Jumat, 05 Januari 2018

Tahun, Tahan, dan Hantu

Tahun, Tahan, dan Hantu
Lasarus Jehamat ;  Dosen Sosiologi FISIP Undana Kupang
                                          MEDIA INDONESIA, 27 Desember 2017



                                                           
SAAT akhir tahun telah tiba. Hiruk-pikuk manusia, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai entitas sosial, perlahan-lahan menuju akhir. Sebuah akhir yang temporer dan bukan purna. Disebut temporer karena akhir tahun hanyalah sebuah masa di saat kita mempersiapkan segala sesuatu untuk sesuatu yang baru pula.

Karena sifatnya yang demikian, permenungan di ruang asketik laik dilakukan dan wajib. Renung berarti memeriksa semua hal terkait dengan kehidupan diri dan sosial kita. Entitas Indonesia harus bisa memeriksa semua hal terkait dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Permenungan harus dilakukan agar di tahun yang baru nanti, sebagai bangsa, kita tidak seperti keledai dungu yang jatuh di lubang yang sama. Dalam kerangka itu kita wajib menyebut tahan dan harus menyertakan hantu. Sebabnya sangat sederhana. Sebagai sebuah bangsa, beragam soal dan masalah kerap menyertai perjalanan bangsa ini selama tahun berjalan. Daya tahan kita sebagai sebuah bangsa memang tengah diuji oleh ulah kita sendiri dalam berbagai aspek.

Dua realitas

Dalam Menulis Politik, RI sebagai Utopia, Kleden (2001) pernah menyitir bahwa dunia ini memiliki dua realitas, realitas simbolis dan sosial. Aturan dan hukum wujud dari dunia simbolis itu, sedangkan praktik aturan dan hukum bagian dari realitas sosial. Das sollen das sein dalam bahasa filsafat. Dua dunia ini memiliki rasionalitas dan argumentasi masing-masing. Semuanya mengarah ke satu tujuan. Kemaslahatan umat manusia. Kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat.

Yang ingin disampaikan Kleden sebetulnya soal tumpukan aturan di ruang-ruang dan gedung ber­tingkat, tetapi aturan itu ternyata tidak berjalan di ruang sosial. Keinginan di dunia ideal tidak berjalan liner dengan yang di­praktikkan di dunia sosial. Menurut Kleden, hal itu disebabkan kita terlampau sibuk mengutak-atik aturan di dunia ideal tetapi tidak mempraktikkan aturan itu di dunia sosial.

Akibatnya, RI menjadi negara utopia. Negara angan-angan. Utopia adalah hantu itu sendiri. Kleden mewanti para pengambil kebijakan di republik ini untuk tidak hanya terjebak dalam menghasilkan banyak aturan. Setumpuk aturan yang dibuat menjadi sia-sia jika aturan itu tidak dipraktikkan di level sosial.

Dalam banyak kasus, perubahan itu sendiri bisa saja disebut hantu. Orang menyebutnya hantu perubahan. Disebutkan demikian karena setiap perubahan selalu memunculkan akibat lanjutan, entah positif dan bisa juga negatif. Semua yang memiliki iman pasti mengatakan bahwa Roh Absolut yang disebut Tuhan itu menginginkan manusia yang diciptakan-Nya bisa berubah ke arah yang lebih baik dengan cara yang sangat manusiawi. Pernyataan ini bermakna bahwa siapa pun harus berjalan dalam koridor yang telah dibuat dan disepakati bersama agar perubahan itu mendatangkan kebahagiaan dan bukan mengarah ke hal-hal negatif. Di sini titik lemah kita sebagai manusia individu dan elemen sosial kita. Kita gemar menyebut perubahan, tetapi tetap pula memegang teguh status quo.

Hantu sosial politik

Kita hidup di dunia sosial. Dunia sosial kita nyaris dipenuhi hantu. Ini yang harus diakui. Membaca pemberitaan media dan melihat langsung realitas sosial, sulit untuk tidak mengatakan bahwa hantu bergentayangan di mana-mana dan di hampir setiap aspek, agama, politik, keluarga, negara, pendidikan, dan beberapa lembaga lain. Di ruang agama, hantu tidak hanya muncul dalam narasi besar keselamatan jiwa yang sering disampaikan elite agama. Ketika agama dan elite agama menutup mata dan menyumbat telinga dengan realitas kemiskinan umat, hantu agama muncul di situ. Hantu agama bisa hilang jika uang yang masuk ke kas gereja, misalnya, dipakai untuk kesejahteraan umat beragama.

Ketika politik diisi dengan beragam janji, hantu politik mulai muncul. Elite politik yang ingin mendapatkan kekuasaan jelas menjanjikan sesuatu yang baik kepada rakyatnya. Fakta menunjukkan sampai hari ini, kita semua terjebak dalam kemiskinan.

Di ruang politik lokal, pilkada memang bukanlah hantu saat ini. Sebab, pilkada memang sungguh-sungguh dilakukan. Akan tetapi, tahukah kita bahwa pilkada sebenarnya menyimpan hantu sekaligus? Pilkada menjadi hantu manakala diisi dengan beragam janji politik tanpa bukti.

Masyarakat akhirnya lelap tertidur karena janji itu. Hantu di titik ini bisa menyebabkan kita semua tidak sadar diri. Toh buah akhir pilkada hanya menguntungkan satu dua elite kekuasaan. Banyak orang gigit jari atas pilkada itu.

Indonesia akan memasuki tahun politik. Aroma persaingan dalam arena politik terus menghiasi wajah sosial Indonesia. Semua pihak wajib waspada. Waspada mungkin bukan karena ketidaktenangan republik. Waspada karena, bukan tidak mungkin, hantu yang disebutkan di atas, di berbagai level kehidupan, segera berubah menjadi kenyataan.

Berkaitan dengan tahun politik, hantu utama bangsa kita adalah keterpecahan sosial. Sebagai entitas politik, hantu dasarnya adalah beragam janji kampanye dari mereka yang akan berkontestasi. Mempraktikkan aturan dan membumikan beragam nilai menjadi sebuah keniscayaan. Negara tidak cukup melahirkan banyak aturan. Kita menjadi bangsa yang bisa bertahan hidup jika negara dalam diri elite negara dan kekuasaan mempraktikkan aturan itu di masyarakat. Tanpa itu, Indonesia tetap menjadi utopia, hantu sosial, politik, agama, dan negara terus membayangi kita. Itulah makna tahun, tahan, dan hantu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar