Jumat, 07 April 2017

Sandiwara Politik Naif DPD

Sandiwara Politik Naif DPD
Umbu TW Pariangu  ;  Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang
                                              MEDIA INDONESIA, 05 April 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KERICUHAN berupa aksi saling dorong dan gebrak meja terjadi dalam Rapat Paripurna DPD di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, Senin (3/4). Rapat paripurna sedianya membaca putusan MA yang membatalkan Peraturan Tatib DPD No 1/ 2017 sesuai dengan kesepakatan Panmus 3 April 2017. Berdasarkan agenda pascapembacaan putusan MA, tidak akan ada pergantian pimpinan DPD, sebab masa jabatan pimpinan DPD tetap 5 tahun. Situasi memanas terjadi di awal rapat saat anggota DPD asal Maluku Utara Basri Salama melakukan interupsi. Menurutnya, seharusnya ada penyerahan penanggung jawab sidang dari pimpinan DPD kepada pimpinan sementara yang dibahas dalam Panitia Musyawarah (Panmus). Sebab, masa jabatan dua pimpinan sidang, yakni Farouk Muhammad dan GKR Hemas, dianggap sudah berakhir jika mengikuti tatib masa jabatan 2,5 tahun. Suasana menjadi tidak terkendali. Sandiwara konyol pun terlihat: suara gaduh bersahut-sahutan lewat pengeras suara di meja rapat seperti riuh di pasar, saling dorong, rampas mikrofon, bahkan ada yang tersungkur sambil menyebut nama Tuhan. 

Infantil


Cuplikan kericuhan itu kembali membuat kita menepuk jidat dan sebal tak habis-habisnya. DPD berkeras ingin mengganti pimpinan dengan mengacu ke tatib yang sudah dibatalkan MA. Seolah-olah prinsip hukum tak ada wibawanya di mata mereka. Keegoan, menang sendiri, masih menjadi libido yang dikantongi di dalam jas-jas eksklusivisme mereka ketika menyelesaikan persoalan. Gus Dur benar bahwa karakter parlemen kita tak ubahnya TK yang sikut-sikutan ketika berebutan permen. Tak peduli teman lain sakit, menangis, suasana kacau, yang penting saya kebagian. Kini mereka bukan lagi anak kecil, melainkan sudah bermetamorfosis menjadi ‘orang besar’. Namun, perubahan ‘fisik’ itu tak disertai mentalitas dan sikap yang cerdas dan konstruktif sehingga pada satu kesempatan Gus Dur pernah menyesal menyandingkan anak-anak dengan DPR. Anak-anak memiliki sifat yang suci, kreatif, dan cerdas, sedangkan DPR kotor dan kreatif mencari uang (Merdeka.com 13/3/2016). Memang diksi itu agak vandalis untuk melukiskan konduite anggota DPD, tapi kenyataannya memang demikian. Padahal, kalau ditengok dari profil anggota DPD 2014-2019, mereka orang-orang yang bisa digolongkan ‘beradab’, berpendidikan tinggi, berpengalaman dalam organisasi-organisasi sosial-politik. Latar belakang pendidikan, misalnya, 34% magister/S-2, doktor 10%, S-1 39%. Untuk latar belakang profesi, 15% dosen, 19% pengusaha/wiraswasta. (Puskapol UI, 2014). Artinya, secara virtualitas, pendidikan, latar belakang, dan pengalaman semestinya keberadaan mereka layak disambut 'karpet merah’ di parlemen. Meskipun secara filosofis, ‘wajah baru’ itu tetap perlu dicurigai. Imanuel Levinas mengatakan wajah bukan sebatas merepresentasikan kehadiran seseorang, melainkan juga penampakan konkret moralitas. Dengan demikian, kehadiran seorang wakil rakyat secara integratif mengandung virtualitas diri, kelompok sekaligus nilai moral. Jika salah satunya lenyap, sifat-sifat politisi yang ideal dan berwajah kemanusiaan pun tercederai.

Politik naif

Perseteruan politik di panggung parlemen itu ialah negasi kemanusiaan paling konkret di tengah kondisi kesejahteraan rakyat yang masih berdebu penuh masalah. Belakangan pun, tidak ada akselerasi kinerja berarti yang ditunjukkan anggota DPD. Kontribusi mereka dalam aspek pengawasan dan regulasi juga tertatih-tatih. Gejala masuknya intensi dan spirit parpol ke dalam tubuh DPD belakangan ini bahkan diklaim sebagian kalangan merupakan momentum perapuhan DPD sebagai institusi yang mewakili langsung kepentingan daerahnya tanpa embel-embel parpol. Frederich Nietzsche (dalam Riyanto 2011) mungkin benar politik selalu dekat dengan kenaifan. Politik di tangan politisi hedonis, defisit etika, dan komitmen sekarang direduktivikasi sebatas urusan kursi, uang dan pemilu. Padahal Aristoteles dalam buku Politics mengatakan anggota parlemen seharusnya menjadi orbit utama penegakan kedaulatan dan instrumen pengamanan kesejahteraan publik. Mereka merupakan para pecinta kebijaksanaan yang eksper dalam merundingkan urusan kepublikan karena memiliki modal artikulatif, kemampuan berdebat, beretorika, dengan penuh kecerdasan, bukan dengan memakai otot atau emosi saat sidang soal rakyat. Wakil rakyat, termasuk DPD, ialah wajah sejati rakyat karena merupakan sekumpulan orang terpilih yang diserahi mandat oleh rakyat untuk memperjuangkan aspirasinya dengan memanfaatkan kapabilitasnya. Disebut orang-orang terpilih karena secara pendidikan, moral, integritas, mereka dianggap memiliki nilai lebih untuk memerankan fungsi-fungsi keparlemenan sejati.

Karena itu, logikanya, ketika mereka duduk di parlemen, yang harus ditunjukkan ialah kecemerlangan kemampuan berargumen untuk menghasilkan solusi konkret terkait dengan persoalan rakyat. Mempraktikkan seni dalam meyakinkan anggota yang lain tentang motivasi dan orisinalitas argumen konstruktif kerakyatan serta memiliki kecerdasan emosi saat harus bekerja di bawah tekanan dan juga mampu membangun kolegialitas kerja atas nama edukasi politik terhadap publik. Sayang, semua harapan itu berujung paradoks. Para anggota DPD lebih memilih memeras peluh untuk mengurusi berahi kekuasaan ketimbang berdarah-darah menyerap dan memperjuangkan kepentingan rakyat dan daerahnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar