Jumat, 13 April 2018

Ancaman Kebebasan Kreatif

Ancaman Kebebasan Kreatif
Radhar Panca Dahana  ;   Budayawan
                                              MEDIA INDONESIA, 12 April 2018



                                                           
MUNGKIN tak ada yang menyangkal terjadinya semacam kemorosotan atau degradasi moral dalam cara kita berpolitik di negeri ini. Indikatornya itu muncul di banyak kesempatan dan tempat, dalam bentuk bukan hanya penjarahan dana/fasilitas rakyat (korupsi), perkelahian fisik di parlemen, keributan internal partai yang tiada habis, retorika politik yang kasar, asasinasi karakter, penyebaran hoaks, ‘sembako’ di masa pemilihan, dan banyak perilaku, hingga sikap dan cara berpikir yang rendah secara etis dan moral.

Sebagian dari kita (yang cukup paham) tentu juga sepakat degradasi kualitas di atas terjadi lantaran terbengkalai, dinafikan, hingga dihina bahkan ‘dibunuhnya’ secara sistematis kebudayaan yang justru menjadi landasan dari cara berpolitik kita. Kebudayaan dengan nilai, norma, dan etika yang terkandung dalam adat dan istiadatnya, yang dibangun dan dipelihara selama ratusan bahkan ribuan tahun, merupakan acuan dan anutan kita dalam hidup bermasyarakat dan menata diri, termasuk dalam politik.

Penafian bahkan pengingkaran kebudayaan dalam kehidupan berpolitik membuat dunia politik kehilangan semua hal di atas (acuan nilai, norma, etika) dan membuatnya tidak berbudaya, tidak beradab. Penafian itu bukan saja dalam hal tidak diposisikannya kebudayaan secara semestinya dalam kehidupan bernegara (berpolitik kita). Tidak adanya kebijakan yang komprehensif, termasuk dalam penganggarannya, tapi juga akses hingga literasi budaya yang rendah di kalangan para politikus kita.

Jika di masa lalu, sejak awal masa perjuangan kemerdekaan, hingga katakan akhir tahun 60-an, masih banyak kita temui para politikus hingga pejabat negara yang mengonsumsi karya-karya budaya di bidang artistik, sastra terutama. Konsumsi bahkan hingga tingkatan addict itu bukan hanya menciptakan literasi kultural yang tinggi, tapi juga memberi bobot atau kedalaman pada diskursus hingga retorika. Baik dalam pidato maupun perdebatan misalnya, dari para politikus kita.

Bukan hal yang langka, bila dalam orasi atau pernyataannya, para politikus mengutip kata-kata pujangga yang kontemplatif sehingga political messages dapat menembus lapis makna kemanusiaan yang lebih dalam.

Namun, semua itu kini tak lagi terjadi. Langka sekali para politikus atau pejabat negara bahkan mendatangi atau menyaksikan pertunjukan puisi (membeli buku puisi), cerita pendek, teater, art performance, pameran seni rupa atau panggung tari, bila ia tidak mengandung selebrasi (dengan selebritas) di dalamnya.

Yang terjadi, sebagian dari mereka menggunakan peralatan artistik hanya untuk menggelembungkan popularitas atau social power mereka. Lebih parah lagi, ketika mereka merusak puisi, dengan menggunakannya sebagai political weapon untuk menyerang, menghina, bahkan mengasasinasi karakter lawan-lawan politiknya.

Situasi semacam ini tentu saja sangat merugikan. Bukan hanya bagi para pekerja dan pejuang seni dan budaya, melainkan juga untuk perkembangan seni dan budaya itu sendiri. Pendangkalan yang berkelanjutan berlangsung untuk menciptakan kerendahan adab dan budayanya sendiri.    

Tidak mengherankan dalam situasi seperti ini terjadi, berulangkali, pemahaman yang bias bahkan keliru dalam membaca karya seni/budaya. Lebih menggiriskan lagi ketika pemahaman yang bias dan keliru itu didiseminasi, bahkan dengan cara represif agar orang lain memiliki pemahaman dan apresiasi yang sama (dengan yang bias) itu.

Kasus mutakhir

Sungguh tak terpuji, apalagi, jika tafsir keliru tersebut malah dijadikan dalih yang dipelintir untuk sekali menjadi arsenal politik untuk menaklukkan pihak lain (lawan). Sebuah gerak manipulatif-represif yang dahulu terjadi secara vertikal atau struktural, sebagaimana kejaksaan dan kepolisian di masa Orde Baru melakukannya pada beberapa karya seni di masa itu.

Apa yang terjadi belakangan ini tampaknya memberikan gejala yang mengarah pada situasi serupa di atas. Ketika beberapa karya sastra ditafsir secara sepihak dan didiseminasi bahkan dengan tekanan, pada pihak lain, bahwa tafsir itu ialah kebenaran makna sebenarnya.

Bahkan juga ada karya akademik, yang juga menjadi bagian dari produk kreatif, diadili secara semena-mena tanpa memedulikan bukan hanya ‘kebebasan mimbar’, yang mereka sendiri seolah memperjuangkannya, tetapi juga poetica licentia yang merupakan ruang kebebasan kreatif, artistik, dan akademik.

Bahwa tafsir sesungguhnya tidak dapat dimonopoli sudah sejak lama harusnya kita sepakati, sebagai pelajaran dari masa rezim Soeharto yang semena-mena melakukan monopoli tafsir. Sebuah karya, apalagi seni, yang pada dasarnya ambigu seperti pasemon dalam kultur Jawa, memiliki kodrat sejak awal purba ia diciptakan untuk multitafsir.

Di situlah seni memiliki makna dan hikmah yang secara personal berbeda, tergantung pada latar belakang penafsirnya. Di situlah seni menjadi sangat kaya, bahkan abadi, karena mampu ditafsir ulang dan diberi konteks dalam ruang dan waktu yang berbeda. Kita sama mafhum, dalam kedudukan itulah, kesenian menjadi produk utama yang memperkaya dan memperdalam kebudayaan sebuah kaum (bangsa).

Dalam kasus mutakhir, misalnya, sebuah puisi dari KH Mustofa Bisri yang dibacakan kembali oleh Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, yang kebetulan kandidat petahana, dipersoalkan oleh sebagian kalangan karena dianggap ‘menyinggung’ kaidah satu agama. Agama yang justru dibela oleh penciptanya dalam tingkatan yang tinggi.

Puisi yang sudah lama diciptakan, juga berulangkali dibacakan itu sesungguhnya-–kita tak bisa berpura-pura tak paham—-adalah sebuah refleksi kritis pada sikap keberagamaan kita. Sikap manusia yang memang tidak akan sempurna, yang tentu membutuhkan perbaikan-perbaikan sepanjang hidupnya, termasuk dengan cara refleksi kritis.

Refleksi kritis itu menjadi dalam maknanya karena ia dihasilkan oleh seorang ulama besar. Tokoh yang justru seumur hidupnya, juga dalam sejarah keturunannya membela dan memperjuangkan Islam agar menjadi maslahat semua manusia, menjadi rahmatan lil alamin. Apabila refleksi itu justru menimbulkan reaksi yang negatif, karena mungkin tidak mampu menerima kritik itu sebagai bagian dari dirinya, justru itu kian menunjukkan bahwa kritik-reflektif itu benar adanya.

Begitu pun refleksi puitik yang disampaikan oleh Sukmawati Soekarnoputri dalam puisi gubahannya yang diributkan belakangan ini. Ada sebagian tafsir yang secara kurang arif menganggap itu sebagai penghinaan terhadap agama tertentu dengan cara sebagaimana terurai di atas. Kalimat atau frasa dalam puisi itu diartikan secara material dan diposisikan sebagai makna yang tunggal/benar, mengingkari kodrat multitafsir dari karya seni.

Menjaga kebudayaan kita

Tafsir kurang arif itu misalnya memahami frasa ‘cadar dirimu’ secara material atau denotatif sebagai ‘cadar’ yang dipahami umum selalu penutup wajah. Padahal, frasa itu, sebagaimana sebuah puisi, memiliki makna ganda karena kata ‘dirimu’ itu bisa mewakili pikiran, hati, perasaan, perilaku, dan sebagainya.

Sebagai metafor ia tidak terlalu autentik atau puitik karena sesungguhnya bentuk semacam banyak digunakan dalam pelbagai jenis tulisan. Semacam katakanlah, ‘kesalehan sosial’ atau ‘imam politik’ atau ‘puasa kekuasaan’.

Sejenis ungkapan yang memadukan kata/istilah yang dianggap sakral dengan yang bersifat profan untuk memberi bobot (kedalaman) dari pesan yang hendak disampaikan. Maknanya pun tidak lagi berdimensi sakral/spiritual, tapi lebih pada makna profan/sosial, mengikuti kata kedua yang menjadi isi utama atau subjek dari frasa itu.

Begitu pun katakanlah perbandingan antara sebuah nyanyian profan dan irama pembacaan kalimat suci. Yang diperbandingkan jelas unsur estetis dan artistiknya, bukan kontennya. Melulu mutu atau kualitas artistik dari bacaan yang penuh irama itu. Bukan sama sekali perbandingan isi atau konten dari bacaan itu. Untuk hal yang pertama jelas perbandingannya bersifat material (kualitas melodi) bukan perbandingan makna (arti dari kontennya).

Mungkin hal itu sama bila kita mendengar penyanyi Arab melagukan salawat di internet atau panggung pertunjukan, dengan langgam penyanyi macam Celine Dion. Secara kualitatif dan rasional, yang kita bandingkan ialah mutu lagu dan suaranya, bukan isi dari syairnya. Maka kita akan jujur, kalau ternyata suara dan lagu Celine Dion lebih indah, kita akan lebih kesengsem dengan alunan penyanyi asal Kanada itu.

Hal yang lebih penting dari pemahaman sederhana di atas ialah apresiasi dan penghayatan kita pada produk budaya sebagai elemen pemerkaya kehidupan dan kesejatian diri kita. Lebih jauh sebagai acuan integritas dan modal kita dalam menjawab persoalan mutakhir.

Jangan sampai apresiasi yang keliru membuat kebudayaan malah jadi terpasung dan terdangkalkan. Apalagi menjadi ancaman bagi para seniman dan produsen kebudayaan dalam mengekspresikan gagasan atau karya-karyanya.

Represi, baik vertikal maupun horizontal terhadap produktif kreatif, kita mafhum bersama akan segera menjadi ancaman bagi eksistensi kita sebagai bangsa. Tentu saja tidak ada pihak mana pun yang menghendaki kehancuran kolektif, kehancuran sejarah dan kebesaran yang telah dirintis, dibangun dan dipelihara oleh nenek moyang kita semua ini. Saya sungguh percaya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar