Rabu, 17 Januari 2018

Teori Baru Otonomi Indonesia

Teori Baru Otonomi Indonesia
Irfan Ridwan Maksum  ;  Guru Besar Tetap FIA UI; 
Ketua Cluster Studi dan Pengembangan Otonomi Daerah
                                                      KOMPAS, 16 Januari 2018



                                                           
Tahun 2018 dan 2019 adalah tahun politik bagi bangsa Indonesia, menyusul pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden bahkan pemilihan anggota legislatif yang akan dihadapi. Imbas tahun politik sangatlah besar terhadap praktik otonomi di Indonesia. Praktik otonomi dan pemerintahan daerah di Indonesia ini bahkan mampu menyumbangkan akumulasi teoretis dalam bidang otonomi. Spektrum teori otonomi yang dihasilkan pun luas, sejalan dengan praktiknya.

Sebetulnya teori tersebut tumbuh karena adanya anomali praktik otonomi di Indonesia dibandingkan teori-teori lama yang sudah dipahami baik oleh kalangan akademisi maupun praktisi.

Teori-teori lama

Pertama, pemilihan kepala daerah secara langsung tidak dikenal dalam praktik pemerintahan daerah yang berkiblat ke Eropa kontinental dengan wajah adanya wakil pemerintah daerah yang melekat pada kepala daerah (dual function). Di mana pun di dunia ini, di belahan negara di luar Indonesia yang mengenal sistem wakil pemerintah yang juga diemban kepala daerah, tidak dilakukan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh masyarakat (Humes IV: 1991).

Sebab-musababnya, wakil pemerintah dengan pemerintah adalah satu kesatuan bangunan dalam interes yang sama. Jika pemilihan diserahkan secara mutlak pada kemauan publik lokal, itu artinya mengakui perbedaan interes. Dengan demikian tidak ada negara penganut wakil pemerintah yang menggunakan sistem pemilihan kepala daerah secara langsung oleh masyarakat lokal secara mutlak. Logikanya, masyarakat secara nasional telah menyerahkan mandatnya kepada kepala pemerintahan yang dipilih secara nasional, terlebih dengan pemilihan presiden secara langsung. Sistemnya adalah biarkan pemerintah menentukan siapa wakil pemerintahnya di tingkat lokal yang kebetulan juga sebagai kepala daerah.

Jika dilakukan pemungutan suara di tingkat lokal, baik langsung maupun tidak, itu sifatnya untuk memastikan derajat penerimaan masyarakatnya saja, tidak menentukan calon jadi. Penentu tetap pemerintah sebagai pemegang mandat masyarakat secara nasional. Itu yang terjadi di dalam praktik internasional.

Kedua, dalam praktik internasional, gubernur sebagai wakil pemerintah diamanati memegang urusan pemerintahan umum, bukan urusan sektoral yang datangnya dari kementerian/lembaga. Jika terdapat kekosongan pengampu urusan di tingkat lokal, maka dapat dengan asas freies-ermessen mengambil alih urusan tersebut. Namun, tidak diamanati secara eksplisit dalam peraturan perundangan untuk menerima urusan dari sektor pemerintahan tingkat nasional. Dengan demikian, dekonsentrasi untuk urusan sektoral dilakukan hanya kepada instansi vertikal masing-masing sektor, bukan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah.

Ketiga, dalam manajemen urusan aparatur sipil negara (ASN) sangat jelas pengelolaan antara hal yang strategis dan teknis, antara yang menjadi domain pemerintah pusat dan domain pemerintah daerah. Manajemen urusan ASN di Indonesia diwarnai urusan-urusan strategis dan teknis yang dilakukan bersama- sama akibat salah pemahaman tentang urusan ”konkuren”.

Keempat, pendanaan pemerintahan daerah harus dikembangkan dari kejelasan fungsi-fungsi yang diemban oleh unit pemerintah dengan mengacu secara konsisten asas-asas pemerintahan. Sumber keuangan akibat penerapan asas sentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan berasal dari APBN, sedangkan asas desentralisasi dari APBD. Alokasi pusat ke daerah di luar asas-asas pemerintahan tersebut dilakukan dengan hibah, pinjaman, dan mekanisme yang tidak bertentangan dengan asas-asas pemerintahan di atas.

Kelima, intervensi pemerintah pusat seminimal mungkin dilakukan sejauh manajemen internal pemerintahan daerah melalui desentralisasi dapat dikembangkan dengan jelas berdasarkan pembagian urusan yang konsisten. Pemerintah pusat berperan untuk fasilitator, melakukan bimbingan teknis dan pengawasan terhadap pelaksanaan otonomi. Kapasitas pemerintah daerah dalam hal ini menjadi kata kunci.

Kelima teori tersebut berjalan dalam kondisi normal di tingkat internasional. Dalam pemerintahan negara-negara maju di tingkat internasional, sekalipun kondisi politik berguncang, teori tersebut berjalan pada tataran empirisnya. Berbeda dengan di Indonesia yang telah mengalami guncangan politik kemudian normal kembali, tetapi teori-teori tersebut bergerak menuju anomali. Kelima anomali tersebut di atas tampak terpelihara sehingga berakibat lahir teori baru otonomi dan pemerintahan daerah dari praktik Indonesia.

Implikasi teoretis dan kebijakan

Gegap gempita menyambut pilkada langsung yang terjadi di Indonesia, yang tidak dikaitkan dengan sistem pemerintahan daerah, menjadikan teori lama seolah menjadi praktik konvensional, bahkan dapat dikatakan menjadi paradigma lama. Implikasi kebijakannya adalah bangsa Indonesia harus mampu mengatasi keganjilan-keganjilan yang akan dihadapi kelak.

Bangsa Indonesia juga harus menjawab pertanyaan untuk apa sistem wakil pemerintah diacu dalam praktik Indonesia. Bangsa Indonesia lebih memilih praktik otonomi dan pemerintahan daerah yang ingar-bingar yang menyenangkan hati daripada yang mampu membuat kelembagaan negara semakin kuat dan berkualitas. Mungkin juga tidak akan dirasakan keganjilan-keganjilan yang terjadi.

Secara internal di setiap daerah otonom juga akan dihadapi persoalan manajemen urusan pemerintahan daerah yang bukan ditangani oleh ahlinya. Instansi vertikal enggan dibuka di daerah, padahal urusan tertentu harus diemban oleh pusat dan menuntut keseragaman di semua tempat secara nasional di Indonesia.

Berikutnya, harus diatasi tambal sulam mengurusi ASN Indonesia dengan tidak mengetahui arah yang pasti ke depan. Celakanya, dalam tata kelola keuangan daerah muncul masalah akuntabilitas yang terus tergerus. Kerja pemberantasan korupsi ke depan makin berat jika pemerintah daerah di Indonesia tidak memegang prinsip teguh money follow function dengan jelas dan tepat.

Dan, akhirnya otonomi hanya menjadi jargon karena intervensi pemerintah pusat pun sewaktu-waktu bisa muncul dan sewaktu-waktu dapat berubah. Ia sangat bergantung pada aspek kepemimpinan, politik, pergeseran rezim, dan lain-lain, tanpa kejelasan sistem. Hal ini harus dibenahi dengan kebijakan yang lebih berorientasi pada sistem bukan individu. Semoga dapat diatasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar