Minggu, 04 Maret 2018

Larangan Hak Milik bagi WNI Keturunan

Larangan Hak Milik bagi WNI Keturunan
Nurhasan Ismail  ;   Dosen Fakultas Hukum UGM
                                              MEDIA INDONESIA, 03 Maret 2018



                                                           
INSTRUKSI Wakil Gubernur DIY No K 898/I/A/1975 tertanggal 5 Maret 1975 belakangan terus mendapatkan sorotan di media. Instruksi yang ditempatkan sebagai kebijakan lokal dan dipatuhi oleh instansi daerah dan vertikal pada prinsipnya berisi larangan bagi WNI keturunan tertentu untuk mempunyai hak milik atas tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kebijakan lokal ini menentukan adanya perbedaan kesempatan untuk mempunyai hak milik atas tanah bagi WNI keturunan tertentu tersebut. Upaya mencegahnya dilakukan dengan cara, yaitu setiap terjadi peralihan (jual beli, hibah, tukar-menukar, penyertaan tanah sebagai modal badan hukum) hak milik atas tanah kepada WNI keturunan tersebut harus dilakukan dengan pembuatan akta peralihan hak oleh PPAT, kemudian permohonan pendaftaran peralihan hak yang disertai dengan pernyataan pelepasan hak milik kepada negara dan permohonan agar diberikan hak guna bangunan (HGB), dan penerbitan sertifikat HGB.

Gencarnya sorotan media dipicu oleh putusan pengadilan pada 20 Februari 2018 yang menolak gugatan seseorang yang mewakili kepentingan WNI keturunan tertentu untuk mencabut larangan dalam instruksi wakil gubernur. Penolakan atas gugatan serupa oleh pengadilan sudah terjadi lebih dari 2 (dua) kali, yang di antaranya Putusan Mahkamah Agung (MA) No 13 P/HUM/2015, Putusan MA No 179 K/TUN/2017, dan Putusan Pengadilan tertanggal 20 Februari 2018. Bahkan, seingat penulis terdapat putusan MA sebelum 2015 terkait dengan instruksi wakil gubernur tersebut. Semua putusan MA itu menyatakan menolak terhadap gugatan dimaksud. Artinya, yurisprodensi menilai larangan mempunyai hak milik bagi WNI keturunan tertentu di DIY itu benar dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan nasional.

Adanya gugatan yang berkelanjutan terhadap kebijakan itu di satu sisi dan adanya putusan pengadilan yang semuanya menolak menimbulkan pertanyaan mengenai hakikat kebijakan larangan itu dan kedudukannya dalam kebijakan pertanahan nasional.

Perlindungan kelompok lemah

Kebijakan pertanahan lokal di DIY yang membedakan kepemilikan hak atas tanah, termasuk hak milik atas tanah antara pribumi-nonpribumi, WNI-non-WNI, dan asli-keturunan sebenarnya sesuatu yang baru. Kebijakan yang demikian sudah berlangsung dalam rentang sejarah perjalanan pemerintahan dari sejak era kesultanan dan pakualaman sampai daerah keistimewaan pada 1950 dan 2012. Untuk memahami hakikat kebijakan pembedaan tersebut harus ditelusuri dari kebijakan lintas periode yang berlangsung di DIY.

Pada periode kesultanan dan pakualaman, sebelum terbentuknya Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 1950, dalam salah satu Rijksblad (?) Kesultanan sudah terdapat kebijakan larangan pengasingan tanah dari golongan pribumi kepada golongan Eropa dan golongan Timur Asing. Larangan pengasingan bermakna larangan untuk memperalihkan hak atas tanah yang dipunyai golongan pribumi, baik langsung antara pribumi dan nonpribumi maupun secara tidak langsung misalnya peralihan dengan meminjam nama orang lain atau kedok. Tujuannya ialah melindungi kepentingan golongan pribumi yang dalam strata sosial ekonomi berada dalam lapisan paling bawah. Golongan pribumi berada dalam kondisi yang paling tidak diuntungkan jika dibandingkan dengan golongan timur asing, terutama WNI keturunan yang menempati golongan menengah yang lebih diuntungkan dalam kegiatan sosial ekonomi.

Pada periode daerah keistimewaan 1950 melalui Perda DIY No 5 Tahun 1955 terutama Pasal 8 terdapat larangan peralihan tanah hak milik kepunyaan WNI kepada non-WNI. Penggolongan WNI dan non-WNI pada dekade 1950-an masih dalam proses penataan sehingga selain kelompok orang pribumi belum jelas kelompok masyarakat mana lagi dari golongan Eropa dan golongan Timur Asing yang berstatus sebagai WNI. Karena masih dalam proses penataan kelompok-kelompok mana dari orang-orang Eropa dan Timur Asing yang berada di Indonesia yang termasuk WNI dan non-WNI, semangat larangan yang terdapat dalam Pasal 8 Perda DIY No 5 Tahun 1955 masih berkaitan dengan larangan peralihan hak milik kepunyaan orang pribumi kepada nonpribumi.

Instruksi Wakil Gubernur DIY No K 898/I/A/1975 dapat ditempatkan sebagai kelanjutan larangan yang sudah ada dan berlaku sebelumnya, tetapi dengan rumusan norma yang sudah termodifikasi sesuai dengan perubahan kondisi sosial ekonomi yang ada. Bentuk modifikasi rumusan normanya tidak lagi melarang peralihan hak milik orang WNI pribumi kepada WNI keturunan tertentu. Peralihan hak milik dari WNI pribumi kepada WNI keturunan diperbolehkan, tetapi WNI keturunan tidak boleh mempunyai hak milik sehingga hak milik tersebut harus diubah menjadi HGB melalui proses pelepasan hak setelah dibelinya.

Terlepas dari perbedaan rumusan normanya, di dalamnya terkandung semangat untuk memberikan perlindungan kepada kelompok masyarakat yang lemah secara sosial ekonomi. Larangan itu dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kesenjangan sosial ekonomi antara yang lemah dan yang kuat dalam kepemilikan tanah, yang dapat menimbulkan kecemburuan sosial antarkelompok masyarakat. Fakta sosiologis yang kasatmata menunjukkan kelompok masyarakat tertentu menguasai tanah di kawasan strategis. Bahkan, tanah-tanah di kawasan strategis yang semula dikusai dan dimanfaatkan oleh kelompok tertentu lainnya beralih pada penguasaan dan pemanfaatan oleh kelompok masyarakat tertentu tersebut.

Perlindungan terhadap yang lemah dalam instruksi wakil gubernur tersebut memang masih bersifat setengah hati. Mengapa demikian? Kebijakan tersebut masih memperbolehkan adanya peralihan hak milik atas tanah WNI pribumi kepada WNI keturunan, tetapi harus dikontrol oleh pemerintah melalui pelepasan hak kepada negara dan penurunan hak menjadi HGB. Kontrol berkalanya melalui perpanjangan dan pembaruan HGB ketika jangka waktunya berakhir. Artinya, kebijakan tersebut tidak sepenuhnya dapat mencegah terjadinya peralihan hak milik orang WNI pribumi karena hal itu akan berlangsung secara alamiah. Oleh karena itu, pemerintah daerah harus membangun kebijakan pendukung agar pemegang hak milik atas tanah mampu memanfaatkannya untuk pengembangan kegiatan usaha sehingga mereka menjadi kuat secara sosial ekonomi dan tidak terpengaruh untuk memperalihkan hak milik atas tanahnya.

Dasar legitimasi

Banyak pihak berpendapat bahwa instruksi wakil gubernur tersebut bersifat diskriminatif dan sekaligus bertentangan dengan UUPA dan bahkan dengan UUD NRI 1945, terutama asas persamaan kedudukan dan kesempatan di hadapan hukum. Pendapat demikian tidak salah, tetapi kurang lengkap dan kurang komprehensif. Memang benar UUPA terutama melalui Pasal 9 jo Pasal 21 ayat (1) memberikan kesempatan yang sama bagi WNI untuk mempunyai hak milik atas tanah. WNI menunjuk pada semua orang perseorangan tanpa membedakan asli-pribumi atau keturunan timur asing atau mantan golongan Eropa. Semua WNI tanpa membedakan asal usul mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk mempunyai hak milik atas tanah.

Namun demikian, jika pemahaman hanya berhenti pada kedua pasal tersebut di atas, hanya menimbulkan pemahaman yang sempit dan hanya memahami dari sisi asas hukum yang modern UUPA. Ada asas hukum lain dalam UUPA yang dapat dijadikan dasar instruksi wakil gubernur, yang bersumber dari nilai kearifan hukum adat, yaitu asas perlakuan khusus bagi kelompok masyarakat yang lemah secara sosial ekonomi. Asas ini tertuang dalam Pasal 11 ayat (2) jo Pasal 7 dan Pasal 17 UUPA yang membuka kemungkinan adanya perbedaan hukum di antara kelompok masyarakat dalam satu wilayah/daerah atau antarwilayah/daerah. Perbedaan hukum yang mengandung perlakuan tidak sama di antara kelompok masyarakat diperbolehkan jika dimaksudkan untuk menjamin perlindungan hukum bagi kelompok masyarakat yang lemah dengan mencegah terjadinya konsentrasi penguasaan dan pemanfaatan tanah pada kelompok tertentu.

Asas perbedaan perlakuan di atas justru mendapat dukungan dan pembenaran dari UUD NRI 1945, khususnya Pasal 28H ayat (2). Pasal yang menjadi bagian Bab Hak Asasi Manusia ini mengamanahkan kepada penyelenggara negara di pusat dan daerah untuk memberikan perlakuan khusus dan kemudahan untuk memperoleh kesempatan dalam rangka tercapainya persamaan dan keadilan. Perlakuan khusus bermakna adanya perbedaan perlakuan yang diberikan kepada kelompok masyarakat tertentu yang lemah secara sosial ekonomi. Asas Pasal 28H ayat (2) tersebut memberikan dasar pembenar agar pemegang hak milik atas tanah di DIY yang lemah secara sosial ekonomi tidak dengan mudah memperalihkannya kepada pihak WNI keturunan yang kuat secara sosial ekonomi. Jika terpaksa harus dilakukan peralihan hak milik, harus dilakukan penurunan status hak milik menjadi HGB dengan harapan secara psikologis-sosial mengurangi minat untuk membelinya.

Asas perbedaan perlakuan baik yang tertuang dalam UUPA maupun UUD NRI 1945 mendapatkan penguatan dalam doktrin hukum, yaitu perlakuan berbeda yang positif atau keadilan korektif. Perlakuan berbeda yang positif atau positive discrimanation dan keadilan korektif mengandung makna dan arahan bahwa perlakuan hukum yang berbeda itu diperbolehkan jika membawa dampak yang positif terutama bagi kelompok masyarakat yang secara sosial ekonomi lemah. Bahkan, ada kewajiban asasi bagi negara untuk memberikan perlindungan hukum kepada mereka sehingga mereka tetap dapat hidup secara layak.

Terbuka adanya perubahan

Setiap kebijakan terbuka untuk berubah atau diubah termasuk larangan pemilikan hak milik bagi WNI keturunan di DIY. Perubahan itu dapat dilakukan jika kondisi yang menjadi dasar kebijakan sudah tidak ada lagi, yaitu adanya kesenjangan dalam kepemilikan tanah di antara penduduk di DIY. Ada 2 (dua) hal yang harus dilakukan untuk mengetahui dan meniadakan kesenjangan tersebut. Pertama, dilakukan kajian mengenai tingkat kesenjangan kepemilikan tanah di antara kelompok masyarakat di DIY dan analisis khusus kesenjangan pemilikan tanah antara WNI 'pribumi' dan WNI 'keturunan' termasuk dampaknya terhadap kondisi ekonomi mereka masing-masing. Kedua, ada kebijakan pendukung dari pemerintah daerah untuk memperdayakan kehidupan ekonomi WNI 'pribumi' dengan memanfaatkan tanah hak miliknya sehingga ada peningkatan kehidupan ekonomi mereka.

Dari kajian itu akan diperoleh pemahaman kebenaran faktual mengenai ada-tidaknya kesenjangan penguasaan tanah dan dampaknya kehidupan ekonomi warga WNI 'pribumi'. Jika faktanya menunjukkan adanya kesenjangan, harus ada kelegowoan warga WNI 'keturunan' terhadap instruksi wakil gubernur tersebut dan pemerintah daerah harus mengembangkan kebijakan perberdayaan ekonomi WNI 'pribumi'. Sebaliknya, jika kesenjangan itu terbukti tidak ada atau sangat rendah, harus ada kelegowoan pemerintah DIY untuk mengakhiri keberlakuan instruksi wakil gubernur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar