Selasa, 06 Maret 2018

Melempemnya Kredit Perbankan

Melempemnya Kredit Perbankan
Anton Hendranata  ;   Chief Economist PT Bank Danamon Indonesia Tbk
                                                        KOMPAS, 06 Maret 2018



                                                           
Secara kasat mata, dalam empat tahun terakhir, peranan perbankan kian menurun dalam perekonomian Indonesia. Pertumbuhan kredit anjlok sejak 2014, tercatat hanya 11,6 persen, dari 21,6 persen tahun 2013 dan terus menurun ke titik terendah 7,9 persen di 2016. Tentunya, ini sangat tak lazim bagi sektor perbankan Indonesia, karena pertumbuhan kredit selalu berada di atas 20 persen selama periode 2010-2013.

Lambatnya pertumbuhan kredit ini, cukup mengkuatirkan berbagai pihak (termasuk pemerintah). Sebagian besar analis dan pebisnis cenderung menyalahkan tingginya suku bunga kredit, sebagai pemicu utama. Tak heran waktu itu, desakan penurunan suku bunga kebijakan Bank Indonesia sangat kuat resonansinya. BI pun dengan sigap dan terukur melakukan penurunan suku bunga acuannya secara signifikan sebesar 2 persen sejak 2016. Kemudian, dalam rangka mendukung efektivitas transmisi moneter, BI mengubah suku bunga kebijakannya dari BI rate menjadi BI 7-day reverse repo rate (BI7DRR) mulai Agustus 2016.

Penurunan suku bunga kebijakan BI yang agresif, disertai kebijakan makroprudensialnya yang cenderung longgar, seperti Giro Wajib Minimum (GWM), Loan To Value (LTV), Loan to Funding Ratio (LFR), Financing to Funding Ratio (FFR) atau Rasio Intermediasi makroprudensial (RIM) dan lain-lain.

Sayangnya, ini belum dapat mendorong pertumbuhan kredit secara signifikan. Pertumbuhan kredit 2017 hanya 8,2 persen, tak seperti diharapkan pemerintah dan regulator. Ini jauh di bawah target awal BI 12-14 persen, yang kemudian di revisi menjadi 10-12 persen di November 2016, dan akhirnya hanya mencapai batas bawah target BI pada November 2017, sebesar 8-10 persen.

Dengan kebijakan moneter yang super longgar, ternyata pertumbuhan kredit tetap seret sampai saat ini. Hal ini memercik berbagai isu, ada apa dengan perbankan nasional? Ada apa dengan investasi dan konsumsi? Ada apa dengan perekonomian Indonesia secara keseluruhan? Akibatnya, meletuplah persepsi dan terkesan perbankan nasional enggan menyalurkan kreditnya untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia dan hanya mengejar Net Interest Margin (NIM) yang tinggi saja.

Saya pikir, persepsi ini agak janggal dan terkesan terlalu terburu-buru dalam menilai perbankan nasional dalam melakukan strategi bisnisnya. Tak masuk akal perbankan tak berusaha keras menyalurkan kredit karena bisnis utamanya mengumpulkan dana masyarakat, yang kemudian disalurkan dalam bentuk kredit.

Sangat menarik kita sisir dan telusuri, faktor apa yang memengaruhi pertumbuhan kredit yang cenderung rendah dalam beberapa tahun terakhir?

Pertama, likuiditas perbankan tak selonggar seperti saat pertumbuhan kredit tinggi dan cenderung makin ketat. Tahun 2000, likuiditas perbankan sangat longgar, tercermin dari rasio kredit terhadap dana pihak ketika (loan to deposit ratio/LDR) sangat rendah yaitu 38 persen. Lima tahun kemudian di 2005, LDR meningkat pesat menjadi 62 persen. Pada 2015, LDR sudah tercatat di atas 90 persen, meski akhir-akhir ini sedikit menurun ke 89 persen di November 2017.

Kedua, menurunnya likuiditas dollar AS di perbankan karena anjoknya harga komoditas sejak 2011. Akibatnya, LDR valas meningkat signifikan dari 66 persen di 2009 ke 92 persen pada November 2017. Bahkan, LDR valas pernah mencapai puncaknya 95 persen di April 2012. Oleh karena itu, pertumbuhan kredit valas cenderung menurun signifikan dari 34,1 persen tahun 2013 ke 7,7 persen tahun 2014. Bahkan, sempat kredit valas hampir tak bertumbuh, tercatat di bawah 1 persen di 2016, kemudian meningkat ke 5,2 persen pada 2017.

Ketiga, tren pengganda (multiplier) kredit terus menurun, tahun 2005 sebesar 4,3 kali terhadap pertumbuhan ekonomi. Tahun 2010 hanya 3,4 kali, lima tahun kemudian 2,1 kali dan kini sudah di bawah 2, sekitar 1,6 – 1,7 kali pertumbuhan ekonomi 2017. Hal ini menunjukkan, transmisi moneter belum berjalan mulus dalam perekonomian.

Keempat, kredit bermasalah (Non Performing Loans/NPL) jauh lebih tinggi dibanding periode 2012-2013 yaitu 1,8-1,9 persen. NPL empat tahun terakhir di atas 2 persen dengan kisaran 2,2- 2,9 persen selama 2014-2017. Tingginya NPL terutama didorong kredit macet di sektor industri, yang kini 3,3 persen. Sedangkan kredit ke sektor rumah tangga masih relatif rendah, 1,8 persen di 2017, meski ada kecenderungan NPL sektor ini juga meningkat.

Kondisi ini memaksa perbankan melakukan konsolidasi internal, begitu juga dengan korporasi yang bermasalah dengan kredit macet. Dan ini tentu saja mengganggu ekspansi perbankan dalam menyalurkan kreditnya, begitu juga korporasi dalam melakukan investasinya.

Kelima, pertumbuhan kredit beberapa tahun terakhir hanya ditopang oleh Bank Buku 4 (modal inti Rp 30 triliun ke atas). Bank Buku 4, selalu mencatat pertumbuhan kredit jauh di atas pertumbuhan total kredit.

Tahun 2016, pertumbuhan total kredit 7,9 persen, Bank Buku 4 mencatatkan pertumbuhan hampir dua kali lipat yaitu 12,5 persen, diikuti Bank Buku 3 (modal inti Rp 5 triliun hingga kurang dari Rp 30 triliun) dan Buku 2 (modal inti Rp 1 triliun hingga kurang dari Rp 5 triliun) tumbuh 4,0 dan 6,1 persen. Bank Buku 1 (modal inti kurang dari Rp 1 triliun) mencatat pertumbuhan kredit negatif 22,3 persen.

Selanjutnya tahun 2017, hingga November 2017, pertumbuhan total kredit 7,5 persen. Bank Buku 4 mencatat pertumbuhan kredit sekitar 17,6 persen (2,3 kali dari pertumbuhan total kredit), dikuti Bank Buku 3 sebesar 2,7 persen. Ironisnya, Bank Buku 1 dan 2 kian terpuruk, dengan kredit turun signifikan, dengan pertumbuhan -35,5 dan -8,9 persen.

Faktor penyebab

Keenam, berdasarkan pemaparan dan fakta-fakta yang telah disampaikan sebelumnya, saya mencoba membangun model ekonometrika, untuk melihat faktor apa saja yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan kredit perbankan. Model ekonometrika yang diestimasi dibagi ke dalam lima segmen kredit: (1) usaha mikro, (2) usaha kecil, (3) usaha menengah, (4) rumah tangga, dan (5) komersial dan korporasi. Secara umum, terbukti pertumbuhan kredit setiap segmen dipengaruhi secara signifikan secara statistik oleh konsumsi rumah tangga, daya beli masyarakat, suku bunga konsumsi dan investasi, NPL, dan penjualan eceran.

Namun yang menarik dari model ekonometrika ini adalah variabel yang paling sensitif (elastistitasnya paling tinggi) memengaruhi pertumbuhan kredit adalah pertumbuhan konsumsi rumah tangga, diikuti oleh daya beli masyarakat. Sedangkan suku bunga, NPL, dan penjualan eceran relatif rendah pengaruhnya ke pertumbuhan kredit.

Temuan ini, sangat jelas menunjukkan perbankan akan leluasa menyalurkan kredit jika ada permintaan yang kuat dalam perekonomian, tercermin dari kuatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat. Ketika kondisi perekonomian masih lemah dan stagnan, rasanya akan sangat sulit berharap pertumbuhan kredit akan meningkat signifikan dalam waktu dekat. Perbankan cenderung akan lebih berhati-hati dan selektif dalam menyalurkan kredit, serta lebih mengutamakan memitigasi risiko yang terjadi.

Ketujuh, dengan pertumbuhan kredit relatif terbatas, ada kecenderungan perusahaan besar mencari pembiayaan melalui pasar modal, seperti: penerbitan saham (penawaran saham perdana dan rights issue), obligasi korporasi, dan surat utang jangka pendek (medium term notes /MTN) yang mengalami peningkatan dua tahun terakhir.

Tahun 2017, peningkatan modal dari pasar modal sekitar 31 persen dari Rp 195,4 triliun menjadi Rp 254,5 triliun. Pembiayaan di pasar modal ini, memungkinkan perusahaan mendapatkan bunga lebih murah dibandingkan meminjam melalui perbankan.

Dengan situasi ini, seharusnya kita tak perlu kuatir dengan menurunnya peranan sektor perbankan dalam perekonomian. Pada saat perekonomian makin bergairah maka sektor perbankan secara natural akan mengambil perannya lagi sesuai porsinya dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Tantangan ke depan memang tidak mudah, perbankan harus terus berbenah dan efisien dalam mengelola bisnisnya untuk menyongsong era ekonomi digital.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar