun, ihwal sekolah sebagai lingkungan nirkekerasan, sepanjang ingatan saya, sebenarnya sudah menjadi isu aktual sejak 1980-an. Itulah yang tecermin pada lagu Omar Bakri-nya Iwan Fals. Di salah satu baitnya, Pak Guru Bakri diceritakan terkejut bukan alang-kepalang karena di pekarangan sekolah banyak polisi. Penyebabnya mirip situasi zaman now, pelajar tawuran.

Kian mencekam karena pada kurun yang tak terpaut jauh menggelegar warta tentang tragedi kekerasan yang dialami seorang bocah bernama Arie Hangara. Anak malang itu meninggal dunia akibat kekerasan beruntun yang dilakukan orangtuanya sendiri.

Beruntung, pada masa itu, masalah siswa adu gelut dan anak menyongsong maut seolah menemukan penawarnya dari program Penataran P4 dan sejumlah mata pelajaran terkait dengan budi pekerti, semisal pendidikan agama, pendidikan moral Pancasila, dan pendidikan sejarah perjuangan bangsa.

Sejak sebelum keluarnya Inpres GN Revolusi Mental hingga kini, dalam rangka merealisasikan sekolah sebagai lingkungan tanpa kekerasan, saya mengusulkan diadakannya borang akreditasi yang secara khusus menakar sekaligus mendorong lembaga pendidikan agar benar-benar peduli akan hal tersebut. Seiring dengan itu, bila perlu, sertifikasi pengajar pun dapat menjadi taruhan bagi guru yang kedapatan melakukan kekerasan terhadap anak didik.

Sekolah tentu tak cukup jika hanya mampu menjadikan lingkungannya steril dari kekerasan. Karena itulah, dari Oemar Bakri-nya Iwan Fals, kita putar kenangan ke lagu Ibu Guru Kami karya Mochtar Embut. Beda nuansa dengan kisah guru yang dinyanyikan Iwan Fals, Pak Mochtar berkisah tentang seorang guru yang pandai bernyanyi, pandai bercerita, dan ini dia asyik sekali. ‘Asyik sekali’ sungguh-sungguh merepresentasikan sosok guru yang menyenangkan dan suasana sekolah yang membahagiakan.

Sekolah yang asyik sekali, jika diterjemahkan ke terma masa kini, kiranya sebangun dengan sekolah ramah anak (SRA). SRA ialah sekolah yang secara terencana berikhtiar memenuhi hak-hak anak. Suatu sekolah dapat disebut sebagai SRA ketika ia sudah berhasil menjadikan lingkungannya sehat, asri, inklusif, dan nyaman bagi semua siswa, tak terkecuali siswa berkebutuhan khusus. Definisi UNICEF tentang sekolah ramah anak (child-friendly school) tampaknya lebih komprehensif lagi, yakni meliputi aman secara fisik, tenteram dari sisi batiniah, dan memberdayakan anak secara psikologis.

Untuk mewujudkan SRA, diperlukan sinergi di antara tiga pihak yang mencakup sekolah, keluarga, dan masyarakat. Pada sisi itu, terlihat benang merah antara prasyarat SRA dan Inpres GN Revolusi Mental, yaitu kemitraan antara sekolah dan keluarga (rumah) anak. Akan tetapi, pertanyaan muncul, bagaimana perwujudan kemitraan sekolah dan rumah tersebut?

Saya mengidamkan suatu sistem pendidikan yang membuka ruang semaksimal mungkin bagi orangtua dan sekolah untuk merancang program bersama sesuai dengan kebutuhan siswa masing-masing. Puncak dari gagasan ini sebenarnya ialah program sekolah rumah atau yang saat ini populer dengan sebutan homeschooling.

Artinya, sekolah menyediakan dua opsi, anak belajar di sekolah ataupun anak belajar di rumah. Itu masalah lingkungannya. Esensi muatannya ialah rancangan program yang benar-benar fleksibel sebagai tanggapan terhadap keunikan setiap siswa, dan keunikan itu hanya bisa disikapi secara pas manakala orangtua dan sekolah bersedia duduk bersama dan menyusun 'puzzle' juga bersama-sama

Getir, tetapi sejujurnya, angan tentang SRA sedemikian rupa diilhami hasil pengamatan saya terhadap peranti lunak pendidikan serta para pembinanya yang masih membutuhkan waktu tak sebentar untuk mengukuhkan kesiapan mereka dalam memahami siswa sebagai individu (anak) unik yang khas satu sama lain.

Dihubungkan dengan aspek penyelenggaraan SRA, sekolah memang dituntut untuk menyesuaikan programnya dengan anak. Maknanya, program pendidikan diselaraskan dengan rangkaian tahap perkembangan anak. Sepintas, itu sudah ideal. Namun, saya tidak yakin benar bahwa upaya penyelarasan itu akan berlangsung optimal andaikan orangtua selaku pihak yang diasumsikan paling mengerti kondisi anak--terkesampingkan. Ketidaksiapan itu berdampak pada terbentuknya--sadar maupun tidak pemaksaan agar siswalah yang harus menyesuaikan diri dengan standar-standar yang diciptakan.

Sekolah rumah

Rancangan pendidikan yang sepenuhnya berorientasi pada kekhasan individual anak, sehingga bersifat sangat customizable, memang bisa memberatkan guru. Toh, sekolah bukan kursus privat. Guru-guru pun terkondisi untuk mengajar dalam situasi klasikal, bukan guru les individual. Pemafhuman akan kendala itulah yang, seperti saya tulis di atas, meyakinkan saya bahwa betapa indahnya apabila pada beberapa kasus peran guru juga dapat diambil alih oleh orangtua siswa sendiri. Format pendidikan paling pas untuk ini adalah sekolah rumah.

Format sekolah rumah senyatanya menyediakan jalan keluar bagi sekian banyak isu di dunia pendidikan kita. Mulai renggangnya kualitas serta minimnya kuantitas waktu interaksi antara anak dan orangtua hingga 'mahal'-nya biaya pengadaan sarana dan prasarana sekolah yang harus ditanggung negara.

Problem terkait dengan rasio jumlah siswa dan jumlah guru juga niscaya teratasi. Muatan dan perlengkapan belajar lebih sesuai dengan kemampuan belajar dan kepribadian siswa. Kesesuaian tersebut yang menjadi penjelasan atas berbagai temuan bahwa pencapaian akademis anak-anak yang mengikuti sekolah rumah ternyata menyamai bahkan dalam beberapa kasus mengungguli anak-anak peserta sekolah berformat konvensional.

Kelebihan lain sekolah rumah ialah anak terhindar dari jam belajar yang meletihkan. Ketika anak sedang sakit, anak tidak lagi harus kehilangan jam pelajaran karena tidak ke sekolah. Satu lagi nilai tambah sekolah rumah adalah, ini boleh jadi situasi khusus yang ada di Indonesia, risiko kekerasan dan perundungan oleh sesama siswa lebih dapat ditekan.

Asli Indonesia

Hingga saat ini masih banyak kalangan menyangka bahwa program sekolah rumah merupakan hasil impor dari program pendidikan yang diinovasi dan diterapkan di luar negeri. Anggapan itu keliru! Banyak tokoh pemimpin zaman old yang juga merupakan hasil didikan sekolah rumah. Salah satunya, publik tentu tidak lupa bahwa tokoh besar sekaliber Bung Karno juga merupakan produk dari pendidikan berformat sekolah rumah. Sang Pemimpin Besar Revolusi memang pernah menempuh pendidikan ala konvensional, yaitu di sekolah. Namun sejarah mencatat, Haji Oemar Said (HOS) Cokroaminoto adalah guru sejati Bung Karno. Rumah Cokroaminoto di Gang Peneleh adalah sekolah rumah tempat Soekarno belia ditempa menjadi intelektual, pecinta Islam, ideolog, insan bervisi kebangsaan, sekaligus orator ulung.

Di rumahnya, Cokroaminoto memberikan banyak buku kelas berat ke anak didik kesayangannya itu. Di kamarnya yang tanpa jendela, Soekarno remaja mengasah kemampuan pidatonya. Program pendidikan rumah bukan berarti anak melulu di rumah. Itu pula yang dilakukan Cokroaminoto. Soekarno diajaknya melakukan perjalanan ke banyak daerah dan bertemu dengan perkumpulan-perkumpulan masyarakat. Aktivitas luar rumah itu memberikan kesempatan kepada Soekarno untuk menyimak bagaimana Cokroaminoto mengajarkan agama sekaligus mengartikulasikan dialektika pemikirannya.

Hubungan keduanya bahkan melampaui level relasi guru dan murid. Di hati Soekarno, Cokroaminoto laksana orangtua biologisnya. Terbukti, ketika istri Cokroaminoto wafat, Soekarno memutuskan menikahi putri Cokroaminoto guna mengatasi kesedihan 'ayah'-nya itu. Kelekatan sedemikian hangat seperti itu--sekali lagi--merupakan keistimewaan yang bisa diciptakan dalam pendidikan berformat sekolah rumah. Ke sanalah, ke keadaan di Gang Peneleh itulah, saya mengangankan situasi pendidikan Indonesia 2018. Dari sekolah nirkekerasan ke sekolah ramah anak, lalu puncaknya sekolah rumah anak. Semoga. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar