Panggung
Debat Kedua
Gun Gun Heryanto ; Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta;
Direktur Eksekutif The Political
Literacy Institute
|
KORAN
SINDO, 27
Januari 2017
Debat
kandidat calon gubernur dan calon wakil gubernur DKI yang kedua digelar hari
ini, Jumat (27/1). Ada dua tema utama yang akan diperdebatkan yakni tentang
reformasi birokrasi dan pelayanan publik serta penataan kawasan perkotaan.
Dua tema tersebut sangat penting dan mendasar dalam mengurai kusut-masainya
problematika di Ibu Kota. Yang berbeda dari debat pertama adalah alokasi
waktu yang diperpanjang menjadi 150 menit serta penambahan moderator menjadi
dua orang. Dari sudut format debat, sepertinya tak jauh berubah, hanya
masing-masing pasangan sudah mulai bisa mengukur peran yang akan dimainkan
setelah punya pengalaman di debat pertama.
Orientasi Pemilih
Debat
kedua turut menentukan dalam memersuasi pemilih DKI. Ibarat sebuah panggung,
perdebatan pertama memalingkan perhatian warga untuk membicarakan kandidat (stage of brainstorming) karena kali
pertama mereka difasilitasi berjumpa bersama. Panggung debat kedua menjadi
sarana mengonsolidasikan opini dan dukungan (stage of consolidation).
Kedalaman
konsep, kematangan mental dalam tekanan, dan pemecahan masalah sejumlah titik
simpul persoalan Jakarta akan menguatkan atau sebaliknya, membuyarkan
dukungan warga. Meski, sebagian pemilih rasional juga ada yang akan menunggu
sampai debat ketiga tuntas dalam menimbang calon terbaik mereka. Sementara
panggung perdebatan ketiga digunakan untuk menyolidkan dukungan (solid stage)
guna memastikan para pemilih yang belum menentukan (undecided voters),
pemilih yang masih gamang dengan pilihannya menjadi solid mendukung salah
satu pasangan.
Debat
adalah produk demokrasi yang harus dihargai dan diapresiasi. Sebagai sarana
dialektika tentu debat bukan semata umbar kata-kata dan pesona. Lebih dari
itu, panggung perdebatan juga harus dimaknai sebagai penguasaan simpulsimpul
masalah dan solusinya. Selain menjadi panggung unjuk kesiapan calon pemimpin
dalam kapasitas pengetahuan, kematangan dalam mengelola isu, pengomunikasian
gagasan, dan kesiapan mental dalam tekanan.
Tentu
saja, panggung bisa kita maknai sebagai ekspresi realitas simbolik, bukan
realitas objektif, tetapi dapat menjadi penanda cukup nyata seperti apa
gambaran calon pemimpin dalam berkiprah pada masa mendatang saat kekuasaan
sudah dalam genggaman. Dalam perspektif opini publik, debat pertama lebih banyak
menyasar orientasi pemilih terhadap pasangan. Sementara debat kedua dan
ketiga pada koorientasi.
Tiga
indikator dalam orientasi adalah kemenonjolan (salience), relevansi
(pertinence), dan predisposisi atau preferensi lintas situasional. Pertama,
salience yakni perasaan tentang pasangan kandidat yang berasal dari
pengalaman pemilih di situasi sebelumnya. Tentu, dalam hal ini tiga pasangan
yang bertarung di Pilkada DKI sudah menyapa warga melalui beragam cara.
Sebagian besar narasi kampanye sudah tersebar melalui kanal-kanal komunikasi
dan memapar banyak orang.
Tetapi,
debat perdana 13 Januari lalu menjadi panggung para kandidat untuk
menonjolkannya lagi dalam persepsi publik di tengah perhatian luar biasa
media massa dan media sosial. Misalnya AHY-Sylvi banyak menonjolkan program
populis seperti Bantuan Langsung Sementara (BLS), Basuki-Djarot menonjolkan
sejumlah program yang sudah dilaksanakan mereka, dan pasangan Anis-Sandi
menekankan pembangunan berkelanjutan yang dimulai dari pembangunan manusianya.
Kedua,
pertinence yang merupakan nilai relatif dari pasangan berdasarkan
perbandingan posisi (penantang dan petahana), juga perbedaan gaya serta cara
mereka yang terbangun sejak lama. Misalnya, pasangan Anies-Sandi berkali-kali
di panggung pertama menyodorkan nilai relatif pembeda dari petahana baik
dalam program maupun gaya dan cara yang akan ditempuh dalam mengelola
Jakarta.
Dalam
konteks ini, pasangan Anies-Sandi kelihatan memanfaatkan panggung debat
perdana untuk aspek kedua ini. Sementara pasangan AHY-Sylvi cenderung masih
gamang dalam mengolah panggung perdananya. Ketiga, predisposisi atau
preferensi menyangkut kerangka referensi evaluatif (kepentingan dan nilai),
kognisi pemilih, afeksi dan niat perilaku.
Dalam
hal predisposisi ini, sepertinya pemilih masih terpolarisasi. Wajar kalau
gejala survei opini menunjukkan ketatnya elektabilitas pasangan kandidat.
Perbedaan tiga pasangan masih di margin of error sehingga tidak atau belum
tegas untuk dikatakan pasangan mana yang pasti menang. Satu bacaan yang
ratarata terekam lembaga survei adalah sulitnya memenangi Pilkada DKI satu
putaran. Artinya, sangat mungkin irisan probabilitas perolehan suara para
kandidat mengantarkan mereka bertarung di putaran kedua. Tentu, hanya dua
pasangan “petarung”.
Koorientasi Dukungan
Debat
kedua dan ketiga yang disebut sebagai panggung konsolidasi opini tentu menjadi
fase krusial bagi koorientasi kandidat dengan para pemilih. Tiga indikator
yang biasanya dibaca dalam koorientasi. Pertama, kongruensi (congruention) yakni sejauh mana
pandangan pemilih sesuai dengan perkiraan mereka atas diri pasangan kandidat.
Jika perkiraan sementara ini positif, para kandidat wajib tampil konsisten
dengan konsep dan komitmen kepemimpinannya.
Tetapi,
jika pandangan negatif yang “hidup” dalam opini publik tentang kandidat,
mereka harus berupaya mengubahnya. Di debat kedua dan ketiga yang tak lama
lagi dari masa pencoblosan akan menggambarkan bahwa mereka adalah sosok
seperti dibayangkan atau diperkirakan sebelumnya oleh pemilih. Tentu, jika
positif, akan berimplikasi pada penambahan suara. Dan, jika negatif, akan
merontokkan itu. Misalnya, setelah September 2016 tren elektabilitas Ahok
menurun dan AHY meningkat tajam.
Tetapi,
setelah debat pertama, yang meningkat cukup signifikan adalah pasangan Anies-
Sandi dan pasangan Ahok-Djarot mulai berusaha reborn. Sementara AHY-Sylvi
cenderung stagnan dan berpotensi menurun justru setelah tampil di panggung
debat pertama meskipun pasangan inilah yang awalnya melesat setelah munculnya
euforia pengumuman kandidat.
Kedua,
pemahaman (understanding) dari
pemilih atas program dan orientasi ke depan yang akan dibawa para kandidat.
Semakin yakinkah mereka dengan tawaran programnya? Ataukah, justru warga
semakin melihat ketidaksiapan dan kelemahan dari tawaran konsep dan
kemungkinan cara mengimplementasikannya. Ketiga, kesepakatan (agreement) dalam persepsi dan
mendorong yakinnya pemilih pada salah satu pasangan.
Panggung
debat tentu bukan satu-satunya penyebab jatuh hatinya pemilih, tetapi bisa
berperan dalam memalingkan undecided
voters yang menjadi penentu dalam konstelasi kompetitif yang saat ini
dialami dan dirasakan semua pasangan.
Debat
kandidat bagaimanapun adalah panggung manajemen kesan (impression management). Meminjam istilah Erving Goffman
(1922-1982) seorang sosiolog interaksionis dalam bukunya, The Presentation of Self in Everyday Life,
panggung ini bagian dari dramaturgi di panggung depan (front stage) yang menjadi tempat para kandidat untuk menampilkan
peran dan karakter mereka dalam drama yang ditonton banyak orang.
Bukan
semata soal pilihan kata, bahasa tubuh (kinesics),
parabahasa (vocalics), dan lain-lain,
melainkan juga soal substansi gagasan yang berorientasi pada penyelesaian
masalah (problem solving-oriented).
Selamat berdebat putaran kedua! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar